http://www.suarapembaruan.com/News/2001/04/08/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY 

Mengonstruktifkan Konflik

engan prihatin kita harus mengatakan bahwa saat ini kehidupan bangsa dan masyarakat 
kita sedang dilanda berbagai konflik. Baik konflik vertikal maupun konflik horizontal, 
baik dalam hal berpendapat maupun dalam memperjuangkan kepentingan. Dalam hal itu 
perlu disadari bahwa konflik sebenarnya memang merupakan hal yang alami dan tidak 
terelakkan dalam kehidupan personal maupun sosial. 
Sebab, konflik adalah akibat dari perbedaan, padahal perbedaan merupakan sifat hakiki 
dari kemanusiaan. Terlebih-lebih apabila asas kemanusiaan yang dipakai itu ialah 
kebebasan dan demokrasi, yang menghormati dan mensyaratkan perbedaan, bukan 
keseragaman yang dipaksakan. 
Meskipun demikian, kita tidak dapat membiarkan saja konflik-konflik itu. Sebab, 
konflik-konflik yang terjadi itu ternyata tidak hanya terbatas pada perbedaan wacana 
atau pendapat yang dianut, melainkan dapat pula berkembang dan meledak menjadi 
bentrokan fisik bernuansa kekerasan, yang mengakibatkan kerusuhan dan 
perusakan-perusakan serta jatuhnya korban. 
Jelas, konflik-konflik semacam itu telah merusakkan hubungan-hubungan yang 
konstruktif, memorakporandakan ketertiban, rasa keamanan dan kesejahteraan, dan 
menghancurkan saling kepercayaan dan kerukunan. Sebab itu, konflik memang benar-benar 
harus diprihatinkan dan tidak bisa dibiarkan. 
Kalau pada waktu-waktu lalu barbagai konflik sosial dapat diredam dan dihentikan 
secara paksa dan represif oleh penguasa, di era reformasi dan demokratisasi sekarang 
tampaknya penguasa sulit, bahkan tidak mampu lagi mengatasinya dengan tuntas. Apalagi, 
penguasa sendiri sudah kehilangan kredibilitas dan kewibawaannya di mata rakyat, 
sehingga cenderung untuk selalu tidak didengar dan ditaati. 
Pada sisi lain, masyarakat sendiri, baik yang langsung terlibat dan menjadi korban 
maupun yang beruntung belum termasuk di dalamnya, sudah sangat menyadari betapa tidak 
menguntungkannya konflik-konflik yang terjadi itu. Sebab itu, berbagai upaya 
rekonsiliasi, baik dalam pemikiran maupun tindakan, sudah dilakukan. Namun sayang 
sekali, segala upaya tersebut agaknya masih belum mampu menghasilkan penyelesaian 
secara tuntas dan memuaskan. Hal itu antara lain karena akar persoalan sebenarnya yang 
menyebabkan konflik tersebut belum bisa diidentifikasi secara tepat dan menyeluruh, 
apalagi diselesaikan. 
Selain itu, ternyata memang ada pihak-pihak tertentu yang oleh pertimbangan 
kepentingan masing-masing, sering sengaja menghendaki konflik demi mencapai tujuan 
masing-masing. Mereka itulah provokator-provokator konflik, yang sayangnya sering 
sulit diungkap berdasarkan bukti-bukti yang transparan dan tak tersangkalkan. 
Untuk menyikapi berbagai konflik yang ada dalam kehidupan masyarakat, sekarang ini 
telah berkembang pemikiran-pemikiran di seputar apa yang disebut sebagai ''manajemen/ 
pengelolaan konflik'', yang bertujuan utama mencegah dan menyelesaikan konflik agar 
jangan menimbulkan akibat-akibat yang destruktif atau merusak terhadap kehidupan 
pribadi maupun sosial. 
Konstruktif 
Dalam tulisan ini akan dikemukakan dan dibahas beberapa hal yang perlu diketahui dan 
dianalisis dalam upaya mengelola konflik menuju penyelesaian yang konstruktif, 
sebagaimana dikemukakan Morton Deutsch, pakar psikologi sosial dari Columbia 
University, dalam bukunya berjudul The Resolution of Conflict, Yale University Press, 
halaman 5 dst. 
Adalah menarik bahwa pemikiran Deutsch itu didasarkan pada pendapat, bahwa konflik 
merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Menurut dia, konflik tidak mungkin ditiadakan 
ataupun diredam terlalu lama. Sebab itu, masalahnya bukan untuk menghilangkan atau 
mencegah konflik, melainkan bagaimana menjadikan konflik itu sesuatu yang produktif, 
yang berguna. Atau setidaknya bagaimana mengusahakan agar konflik itu jangan sampai 
destruktif atau merusak. 
Meskipun penulis tidak sepenuhnya setuju dengan titik tolak pemikiran Deutsch, namun 
penulis menghargai pendekatan positif dan realistis yang dia pakai dalam menanggapi 
realitas konflik. Kita jangan hanya berkutat dan terjebak pada akibat-akibat negatif 
yang ditimbulkan oleh konflik, melainkan juga harus menggali dan mengupayakan hal-hal 
positif-konstruktif yang bisa didapatkan dari konflik. 
Ada tujuh hal yang perlu kita ketahui dan perhatikan dalam menanggapi dan mengatasi 
konflik. Pertama, karakteristik atau sifat-sifat khusus dari pihak-pihak yang 
berkonflik. Misalnya, apa motivasi dan nilai-nilai yang ada pada mereka masing-masing; 
apa yang menjadi aspirasi dan tujuan mereka; apa sumber kekuatan fisik, intelektual 
dan sosial mereka. 
Kedua, bagaimana hubungan yang ada dari pihak-pihak yang berkonflik itu sebelumnya. 
Apa sejak dahulu memang sudah ada benih-benih potensial untuk konflik, dan mengapa? 
Ketiga, apa yang menjadi inti dan sifat permasalahan yang mengakibatkan konflik 
tersebut. Umum atau khusus/spesifik, prinsipal-mendasar atau hanya mengenai persoalan 
kulitnya saja. 
Keempat, lingkungan sosial, tempat konflik itu terjadi. Bagaimana adat kebiasaan dan 
aturan-aturan hukum kemasyarakatan yang berlaku. 
Kelima, perhatian dan minat masyarakat sekitar terhadap pihak-pihak yang konflik itu. 
Perlu disadari bahwa sering konflik menjadi-jadi, akibat keberpihakan masyarakat 
sekitar kepada pihak-pihak tertentu dalam konflik. 
Keenam, strategi dan taktik yang digunakan masing-masing pihak yang berkonflik. 
Ketujuh, konsekuensi atau akibat yang terjadi pada masing-masing pihak yang berkonflik 
maupun kelompok-kelompok lain yang terkait atau berkepentingan. 
Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik dan tepat mengenai ketujuh hal tersebut, 
usaha untuk menganalisis akar penyebab konflik maupun upaya penyelesaian dan 
pengarahannya ke hal-hal yang konstruktif dapat lebih komprehensif (menyeluruh), 
sehingga juga akan lebih mengena dan tuntas. 
Fungsi Positif 
Selain itu, dengan mengacu kepada pemikiran G Simmel yang termuat dalam bukunya 
berjudul Conflict dan L. Coser (The Function of Social Conflict), Deutsch juga 
menunjukkan beberapa fungsi positif dari konflik. 
Misalnya, konflik mencegah terjadinya stagnasi atau kemandekan; konflik mendorong 
timbulnya perhatian dan rasa ingin tahu; merupakan cara untuk mengangkat dan 
mengedepankan masalah, sehingga pemecahannya dapat diupayakan; konflik juga merupakan 
akar penyebab bagi perubahan pribadi maupun masyarakat. Konflik juga menciptakan dan 
memperkuat identitas pribadi. Sedang konflik dengan pihak luar memperkuat kohesi atau 
rasa keterikatan terhadap kelompok sendiri. 
Selanjutnya dikemukakan, konflik di antara kelompok-kelompok yang bertentangan bisa 
menciptakan fungsi-fungsi stabilisasi dan integrasi bagi hubungan-hubungan sosial yang 
ada, karena proses konflik akan mendorong penyesuaian-penyesuaian yang mengakibatkan 
lahirnya sistem dan struktur kemasyarakatan yang baru, yang lebih bisa diterima oleh 
semua pihak. 
Konflik bisa merevitalisasi norma-norma yang ada maupun memunculkan norma-norma baru. 
Dalam hal itu konflik menjadi suatu mekanisme untuk penyesuaian norma-norma yang lebih 
sesuai dengan tuntutan kondisi-kondisi yang baru. 
Dengan demikian, masalahnya bagaimana mengidentifikasi dan mengarahkan konflik, agar 
fungsi-fungsi positif yang dikandung itu bisa efektif, sehingga melahirkan hal-hal 
yang konstruktif. Menurut penulis, hal itu hanya akan dapat terwujud apabila 
pihak-pihak yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam konflik itu 
sama-sama menyadari dan mengakui perlunya menghormati hak-hak orang lain, sehingga 
bersedia pula memperlakukan orang lain secara adil. 
Secara implisit itu berarti ada kesediaan untuk menerapkan prinsip give and take. 
Yaitu, prinsip untuk tidak hanya menuntut dari pihak lain melainkan juga kesediaan 
berkorban/memberi kepada pihak lain, demi keadilan dan kesejahteraan bersama. 
Di bidang ilmu pengetahuan, pemikiran mengenai konflik telah lama dirintis dan 
dikembangkan di banyak negara maju. Dalam hal itu kerja sama lintas bidang atau 
disiplin (sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum, psikologi, dan lain-lain) memang 
diperlukan, bahkan merupakan suatu keharusan baik dalam rangka mengidentifikasi dan 
menganalisis persoalan, maupun dalam mengupayakan penyelesaiannya secara tepat dan 
adil. 
Semoga bahan-bahan pemikiran yang sudah banyak terdokumentasi dan diterapkan di 
berbagai situasi dan kondisi itu dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebab, 
situasi dan kondisi bangsa kita yang amat pluralistis dalam banyak hal itu sarat 
dengan potensi konflik, yang sewaktu-waktu dan selalu bisa meledak. 
u 
Penulis adalah teolog, pengamat masalah etika, mantan Rektor UKSW Salatiga. 

Last modified: 4/9/01 

Kirim email ke