http://kompas.com/kompas-cetak/0105/03/METRO/kawa17.htm
>Kamis, 3 Mei 2001
Kawasan Puncak, Jongko, dan "Shorin Zukuri"...
SEBANDINGKAH untung dan rugi yang didapat dari penggunaan lahan untuk kepentingan
ekonomi, padahal kawasan Puncak, Bogor, semestinya harus dipertahankan sebagai areal
dengan fungsi ekologi?
Bahwa setiap akhir pekan, lalu lintas harian (LHR) di jalur Puncak meningkat
drastis-dari hanya 10.000 menjadi 60.000-100.000 kendaraan-memang dapat membawa berkah
bagi para penjaja makanan dan minuman serta buah-buahan sepanjang jalur itu.
Bahwa setiap akhir pekan, penduduk kawasan Puncak bertambah, dari hanya 190.000 jiwa
warga tetap bertambah dengan sekitar 10.000 jiwa wisatawan yang adalah warga Jakarta,
juga bisa membawa berkah. Berkah karena warga setempat bisa mencari penghasilan
tambahan dengan menyediakan jasa dan keperluan sehari-hari wisatawan.
Manusia sebanyak itu pasti akan membelanjakan uangnya. Lalu, karena alasan itu, ada
memang yang menilai hal itu merupakan keuntungan dari menjamurnya bangunan vila dan
perumahan mewah di kawasan Puncak. Suatu proses yang sudah berlangsung sejak 1970-an.
Tapi, pengamat lingkungan justru prihatin. Kawasan Puncak seluas 15.500 hektar-terdiri
dari 21 desa di Kecamatan Cisarua (Kabupaten Bogor) dan 10 desa di Kecamatan Ciawi
(Kabupaten Cianjur)-harus dipertahankan sebagai daerah resapan air. Kawasan Puncak
merupakan hulu sejumlah sungai, di antaranya Ciliwung, Citeureup, dan Citarum.
Kerusakan lingkungan di kawasan Puncak pasti berakibat pada masalah pengadaan air
bersih, terlebih untuk warga Jakarta yang berpenduduk sekitar sembilan juta jiwa
sekarang ini.
***
ATAS dasar itu pulalah, kawasan Puncak secara khusus telah dilindungi pemerintah lewat
berbagai peraturan. Semisal Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 48 Tahun 1983 dan
Keppres Nomor 79 Tahun 1985. Masih ada sejumlah Peraturan Daerah yang dibuat Pemda
Kabupaten Bogor dan Pemda Kabupaten Cianjur.
Tetapi, semua peraturan perundang-undangan itu agaknya tak mempan menghadapi
pembangunan vila dan rumah mewah. Lahan-lahan basah, subur, serta tanah-tanah miring
juga sudah ikut dijadikan areal perumahan dan vila. Longsor terjadi di mana-mana
akibat lahan basah petani yang dijual kepada pengembang atau orang-orang kaya.
Banjir semakin sering terjadi. Kalau hingga akhir abad ke-20, banjir kiriman hanya
menggenangi Jakarta, menjelang pertengahan 2001 sudah pula merambah jalan tol Jagorawi
(Jakarta-Bogor-Ciawi). Belum pernah dalam sejarah Jagorawi terjadi genangan di
penggalan jalan tol itu, tepatnya di pintu tol Taman Mini. Hari Rabu (25/4), penggalan
itu terendam dengan ketinggian air sekitar setengah meter yang mengakibatkan kemacetan.
Soal lain, tentu saja kemacetan yang merupakan persoalan terparah.
***
UDARA sejuk, sekitar 16 derajat Celcius, agaknya cuma itulah lagi yang bisa diberikan
oleh obyek pariwisata kawasan Puncak. Panorama alam, termasuk panorama hutan lindung
Mega Mendung, sudah ditutupi hutan-hutan beton. Gunung Pangrango, Gunung Gede, maupun
Gunung Kasur tidak lagi bisa dinikmati karena sebab-sebab yang sama.
Panorama jalur Puncak yang di tahun 1960-an sangat dibanggakan kini tak lagi menarik
wisatawan.
Belum lagi sepanjang jalur menuju Puncak, mulai dari Ciawi, Cipayung, dan seterusnya
mata dibuat rusak dengan bentangan-bentangan spanduk tanpa aturan yang menawarkan
berbagai produk rumah atau vila di kawasan itu. Hilang sudah pemandangan alam yang
dirindukan karena mata terhalang ratusan-mungkin ribuan-spanduk itu.
Memang, itulah yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak berkaitan
dengan peralihan penguasaan tanah oleh warga pendatang, terutama oleh warga Jakarta.
Luas lahan persawahan merosot drastis. Menurut catatan Kompas, produksi padi terus
saja merosot. Kalau pada 1983, misalnya, nilai produksi padi masih Rp 21,2 milyar,
maka akhir 1990 hanya Rp 18,7 milyar. Agaknya nilai itu merosot tajam di awal abad
ke-21 karena proses perubahan penggunaan lahan masih saja berlangsung.
Soalnya, selama tiga hari berkeliling kawasan Puncak minggu kedua April,
pembangunan-pembangunan fisik bangunan vila oleh perorangan atau oleh
perusahaan-perusahaan real estat tampak masih berlangsung. Lahan-lahan basah-lahan
pertanian yang memiliki sistem pengairan dan dilarang diubah peruntukannya-masih saja
berpindah tangan. Baik kepada perorangan maupun kepada perusahaan-perusahaan real
estat.
Ketika negeri ini disibukkan oleh kekalutan politik dan perebutan kekuasaan yang belum
juga berujung pangkal, pengawasan atas kawasan Puncak sepertinya terabaikan. Padahal,
tanda-tanda zaman sudah tampak. Perbedaan debit air berubah drastis. Perbandingan
normal, musim hujan dan kemarau adalah 1:23 atau 1:129. Tetapi, saat ini telah menjadi
1:540.
Tahun 1994, R Nuriana, yang masa itu menjabat Gubernur Jawa Barat, sudah
menginstruksikan penghentian pembangunan baru di kawasan Puncak. Instruksi itu
diperkuat lagi oleh Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1995, yang menyarankan
kawasan Puncak jangan lagi diganggu pembangunan baru.
Tapi, instruksi dan saran itu tak jalan, karena pembangunan baru terus saja
berlangsung, bahkan lebih deras. Perusahaan-perusahaan real estat berlomba-lomba
menawarkan produknya.
Maka, hadirlah tipe country, tipe mediteranian, atau tipe jepang dengan gaya "Shorin
Zukuri", lengkap dengan arena permainan dan mini zoo. Tapi, warga setempat, akibat
penguasaan lahan oleh pendatang itu, terpental, semakin menjadi tidak utuh. Mereka
hanya bisa menjadi penjaja makanan, minuman, rujak, satpam, dan penjaga vila milik
warga Jakarta.
Vila-vila simbol prestise juga merupakan sumber penghasilan warga Jakarta karena
disewakan dengan harga lumayan, Rp 350.000 per malam di hari-hari libur. (lom)
---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id