http://www.suarapembaruan.com/News/2001/04/08/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY 

Moral Prakonvensional

i Indonesia kini segala sesuatu bisa dilakukan. Jangankan ''cuma'' bicara 
membengkokkan kesadaran publik. Membantai manusia pun bukan merupakan tindakan yang 
tergolong sangat asing di tengah pengalaman hidup sehari-hari warga Indonesia. Ratusan 
kerusuhan massa bergelimang darah manusia telah terjadi dalam kurun mutakhir 
Indonesia. 
Di setiap kerusuhan, rumah-rumah dibakar, barang-barang dijarah dan dihancurkan, 
bahkan nyawa manusia melayang begitu saja. Setelah itu, seperti tidak ada urusan 
apa-apa. Sebegitu murahlah nilai nyawa manusia di bumi negeri Indonesia. 
Tak pelak, tindakan membunuh manusia tidak lagi merupakan peristiwa luar biasa di 
tengah pengalaman hidup riil sehari-hari masyarakat Indonesia. Sangat mengerikan. 
Elite pun ''saling membantai''. Memang, mereka tidak saling membantai dengan ''cara 
kasar'' seperti dilakukan sebagian masyarakat tataran bawah. Namun, sesungguhnya 
saling bantai dengan cara halus yang terjadi di tengah elite, akibat-akibatnya bisa 
jauh lebih luas, lebih parah, lebih mengerikan. Bahkan, pada berbagai perspektif dapat 
direfleksikan, betapa saling bantai di tengah masyarakat tataran bawah terjadi sebagai 
akibat saling bantai di tengah elite. 
Elite yang satu ''membunuh'' elite yang lain dengan cara canggih, semisal berupa upaya 
pembengkokan kesadaran publik yang mengkristal dalam opini bahwa elite tertentu jahat, 
korup, brengsek, hina, dan seterusnya. Modus seperti itu sering disebut character 
assassination, atau pembunuhan kepribadian insani. Cara membantai yang sama sekali 
tanpa ayunan mandau, clurit, belati, atau rencong itu, sesungguhnya berakibat sangat 
luas dan parah, karena menghunjam ke tengah kesadaran masyarakat luas. Kerusakan yang 
direbakkan lewat pembunuhan kepribadian insani adalah distorsi kesadaran publik 
(kesadaran ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan manusia), yang kemudian 
bisa meruyakkan berbagai efek lain yang sifatnya luas, bahkan dahsyat. 
Himpunan elite juga membantai lawan-lawan mereka dengan alat yang sifatnya legal, 
semisal ''mekanisme konstitusional'' yang dijalankan tanpa menghiraukan spirit 
kebenaran dan kejujuran yang sesungguhnya terkandung otentik di dalam mekanisme itu. 
Seyogianya spirit kebenaran dan kejujuran niscaya sungguh meresapi penggunaan setiap 
mekanisme konstitusional. 
Dalam kenyataan kini, elite bisa dengan gaya gagah perkasa menggunakan mekanisme 
konstitusional sama sekali tanpa spirit kebenaran dan kejujuran. Spirit kebenaran dan 
kejujuran yang sesungguhnya merupakan kandungan penting mekanisme konstitusional dan 
setiap pasal undang-undang atau peraturan, 
ditinggalkan secara paripurna, dan mekanisme legal itu dipakai bungkusnya belaka. 
Di luar, elite tampak seperti sungguh menjalankan tindakan yang konstitusional, tampak 
seperti sama sekali tidak melanggar satu pun ayat undang-undang atau peraturan apa 
pun. Namun di kedalaman nan hakiki, benar-benar terjadi perobek-robekan kebenaran dan 
kejujuran. 
Media massa dan serbaneka peranti teknologi informasi canggih cenderung digunakan 
untuk mewartakan dan memagnifikasikan bagian bungkus dari peristiwa atau tindakan itu. 
Maka, khazanah kesadaran publik pun terbengkokkan dalam kristalisasi opini yang tidak 
sepenuhnya berakarkan kebenaran serta kejujuran. 
Pada titik itu dapat ditangkap satu kristal kesadaran, betapa elite membunuh kebenaran 
dan kejujuran. Sungguh suatu tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada 
perspektif moral umum, yang akibat-akibatnya tidak kalah mengerikan ketimbang 
pembunuhan dengan belati atau pedang, seperti terjadi di tengah kerusuhan massa 
berdarah pada masyarakat tataran bawah. 
Bunuh-membunuh pada tataran elite maupun masyarakat tataran bawah meniscayakan 
penilikan ulang tingkat (level) perkembangan moral masyarakat Indonesia. Pada 
perspektif itu bisa dipinjam teori Lawrence Kohlberg tentang perkembangan penalaran 
moral. 
Menurut Kohlberg, perkembangan moral ditandai perubahan-perubahan orientasi moral 
dalam berperilaku, dari tingkat prakonvensional yang terutama berorientasi ke efek 
hedonistik (efek kenikmatan) dan akibat-akibat fisis dari perilaku, ke tingkat 
konvensional yang terutama berorientasi ke ketaatan serta kesetiaan pada aturan, 
hukum, dan tatanan, terutama pada perspektif harfiah. 
Dari tingkat konvensional bisa diharapkan perkembangan menuju tingkat 
pascakonvensional yang berorientasi ke khazanah nilai dan prinsip moral, yang teruji 
validitasnya dalam permenungan dan pertimbangan pribadi dengan acuan hati nurani dan 
prinsip-prinsip universal tentang keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, 
serta hormat pada keluhuran martabat manusia sebagai individu. 
Tindak bunuh-membunuh yang endemis dan kadang epidemis, mencerminkan betapa tingkat 
perkembangan moral masih jauh dari tingkat konvensional, apalagi tingkat 
pascakonvensional. Kondisi tersebut justru mencerminkan level perkembangan moral 
terendah yang oleh Kohlberg disebut tingkat prakonvensional. Pada tingkat tersebut, 
orientasi dalam berperilaku terutama adalah efek hedonistik (efek kenikmatan) dan 
akibat-akibat fisis dari perilaku. 
Manusia cenderung memilih untuk mewujudnyatakan perilaku yang efek hedonistik atau 
efek kenikmatannya terbesar, dan yang akibat-akibat fisisnya paling menguntungkan, 
semisal membuahkan jabatan empuk, menghasilkan genggaman kekuasaan yang lebih besar, 
mendatangkan keuntungan uang dan materi yang berlimpah-limpah, dan sebagainya. 
Corak-corak fakta sehari-hari mencerminkan betapa perilaku berorientasi efek 
hedonistik serta akibat-akibat fisis, tidak semata dimanifestasikan oleh masyarakat 
pada tataran bawah, melainkan pula dipertontonkan oleh elite. Elite yang autistic 
(hidup dalam alam ''aku'' yang sempit belaka), seolah tuli dan buta terhadap 
masalah-masalah parah dan sangat kritis gawat darurat di tengah bangsa. 
Mereka justru bersuka cita dalam pesta perebutan kekuasaan yang cuma menguntungkan 
diri masing-masing. Menguntungkan di sini berarti mewujudkan genggaman kekuasaan yang 
lebih besar, ujung-ujungnya adalah uang dan materi yang berlimpah dan kian berlimpah. 
Di saat posisi Presiden Wahid di ujung tanduk dan Wakil Presiden Megawati 
diusung-usung untuk menggantikan Presiden Wahid, elite berduyun mendekati Megawati. 
Padahal, sejarah mencatat betapa elite yang kini berduyun sowan ke Megawati itu adalah 
mereka yang belum genap dua tahun lampau sungguh mengganjal dan menjegal perjalanan 
Megawati menduduki kursi kepresidenan Republik Indonesia. Bentangan perilaku demikian 
cuma menandaskan betapa elite merebakkan perilaku dengan orientasi utama efek 
kenikmatan dan akibat-akibat fisis belaka. Dengan demikian dapat ditangkap corak-corak 
tandas level perkembangan moral prakonvensional di tengah elite Indonesia masa kini. 
Sulit sekali membayangkan corak-corak tingkat perkembangan moral konvensional, apalagi 
pascakonvensional di tengah masyarakat dan elite Indonesia. Coba lihatlah, baru-baru 
ini elite politik partai terbesar dengan enaknya mengatakan bahwa demi persatuan dan 
kesatuan bangsa, konstitusi pun bisa dikorbankan. Itu pernyataan yang hedonistik. 
Siapa bisa menjamin, setelah konstitusi dikorbankan, persatuan dan kesatuan bangsa 
serta merta bisa dipertahankan? 
Siapa bisa menjamin, dikorbankannya konstitusi tidak akan menjadi titik awal 
disintegrasi yang tidak tertahankan? 
Pada perspektif tingkat perkembangan moral terendah, perbincangan tentang penghargaan 
dan pengejawantahan hak asasi manusia secara adil dan beradab, juga wicara tentang 
tindakan berlandaskan hati nurani dan wacana tentang keadilan dan hormat pada 
keluhuran martabat manusia, lebih cenderung merupakan permainan kata nan jauh dari 
kenyataan. 
Semua hal yang diperbincangkan, diwicarakan, dan diwacanakan itu hanya mungkin sungguh 
terjadi pada tingkat perkembangan moral konvensional dan pascakonvensional, yang 
letaknya berjauhan dengan tingkat prakonvensional. Yang lebih relevan dan realistis 
kini adalah berbicara tentang hukum dan tatanan, serta bertindak mengejawantahkan 
hukum dan tatanan itu secara adil dan konsisten. 
Semua itu niscaya demi transformasi atau gerak perkembangan dari level moral 
prakonvensional yang hedonistik ke level moral konvensional yang berorientasi ke law 
and order. Memang seyogianya DPR masa kini lebih mementingkan tugas legislasi 
ketimbang tugas kontrol yang akhir-akhir ini pengejawantahannya berlebih sampai 
merebakkan berbagai ketegangan berkepanjangan. 
Yang harus lebih dulu dikeroyok oleh semua anggota DPR, seluruh elite, dan seluruh 
warga bangsa adalah masalah penegakan serta pengejawantahan hukum, aturan, dan tatanan 
secara adil dan konsisten. Itulah masalah paling gawat darurat di bumi negeri 
Indonesia kini. Di dalam dan di balik masalah itu terkandung hamparan persoalan sangat 
besar dan amat luas, yang niscaya segera diselesaikan dengan cara sebaik-baiknya, oleh 
seluruh warga bangsa yang bekerja sama kompak bahu-membahu. u 

Last modified: 4/9/01 

Kirim email ke