Bung Budi kerenimut, Rupanya tidak hanya namanya yang "kerenimut", namun pendapatnya pun juga kerenimut! Begitulah keadaan disini, maksud saya di DKI. Saking kisruh dan semrawutnya, sampai pemerintah yang mempunyai tugas-tugas dan seharusnya menjalankan "management" pemerintahan yang benar, sudah enggak sanggup lagi berbuat apapun. Lha gimana....katanya "mobil pribadi" yang seharusnya disalahkan dalam hal kesemrawutan di jalan-jalan di Jakarta ini, namun kok ya pejabat nya dengan mudahnya memberikan mobil-mobil baru kepada para anggota DPR, nya? Jadi bagaimana........?? Yang semestinya aturan yang dibuat adalah mengurangi penjualan mobil-mobil baru, dan mengurangi kepemilikan mobil kepada setiap keluarga, seperti di Singapore, namun hal tersebutlah tidaklah suatu hal yang dijalankan terlebih dahulu oleh pemerintah DKI, bukan? Ataupun membuat harga pajak yang sangat tinggi jika kendaraan pribadi melewati jalan-jalan protokol di Jakarta, seperti di London dan juga Singapore. Dan semua di-diteksi dengan otomatik electronic gadgets. Bukan para polisi berdiri dijalanan dan meminta uangnya bagi para pengendara mobil pribadi yang masuk daerah "larangan" tersebut. Nah, kalau pemerintah DKI sudah juga melakukan peraturan-peraturan seperti hal-hal tersebut diatas, maka apakah ada yang berani memakai mobil-mobil pribadi pergi kekantor-kantor? Tentunya tidak, kan? Masyarakat luas akan lebih memilih busway, bukan? Jalanan macet, karena pemakai mobil pribadi tidak dikenakan sangsi apapun. Maka....kita memang memerlukan pemimpin yang tegas. Tidak mengharapakan pemasukan uang dari "organda", juga dari pajak penjualan mobil-mobil, dan juga darai para pemilik angkot-angkot. Pilih salah satu, jika menginginkan jalanan jadi rapi dan masyarakat belajar ber-disiplin menggunakan kendaraan umum, tentunya Pemerintahan DKI jangan SERAKAH...mau mendapatkan hasil pendapatan dari setiap pihak. Berikan aturan dengan pajak yang tinggi pada kendaraan pribadi yang kedua atau ketiga, kepada keluarga yang memiliki lebih dari satu mobil pribadi. Namun di Indonesia ini, apapun bisa disalah gunakan, nanti jangan jangan mobil pribadi kedua diatas namakan kepada "tukang kebun" nya, biar tidak membayar pajak yang tinggi. Emang disiplin susah ditanamkan di Indonesia ini. Sigh.......:-(( Salam, Yuli budi kerenimut <[EMAIL PROTECTED]> wrote: " banyak orang menulis ngomong enak, enak saja ngomong dan ngomong seenaknya seperti tulisan ini mengenai kemacetan yg dibuat jalur busway baru ini. " " saya menyangsikan banyak orang yg menulis mengenai busway ini adalah orang yg tidak pernah naik busway, tidak pernah mengalami kemacetan di jl panjang, gatot subroto, tidak pernah naik angkot, ojek tetapi sok tahu soal busway dan klas bawah sambil jual tampang bawa2 pengalaman di luar negeri. "
Sebelum saya memulai, saya informasikan disini bahwa saya tidak pernah naik busway, karena saya Asli Surabaya dan tinggal (kerja) di Batam, meski pernah beberapa kali ke Jakarta saat belum ada busway. Mungkin menurut kriteria bung Sohib diatas, saya bisa dikategorikan ngomong enak atau seenaknya atau sok tahu soal busway. Saya tidak merasa lebih tahu soal busway atau bahkan sok tahu. Yang ingin saya ulas disini bukan masalah buswaynya, tapi tentang sikap kita memahami suatu persoalan. Boleh saja kita memang setiap hari atau setiap jam mengalami suatu pesoalan atau bahkan penderitaan. Tapi kita tidak harus menutup mata terhadap pendapat orang lain kan..? Hanya karena orang lain "tidak pernah mengalami dan merasakan" maka orang lain itu kita pandang tidak mengerti atau tidak tahu (sok tahu). Bukan begini caranya berkomunikasi dengan orang lain bung Sohib... Maaf, saya tidak menggurui lho, saya cuma berbagi pengalaman hidup saja, karena saya dulu juga pernah seperti ini-berpikir seperti ini. Dan sering ngomong ke orang "emang kamu tahu apa! saya yang mengalami makanya saya lebih tahu". Tapi untung ada seorang sahabat yang lebi senior menasehati saya, dan ini salah satu perjalanan menuju proses kedewasaan dalam kehidupan, meskipu masih buanyaaak sekali hal yang harus saya perlajari dan perbaiki. Bisa jadi memang seseorang lebih "merasa" tapi bukan berarti dia lebih 'mengerti'. Karena bisa jadi (dan kemungkinan besar) orang yang melihat di luar mampu lebih melihat sebuah persoalan itu secara komprehensif, obyektif dan bisa memberikan gambaran atau perspektif yang berbeda dari kita yang merasakan. Bukankan ketika kita sedang mengalami suatu persoalan atau musibah, kita dianjurkan untuk berbicara dan meminta pendapat orang lain..padahal kita yang merasakan. Sebab- jangan-jangan karena kitalah yang berada dilingkaran persoalan / penderitaan itu ,maka pandangan jernih kita sedikit tertutup oleh kelus kesah, kesengsaraan dan kemarahan. Kalau sudah seperti ini biasanya inti dari pusat perhatian adalah diri sendiri, artinya diri kitalah yang lebih harus didengarkan dan diperhatikan orang lain, sedang orang lain atau pihak lain diluar kita hanya sebagai obyek tudingan. kita tuding orang lain banyak omong, sok tahu, kita tuding pemerintah tidak becus, kita jadikan kondisi orang lain yang tidak sama dengan kita sebagai alasan tudingan kita,...dsb. Karena jika prinsip kita :"orang lain tidak merasakan, saya yang merasakan", karena orang lain tidak merasakan, maka orang lain tidak lebih tahu dari saya, karena orang lain tidak lebih tahu, maka saya lebih tahu, maka sikap kita selanjutnya sebetulnya adalah terjemahan dari " saya lebih tahu dan lebih benar dari anda yang tidak tahu". bung Sohib, membaca cuplikan kejadian sehari-hari di jalan raya jakarta +busway yang anda kemukakan, saya juga mengerti kalau hal itu menjengkelkan. Kalau saya hidup dan tinggal di Jakarta pasti juga seperti orang lain yang jengkel dan muak dengan kemacetan. Orang yang tidak merasa nyaman naik busway atau KRL tidak bisa kita salahkan karena memang tidak nyaman-nya pelayanan angkutan publik di DKI dan negeri ini. Ini jelas BEDA dengan luar negeri yang tertib dan disiplin serta bersih + bebas copet dan pedagang kaki lima. Toh masyarakat sendiri yang membuat angkutan itu tidak nyaman dengan membuang sampah seenaknya, main serobot naik angkutan, angkutan berhenti di jalan raya seenaknya, belum lagi polisi yang tidak bisa menjamin keamanan masyarakat di angkutan publik. Dan kita juga tak bisa menyalahkan pedagang kaki lima keran mereka mencari makan untuk dirinya atau keluarganya. Rumit bukan? Masalahnya, bagaimana posisi kita atau sikap kita terhadap kompleksitas masalah Jakarta ini? Saya pernah baca bahwa orang itu cenderung 'terperangkap pada posisinya sendiri dalam memandang orang lain'. Orang yang ada di busway pasti merasa nyaman dengan busway-nya dan memandang yang punya mobil sbg sok kaya dan bikin macet, orang yang naik mobil memandang busway sbg penambah kemacetan dan penghalan jalan mobil mereka, orang2 di jalan memandang pemerintah DKI tidak becus menangani kemacetan, orang-orang dari DLLAJR dan pemprov DKI memandang masyarakat susah diatur. Nah kalau sudah begini, pendapat siapa yang dianggap paling benar? Memang seharusnya pemerintah sebagai pengatur kebijakan publik lah yang paling bertanggung jawab terhadap penyelesaian kemacetan di DKI JAkarta, tapi itu tak berhasil tanpa dukungan SIKAP dari masyarakat. Namun itu tidak mudah karena jika kita bicara tentang kepentingan dan kemauan publik, maka kita bicara tentang bermacam kepentingan dan kemauan yang harus di penuhi. Pemerintah sebagai perwujudan management publik yang harusnya punya kemampuan untuk menangani ini. Ironisnya, penyelenggara pemerintahan di negeri ini (juga pemimpinnya) tidak punya kemampuan yang memadai untuk men-sinkronkan- kepentingan dan kemauan publik yang bermacam-macam itu. Jadinya, satu kepentingan merasa terpenuhi, kepentingan masyarakat yang lain merasa terabaikan. Satu sikap bijak kita mau dan mampu membuka diri terhadap masukan dari pihak (orang) lain dan kita coba berpikir positif dengan mencari titik temu diantara dua perbedaan pendapat dan kepentingan. ini saran saya saj, mohon maaf jika kurang berkenan. salam,