satu hal pak yang saya lihat kenapa china bisa maju pesat
pada awal tahun 90 an, pekerja/buruh ditempatkan dalam free market,
benar-benar free market antara demand dan suply.
suply tenaga kerja banyak dan saat itu demand tenaga kerja tidaklah besar,
jadilah buruh di china murah
dalam kondisi murah itu, setiap pekerja berlomba untuk bekerja
sebaik-baiknya, akhirnya lahirnya sistim borongan atau kontrak
dalam sistim kontrak ini cukup tegas sekali aturan mainnya

masih ingat dibenak saya, tahun 1999, saat saya berada di sebuah pabrik di
kota kecil di pinggiran Xiamen
sebuah pabrik yang memproduksi alat-alat sport OEM dengan tenaga kerja 1500
orang dan omzet 400-500 ctr 40 fett per bulan
demo buruh terjadi, mereka mogok kerja tuntutan utama minta kenaikan upah
kebetulan GM pabrik itu adalah teman saya, kemudian dia turun tangan di
hadapan sekitar 1500 orang, dia hanya mengeluarkan beberapa kata yang
kemudian ditutup dengan saya beri waktu 15 menit untuk kembali kerja, jika
tidak kembali kerja, silahkan keluar karena masih banyak yang mau kerja di
pabrik ini
well.... tepat 15 menit kemudian semua mesin produksi mulai berbunyi
kembali, aktivitas berjalan seperti biasanya
bisa dibayangkan bila mogok terus terjadi, karena saat itu berarti setiap
hari harus terkirim sekitar 15 ctr 40 feet. jika mogok 1 hari saja, apa
akibatnya buat customer

kemudian tumbuhlah kota-kota industri macam Guangzhou, Shanghai, Shenzhen,
Xiamen, SuZhou, Ningbo, dll
pada tahun 2004-2005 kota-kota industri ini mulai bergulat, bergulat dengan
apa?
dengan demand yang besar akan tenaga kerja tapi supply tenaga kerja kurang
nah pada saat inilah berganti posisi, pekerja/buruh mempunyai nilai tawar
yang jauh lebih tinggi
disinilah mulai pemerintah daerah menentukan aturan main semacam upah
minimum
sebenarnya tanpa ditentukan pemerintah pun, para pengusaha sudah
berlomba-lomba mencari pekerja
saya kasih contoh, pengusaha retail yang buka toko di pusat perdagangan....
dengan mudah kita bisa melihat pengumuman pencarian kerja yang terpampang di
depan toko/etalase (maaf saya nggak bisa bhs mandarin, jd diterjemahkan)
hasil beberapa terjemahan lebih kurang
dibutuhkan bla bla
dengan iming-iming mulai dari pemberian bonus, makan 2 sayur+daging, bahkan
ada yang menawarkan memberikan libur beberapa hari dalam 1 bulan
dari sini saya ambil kesimpulan bahwa pekerja/buruh mempunyai posisi tawar
yang amat sangat tinggi (hiperbol banget yah)

pada tahapan ini mulailah pemerintah daerah lain menarik para investor
dengan kembali mengandalkan buruh murah.
pemerintah Shenzhen bahkan melakukan tindakan saya sangat laur biasa menurut
saya, pada saat itu pemerintah Shenzhen membuka kawasan industri di vietnam,
dan semua industri yang ada di Shenzhen saat itu ditawarkan untuk pindah ke
vietnam dengan iming-iming keringanan tax dll
dan area industri yang ada di shenzhen di arahkan pada industri hi-tech
suatu strategy yang baik sekali, dengan adanya industri hi-tech yang
notabene memberikan pekerjaan dengan income lebih tinggi maka pendapatan per
kapita penduduk shenzhen juga akan terangkat
beberapa industri di Shanghai, Guangzhou mulai relokasi ke kota kecil di
sekitaran kota-kota industri yang ada, macam ke Foshan (selatan Guangzhou),
JiaXing (selatan Shanghai), dll, dengan harapan mendapat buruh murah.

wah sekali lagi saya kagum dengan strategy ini....
bayangkan industri telah memajukan kota-kota kecil macam Shenzhen, Guangzhou
menjadi kota besar setelah maju industri relokasi ke kota kecil lain, maju
lagi, relokasi lagi
akhirnya banyak kota kecil maju dengan strategy ini

ada pula cerita soal bisnis dengan pengusaha Taiwan...
pemerintah China pada akhir 1980 membuka diri pada pengusaha Taiwan dengan
memberikan tax holiday 5 tahun (menurut penuturan 2 kawan pengusaha taiwan
yang saya kenal, jd mungkin bisa salah)
nah setelah 5 tahun ini mereka harus mulai membayar tax yang cukup tinggi
(saya lupa angka persisnya)
menurut pengusaha taiwan ini, akhirnya setiap 5 tahun mereka menjual usaha
yang ada beserta semua alatnya, dan membuka perusahaan baru dengan usaha
sejenis
pemerintah china tidak melarang hal itu, kenapa? karena mereka menjual usaha
lama yang sudah jalan dengan harga murah ke pengusaha china
benar-benar win-win solution

kembali ke indonesia....
strategy apa yang bisa kita pakai untuk maju?
mendahulukan UMR?
melarang sistim kontrak?
belum lagi ekonomi biaya tinggi

kapan ya Indonesia bisa mendekati China? ngimpi dot com kali yah

oh ya, soal korupsi, China juga korup, tapi mereka terima duit kerja juga
cepat
nggak kayak disini yang pakai semboyan kalau bisa lama kenapa harus cepet?

soal kualitas barang China... saya istilahkan produk-produk China itu taylor
made
maksudnya mereka akan buat barang sesuai harga buyer
masih ingat tahun 2003 di Guangzhou bertemu dengan pengusaha Afrika, mereka
membeli kaos tanpa leher hanya seharga 3.5 RMB atau setara Rp 3.500 waktu
itu
saking penasaran saya lihat seperti apa barangnya
hahahaha memang pantas sekali dengan harganya.....
bahannya tipis, jauh dari unsur cotton, tapi sablonnya tetap bagus
waktu saya tanya sama pengusaha Afrika, ternyata itu kaos memang dibuat
untuk 1 kali pakai, karena mencuci adalah barang mahal di Afrika, saya nggak
tahu Afrikanya mana.

-yang pernah dimakan pengusaha china- hehehe ongkos belajar

kicky

2010/1/16 Agus Hamonangan <agushamonan...@yahoo.co.id>

>
>
> Oleh Andi Suruji
>
>
> http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/16/0253373/lebih.cepat.lebih.baik.lebih.murah
>
> Judul tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengingatkan Anda tentang slogan
> kampanye dalam pemilu presiden tahun lalu. Namun, slogan "lebih cepat, lebih
> baik, dan lebih murah" saya yakin semua sepakat bahwa itulah prinsip dan
> kunci keunggulan China sehingga produk-produknya menjadi yang ditakuti semua
> orang dan perekonomiannya semakin meraksasa.
>
> Baru saja kita baca, China sudah menempati urutan pertama di dunia ini
> sebagai negara eksportir terbesar, mengalahkan Jerman. Kita di sini pun
> banyak pontang-panting, terbirit-birit, bahkan seperti lari
> tunggang-langgang menghadapi serbuan produk China. Ketika berbagai regulasi
> penghambat masuknya barang China saja para pengusaha sudah kelabakan
> menghadapinya, apalagi kalau semua hambatan tarif sudah dihapuskan.
>
> Ketika bertemu dengan pejabat-pejabat Kedutaan Besar China di Jakarta
> beberapa waktu lalu, mereka mengatakan janganlah melihat satu sisi saja dari
> perdagangan bebas itu. Perdagangan bebas selalu bermata dua, di satu sisi
> membuka peluang untuk masuk pasar mereka, di sisi lain memang memberi
> tantangan agar kita meningkatkan kapasitas, kemampuan, dan daya saing.
>
> Begitu banyak potensi pasar yang juga bisa digarap Indonesia di China.
> "Contoh sederhana, berapa banyak penduduk China yang kian meningkat
> kemampuannya berwisata ke Indonesia. Persoalannya, hanya sedikit di antara
> mereka itu yang mengenal Indonesia," kata mereka.
>
> Di sinilah titik krusial persoalan perdagangan bebas tersebut. Perdagangan
> bebas itu tentu tidak datang tiba-tiba seperti banjir bandang, tanah
> longsor, gempa bumi yang sering kita alami. Langkah itu sudah diproses
> begitu lama, sejak sekitar 10 tahun silam. Permasalahannya, China
> mengerjakan semua pekerjaan rumahnya, bergerak lebih cepat, sementara kita
> tenang-tenang saja. Memang sering diomongkan, tetapi sebatas diomongkan.
>
> Sementara China bergerak lebih gesit, melaju lebih cepat untuk menyediakan
> infrastruktur secara masif sehingga mobilitas penduduk dan distribusi barang
> di dalam negeri menjadi lebih lancar dan lebih cepat. Tentu saja hal itu
> juga berlaku bagi lalu lintas barang yang mereka impor dan ekspor.
>
> Ketika kita, misalnya, masih berkutat berdebat soal energi sebagai salah
> satu penyebab mahalnya biaya berbisnis dan memproduksi barang, China sudah
> maju beribu langkah menyiapkan antisipasi sumber-sumber energi alternatif
> untuk masa depan yang sangat jauh. China kini sudah memasuki tahap
> menyiapkan energi nuklir, misalnya, sehingga suatu saat nanti China tidak
> akan tergantung pada impor batu bara, semisal dari Indonesia.
>
> China juga lebih cepat menggenjot kapasitas produksi domestiknya. Seorang
> pengusaha yang baru saja berkunjung dan bertemu eksekutif-eksekutif bisnis
> ataupun pengambil kebijakan publik di China tak henti-hentinya memuji
> langkah-langkah China. Uang negara digelontorkan ke daerah untuk membangun
> infrastrukturnya. Daerah bertanggung jawab dan berlomba mengembangkan
> infrastrukturnya, berpacu menarik investasi.
>
> Badan usaha milik negara juga disuntik modal untuk membangun kapasitasnya,
> memproduksi barang semaksimal mungkin. Badan usaha swasta yang memproduksi
> produk strategis juga didukung penuh dengan berbagai fasilitas untuk
> meningkatkan kapasitas dan mutu produknya.
>
> Belum lagi soal buruh yang kompetitif, baik produktivitasnya maupun tingkat
> upahnya, seperti banyak diceritakan pengusaha. Birokrasi di China, terutama
> di kawasan-kawasan pengembangan bisnis, sungguh menyenangkan. Untuk melayani
> investor asing, tenaga-tenaga pelayanan adiministratif level paling bawah
> pun bahkan dilatih di luar negeri, atau pelatih dari luar negeri didatangkan
> untuk melatih mereka agar memahami sikap, kultur, dan kebutuhan investor.
> Pendeknya, investor yang masuk ke suatu kawasan pengembangan bisnis dibuat
> sedemikian nyaman karena diberi jaminan keamanan dan kepastian berusaha.
> Masuknya investor juga membawa teknologi, yang kemudian dikembangkan sendiri
> oleh China.
>
> Di level makro, Pemerintah China dan bank sentralnya bekerja sama erat
> untuk mempertahankan tingkat inflasi yang wajar, mempertahankan kurs atau
> nilai tukar mata uangnya agar tidak berfluktuasi bebas seperti kurs rupiah
> yang sering kali tak ubahnya roller coaster. Tingkat suku bunga perbankan di
> negara itu juga sangat rendah, hampir dua kali lipat lebih murah ketimbang
> suku bunga di Indonesia.
>
> Semua itu membuat ekonomi China termasuk produknya menjadi semakin
> kompetitif. Akhirnya, produk China menjadi lebih baik mutunya dan lebih
> murah harganya.
>
> Lantas kita melihat semua itu dengan " rasa iri" dan bertanya mengapa tidak
> ada gerakan demikian di negara kita. Setelah itu, seperti biasa, cepat-cepat
> kita mencari kambing hitam atas kekalahan dan kelemahan kita. Ya, salah
> satunya kambing hitam itu adalah barang China banyak diselundupkan masuk.
>
> Lha, bukan salah barang China itu kalau diselundupkan oleh para
> penyelundup. Salahnya aparat kita yang tidak bisa menangkap dan memenjarakan
> penyelundup itu. Salahnya oknum aparat kita yang mau disuap untuk meloloskan
> barang selundupan.
>
> Intinya, di China ada leadership yang kuat dan visioner, melihat jauh ke
> depan tantangan China sebagai negara yang berpenduduk lebih dari satu miliar
> jiwa. Pemimpinnya tidak sekadar puas merumuskan tantangan bangsanya itu ke
> dalam konsep, diomongkan lalu berhenti. Akan tetapi, jauh lebih penting
> menjawab tantangan itu dengan mengimplementasikan programnya.
>
> Ketika bertemu seorang pejabat tempo hari, dia mengatakan jangan terlalu
> cemas. Ada juga produk-produk unggulan kita yang bisa bersaing dengan produk
> China dan produk negara lain di pasar China.
>
> Apa itu? Katanya, ya, seperti kelapa sawit, kakao, karet, dan batu bara.
>
> Astaga...! Kalau hanya mengekspor komoditas primer, itu bukan produk
> unggulan namanya. Itu komoditas anugerah Tuhan yang Maha Pemurah kepada
> bangsa ini.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke