http://kompas.com/kompas-cetak/0104/17/OPINI/huku04.htm
>Selasa, 17 April 2001

Hukum Kita, Biografi Kekerasan
Oleh Aidul Fitriciada Azhari

SALAH satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi hukum 
kita yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan berbagai bentuk diskriminasi dan 
marjinalisasi dalam pengaturan sosial-ekonomi, politik, dan pemanfaatan sumber daya 
alam bahkan kehidupan budaya. Berbagai perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan umum 
pun berkecamuk dan meledak menjadi tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan 
mengerikan. 
Kita harus mengatakan bahwa hukum kita telah menjadi sumber utama yang menyebabkan 
timbulnya berbagai konflik dan kekerasan di negeri ini. Periode otoritarian yang 
intens selama empat dasawarsa pada masa Orde Lama dan Orde Baru telah menghasilkan 
sistem hukum represif yang tidak saja dirasakan akibatnya secara langsung oleh 
masyarakat, tetapi secara tidak langsung telah membentuk kesadaran, perilaku, dan 
struktur sosial yang bersendikan pada kekerasan sebagai norma utama. Kita harus 
mengatakan, hukum kita adalah biografi kekerasan yang kita lakukan selama 
bertahun-tahun. 
Melalui berbagai produk perundang-undangan maupun praktik hukum oleh birokrasi, aparat 
keamanan dan pengadilan, kita dapat mengenali bagaimana kekerasan beroperasi serta 
mereproduksi diri dalam berbagai sikap dan perilaku sosial masyarakat kita. Hukum kita 
telah melembagakan kekerasan dalam berbagai bentuk pengaturan, kebijakan dan putusan 
hukum yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, diskriminasi, dan 
perilaku kekerasan sehari-hari. 
Sayangnya, sebagaimana dikatakan oleh Derrida dalam Positions (1981) jejak kekerasan 
dalam hukum selalu terlupakan oleh perjalanan waktu dan tersembunyikan oleh berbagai 
fiksi tentang moralitas hukum. Akibatnya, kita sering tidak mengenali lagi adanya 
kekerasan yang diproduksi oleh berbagai produk hukum dan menganggapnya sebagai sebuah 
hal yang wajar bahkan tidak jarang menganggapnya sebagai keharusan moral dalam 
kehidupan masyarakat kita. 
Tengok saja, misalnya, tindakan penganiayaan, pembunuhan, dan vandalisme yang 
dilakukan dalam berbagai peristiwa main hakim sendiri atau konflik di berbagai daerah 
justru sering memperoleh dukungan dan pengesahan dari lingkungan masyarakat sekitar. 
Akibatnya, ketika aparat keamanan mengambil tindakan hukum terhadap para pelakunya, 
masyarakat justru memberikan reaksi balik dengan menuntut pembebasan pelaku dan 
menyerang aparat keamanan. Sepertinya kekerasan merupakan keharusan moral yang harus 
dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah atau konflik. 
Keadaan tersebut disebabkan karena masyarakat kita mengalami kesulitan untuk mengenali 
lagi referensi lain dalam kehidupan sosialnya selain kekerasan itu sendiri. Pola 
represi yang beroperasi selama rezim otoritarian telah memberikan pengalaman kekerasan 
pada masyarakat kita, sehingga mereka kehilangan kapasitas, kreativitas sosial, dan 
"imajinasi hukum" dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapinya selain 
menggunakan cara-cara kekerasan. Apa yang dilakukannya tidak lebih dari bentuk 
reproduksi atas berbagai nilai dan norma yang dikenalinya dari berbagai aturan serta 
praktik hukum yang dialaminya. 
Apa yang terjadi di Sampit dan Maluku, misalnya, merupakan refleksi dari miskinnya 
kreativitas sosial dalam menyelesaikan konflik di antara mereka. Sekalipun telah 
dikenal adanya berbagai kearifan tradisional untuk menyelesaikan konflik, seperti 
prinsip rumah betang pada suku Dayak atau pela gandong pada masyarakat Maluku, namun 
kesadaran, perilaku sosial serta struktur sosial yang dikenalinya hanya menyediakan 
kekerasan sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan konflik. Model-model 
rekonsiliasi, negosiasi, atau mediasi yang umumnya tersedia dalam khazanah tradisi 
sebagai bentuk kearifan lokal menjadi tumpul dan tidak dikenali dengan baik sehingga 
sulit untuk dipraktikkan kembali secara utuh. 
Perilaku kekerasan justru dihidupkan kembali oleh berbagai aturan dan praktik hukum 
negara yang mengenalkan kembali pola-pola kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik. 
Aturan hukum yang disuplai negara telah menghancurkan kesadaran dan norma-norma sosial 
masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun telah berhasil mempertahankan kohesi 
sosial di antara mereka. 
Sebut saja, misalnya, penyeragaman struktur pemerintahan desa melalui Undang-Undang 
(UU) Nomor 5 Tahun 1979 yang telah menghancurkan struktur kepemimpinan lokal. Kemudian 
kebijakan birokrasi dalam pengelolaan hutan yang memberikan konsesi HPH (hak 
pengusahaan hutan) bagi segelintir orang yang tidak saja telah menyebabkan kehancuran 
lingkungan alam, tetapi juga meluluhlantakkan kesadaran kultural yang dimilikinya. Ini 
ditambah lagi dengan berbagai diskriminasi yang mereka rasakan dalam berbagai 
kebijakan politik dan pemerintahan (seperti tersingkirnya "Putra Daerah") serta 
penegakan hukum yang sangat lemah yang telah melahirkan perasaan ketidakadilan yang 
meluas. 
Semuanya itu telah menghilangkan kapasitas dan kreativitas sosial yang mereka miliki 
pada saat harus berhadapan dengan konflik yang setiap saat dapat timbul dalam 
kehidupan sosial mereka. Mereka hanya mengenal kekerasan sebagai satu-satunya cara 
yang disuplai dan dilembagakan oleh berbagai aturan dan praktik hukum negara. Dalam 
kondisi seperti ini, tidak sepenuhnya dapat disalahkan bila mereka menggunakan 
kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik. Dalam hal ini yang terjadi bukan hanya 
karena adanya ketidakpercayaan pada hukum dan aparat hukum, tetapi lebih jauh dari itu 
karena masyarakat memang tidak terlatih untuk mengembangkan kreativitas sosial dan 
imajinasi hukum dalam menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapinya selain dengan 
jalan kekerasan. 
Demokratisasi 
Karena telah menyangkut kesadaran, perilaku, dan struktur sosial yang relatif mapan, 
maka pembaharuan terhadap hukum yang harus kita lakukan akan membutuhkan waktu yang 
relatif lama. Ini karena masalahnya bukan saja menyangkut produk-produk hukum berupa 
perundang-undangan, kebijakan administrasi atau putusan hakim, tetapi menyangkut pula 
kesadaran hukum dan struktur sosial yang menopangnya. Hal ini berkaitan dengan proses 
demokratisasi yang menyangkut transformasi sosial yang lebih luas. 
Kaitan pokok antara pembaharuan hukum dengan demokratisasi adalah pemahaman bahwa 
pembaharuan hukum adalah bagian dari proses institusionalisasi nilai-nilai dan 
perilaku demokratik. Masalah yang kita hadapi adalah hilangnya kapasitas dan 
kreativitas masyarakat dalam menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai dan 
demokratik. Dalam hal ini, pembaharuan hukum harus dilakukan untuk melembagakan 
prosedur demokratis sebagai pola pengaturan, pengambilan keputusan, dan penyelesaian 
konflik di tengah masyarakat. 
Kita harus menjadikan hukum sebagai mekanisme bersama yang memungkinkan adanya 
partisipasi masyarakat dalam setiap prosesnya. Dalam hal ini, hukum tidak lagi 
semata-mata dipandang sebagai norma atau aturan belaka, tetapi lebih jauh dari itu 
sebagai mekanisme pragmatik untuk menyelesaikan konflik secara damai. Karena itu, 
hukum harus terbuka pada kemungkinan adanya self-regulation atau social agreement baru 
di tengah masyarakat sebagai cara untuk menghidupkan kembali kapasitas dan kreativitas 
masyarakat dalam mengatur dan menyelesaikan konflik yang dialaminya secara damai. 
Selain itu, pembaharuan hukum pun harus diletakkan dalam konteks transformasi sosial 
yang lebih luas. Pembaruan hukum bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang 
bersifat temporal atau aktual semata, seperti demi stabilitas politik atau pertumbuhan 
ekonomi, tetapi lebih dari itu harus dipandang sebagai bagian dari upaya untuk 
mentransformasikan sistem sosial yang timpang dan diskriminatif. Hukum harus 
dioperasikan sebagai strategi untuk membongkar kekerasan yang tersembunyi di dalam 
kesadaran dan struktur sosial masyarakat kita serta merekonstruksikannya kembali ke 
dalam bentuk yang lebih adil dan demokratis. 
Secara normatif, agenda demokratisasi dan transformasi sosial tersebut sebenarnya 
telah diatur dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan pasca-Orde Baru. Misalnya, 
pengaturan Otonomi Daerah baik dalam amandemen UUD 1945 maupun dalam UU No 22/1999 dan 
UU No 25/1999. Namun, pada tingkat kebijakan politik seringkali prinsip-prinsip 
demokrasi dalam peraturan otonomi daerah tersebut tidak berhasil dilembagakan sebagai 
perilaku bersama. Malahan tidak jarang otonomi daerah justru menjadi pemicu bagi 
lahirnya konflik baru yang menjurus pada anarki dan kekerasan dengan skala dan 
kualitas yang semakin meningkat. 
Oleh karena itu, pembaharuan hukum bukan sekadar penyusunan produk-produk 
perundang-undangan. Yang lebih penting dari itu, adalah menjadi bagian dari strategi 
pelembagaan nilai-nilai dan perilaku demokratik yang dalam praktiknya dapat dilakukan 
melalui berbagai kebijakan dan penegakan hukum yang responsif terhadap perkembangan 
masyarakat. Para penegak hukum dan penyelenggaraan negara pada umumnya harus didorong 
untuk mengembangkan semacam aktivisme dalam bidang hukum untuk mengambil keputusan 
berdasarkan wewenang yang dimilikinya berdasarkan prinsip-prinsip keadilan yang lebih 
substantif dan tidak semata-mata terpaku pada pemenuhan aspek formal-prosedural 
belaka. 
Ini akan lebih membantu akselerasi masyarakat dalam melembagakan nilai-nilai 
demokratik yang menjadi esensi penting bagi tegaknya supremasi hukum di suatu negara. 
Ini pun akan mengakhiri riwayat kekerasan pada negeri ini dan menuliskannya kembali 
dalam suatu otobiografi bangsa yang lebih beradab. 
* Aidul Fitriciada Azhari, mahasiswa Program S-3 Ilmu Hukum UI. 

Kirim email ke