dari yg patah hati ama siti.....
====================
---------- Forwarded message ----------
Pernikahan dan Pelacuran
Hati saya
benar-benar hancur melihat kenyataan bahwa Siti Nurhaliza akhirnya menikah
dengan Datuk K. Dalam hati saya berkata, teganya Siti menjual dirinya kepada
lelaki kaya hidung belang.
Pernikahan tsb membuktikan kebenaran
sinyalemen saya beberapa waktu lalu, bahwa wanita, sekaya apa pun dia, akan
tetap memilih lelaki yang lebih kaya darinya sebagai suami. Dalam kasus ini,
kurang apa lagi "mbak" Siti, dari segi materi? Kenapa dia lebih suka memilih
lelaki, yang konon, sebetulnya adalah suami orang?
Seperti banyak
dirumorkan media Malaysia dan media jirannya, bahwa CT (Siti) lebih suka
nemplok di pelukan suami orang, daripada di pelukan lelaki yang masih
membujang. Karena kehadiran Siti di hati sang Datuk lah, maka istri Datuk
memilih cerai daripada dimadu.
Kalau cuma suka pada lelaki beristri,
kenapa sih, bukan memilih saya atau anda saja? Ah, tentu saja kehadiran saya
tidak akan ada artinya bagi berlangsungnya jaminan sosial sang diva. Financial
security, itulah alasan kebanyakan wanita menikah. Sedangkan lelaki lebih suka
menikah karena bakat bawaan instink primitifnya yaitu, tertarik "barang"
bagus.
Lelaki berduit mana yang tak menginginkan wanita yang mirip
boneka barbie itu? Jangankan lelaki berduit, lelaki yang tak berduit pun pasti
berkhayal, malu-malu atau tidak malu-malu, untuk menikah dengan penyanyi
bersuara emas itu. Apalagi karakternya yang anggun dalam penampilan, sopan
dalam bertutur kata, dan tidak suka pamer aurat itu, pasti menambah hasrat
setiap pria untuk mendapatkan sorga dunia.
Walaupun saya tidak suka
mendengar musik, tapi sepintas saya dapat menilai bahwa si Siti Nurjazila ini
mempunyai bakat besar dalam menyanyi (betul apa tak betul?). Dan yang saya
kagumi juga, dia tak pernah berpakaian ala barat di setiap kali penampilannya.
Dia tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan menggunakan pakaian yang seksi, minim
atau ketat.
Berbeda jauh dengan para penyanyi wanita kita, yang lebih
suka memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya dengan berpakaian ketat atau minim, dalam
rangka mendongkrak pendapatan belanja rumah tangga. Malah bukan rahasia lagi
kalau para penyanyi wanita yang sudah beristri pun, rela meninggalkan suami
dan anaknya berhari-hari karena dibooking "manggung" oleh organisasi ini,
organisasi itu.
Di sini terlihat dengan jelas, bahwa berdasarkan salah
satu fenomena tsb, sebetulnya batas antara penyanyi wanita (artis) dan pelacur
sangatlah tipis. Boleh dibilang tak ada batasnya, sebab keduanya sama-sama
menjajakan sex appeal yang mereka miliki, baik melalui suara atau tubuh
mereka.
Dengan sex appeal (daya tarik seksual) yang menjadi andalan
mereka berbisnis inilah, yang kemudian mendasari mereka untuk memasang harga,
baik ketika show yang sebenarnya, atau show yang pakai tanda kutip, "show".
Lebih jauh lagi, dalam segala aspek, harga tinggi tersebut kemudian berdampak
pada tingginya gengsi, sehingga segala sesuatunya, disebut pantas atau tidak
pantas, dengan nominal uang.
Contohnya dalam perkawinan yang dialami
banyak kaum selebritis, tak ada satu pun yang rela menikah dengan orang
miskin, atau katakanlah, dengan orang yang standar ekonomi menengah. Dan
penyakit masyarakat tersebut ternyata juga bukan menjangkiti para selebritis
yang sering nongol di TV, orang-orang kampung yang tidak pernah masuk berita
pun, mematok harga tinggi bagi anak gadisnya. Apalagi kalau sang anak
bertampang cantik atau mirip-mirip artis, maka harga jualnya pun tentu lebih
tinggi lagi.
Anda boleh saja protes, tapi hal ini benar adanya. Banyak
orangtua yang bertingkah seperti germo atau bromocorah yang memasang tarif
tinggi bagi siapa yang hendak meminang anak gadisnya. Terkadang sang anak
gadis pun merasa dirinya cantik dan memang merasa pantas dihargai dengan harga
tinggi.
Jadilah di sini batas pelacuran dan pernikahan jadi kabur.
Dalam kedua event tsb, sang lelaki sebagai konsumen, sama-sama harus mempunyai
budjet yang banyak untuk mendapatkan seorang wanita. (Berdasarkan kenyataan
ini, barangkali nanti, para "ulama" jaringan islamliberal akan mengeluarkan
fatwa bahwa melacur itu halal karena, sama-sama mengeluarkan uang, seperti
laiknya pernikahan).
Kalau jiwa pelacur dan germo sudah menguasai,
maka segalanya harus serba wah, termasuk memilih calon suami, seperti yang
menimpa Siti Nurhalija. Sopan santun dalam bertutur kata, elok dalam
berpakaian, hanyalah kamuflase untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dari
lelaki hidung belang. Pengetahuan agamanya hanya dijadikan umpan untuk
menjaring konsumen yang lebih banyak.
Menyinggung tipisnya batas
pernikahan dan pelacuran, berarti menyinggung sebuah kosa kata lain, yaitu
kebaikan yang diwakili polisi,lawan kejahatan yang diwakili penjahat. Batas
antara kebaikan dan kejahatan hanyalah sebuah benang yang transparan.
Seorang polisi dan seorang penjahat sama saja statusnya, sama-sama
merugikan masyarakat. Penjahat merugikan orang lain tanpa menggunakan
institusi resmi, sedangkan polisi, pejabat pemerintah, anggota DPR/DPRD,
hakekatnya adalah penjahat juga, sebab mereka suka memakan uang rakyat dengan
menjual hukum.
Bahkan ketika seorang terpidana harus masuk penjara
untuk bertobat, segala infra strukturnya tidak mendukung sama sekali untuk
bertobat. Seorang terpidana, yang seharusnya segala nafsu kriminalnya
dibelenggu oleh aparat, masih bisa melakukan segala bentuk criminal, baik
sebagai bandar narkoba, atau yang kecil-kecilan, jualan rokok.
Lebih
edan lagi, dosa dan kejahatan itu juga menjadi kewajiban bagi penjaga penjara,
karena mereka mewajibkan para pengunjung membayar sekian rupiah untuk sekali
bezuk. Jadi sebetulnya semua mata rantai dalam penjara itu, baik polisi,
hakim, yang terpidana, sipirnya, ketua lapasnya, dan pengunjungnya sama-sama
tukang criminal.
Jadi seseorang masuk penjara bukanlah sebuah jaminan
akan terbebas dari menebus sebuah dosa, sebab dosa yang lain sedang
menanti.
Well, bagaimana pun juga kehidupan terus berjalan. Pelacuran
dan perkawinan tak akan pupus dari dunia, selama para wanita cantik dan tidak
cantik masih merasa sebagai barang yang mahal. Polisi, pejabat, anggota dewan
dan penjahat tetap saja masih satu derajat, selama mereka tidak menyadari
betapa berharganya secuil nasi tetangga yang tercecer di atas meja.
Kembali ke soal perkawinan Siti Nurhaliza vs |Datuk K. Sebagai seorang
muslim yang baik, mustinya Datuk K tidak hanya sekedar melegitimasi perkawinan
untuk melampiaskan nafsunya. Sebagai anggota dari umatan wasatan, mustinya
Datuk K, dan juga kita, dalam hal perkawinan mempunyai sebuah misi, baik itu
misi sosial, ekonomi maupun pendidikan.
Bukan hanya sharing, maaf,
alat kelamin, dengan bayaran yang mahal, tapi juga musti sharing harta-benda
dan intelektual. Dengan kata lain, mustinya seorang yang kaya menikah dengan
seorang yang miskin. Orang pandai menikah dengan orang yang kurang pandai.
Seorang ahli agama mustinya kawin dengan seorang yang buta agama. Dengan
demikian terjadi sharing ekonomi, sosial dan intelektual.
Kalau
seorang kaya kawin dengan orang kaya, orang miskin musti kawin dengan orang
miskin, ustadz kawin dengan ustadzah, menurut saya mereka bukan termasuk
orang-orang yang beruntung, dan tidak mengerti makna visi dan misi beragama.
Dalam hal ini saya salut dengan orang-orang Singapura yang mau
menikahi para janda miskin dari bangsa Indonesia. Padahal para janda itu
rata-rata bertampang jauh memprihatinkan dari Siti Nurhaliza (dan tak bisa
menyanyi). Dan dari segi ekonominya pun tergolong pas-pasan, karena mereka
kebanyakan tadinya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, baby sitter,
tukang masak, dll.
Kalau seorang Siti Nurhaliza dan yang senasib
dengannya masih juga mencari lelaki yang lebih kaya, menurut saya, mereka tak
ada beda dengan pelacur. Walau mereka nampak terhormat, tapi mental mereka
mental pelacur. Begitu juga Datuk Khalid, walaupun kedudukannya terpuji di
mata Malaysia, tapi mentalnya tetap mental hidung belang.
Sebagai
Penutup, walaupun saya kurang setuju dengan keputusan yang diambil oleh "dik"
Siti dan datuknya, saya tetap berlaku sportif. Saya ucapkan semoga pasangan
Datuk K dan Siti boleh berkekalan selama-lamanya Siti mampu bertahan. Dan
sebagai seorang lelaki, saya selalu berkeyakinan bahwa, kesempatan kedua itu
selalu ada, jadiā¦ saya menunggu jandanya sajalah!
wassalam