Penulis ini bukan cuma cerdas tapi juga bernyali tinggi. Dia tahu akan risiko 
yang mungkin harus dihadapi akibat tulisannya yang melawan arus dan menubruk 
nasionalisme overdosis yang ini sedang melanda negeri ini, tapi dengan cermat 
dan penuh perhitungan dia sampaikan pemikiran serta argumentasinya. Semuanya 
jauh dari teori konspirasi, jauh dari kebencian pada apapun yang berbau asing, 
dan cukupefektif dalammendudukkan persoalan pada tempatnya.
   
  Kita tak banyak tahu memang apa yang selama ini sesungguhnya dilakukan NAMRU. 
Tapi, memang nyaris tak masuk di akal jika pemerintah Indonesia, khususnya 
Depkes, sama sekali tak punya akses ke fasilitas ini. Ini gila namanya! Saya 
lebih percaya bahwa akses itu ada dan selama ini RI mendapat banyak manfaat 
dari fasilitas riset kesehatan ini. Cuma, ya itu tadi, kita lagi dilanda 
gelombang euforia nasionalisme yang nyaris jadi semacam paranoia. 
   
  Semuanya mau disikat habis: Malaysia, AS, Ahmadiyah, sastra (yang disebut 
secara vulgar dengan "sastra kelamin" itu), gereja, youtube, dan setelah ini 
entah apa lagi. Yang jelas, kita tak akan pernah kehabisan stok musuh deh.
   
  Di tengah hiruk pikuk kebencian dan saling curiga berlebihan, satu suara 
seperti ini cukuplah mewakili nurani kecil yang nyalanya menerangi akal sehat 
kita yang amat rapuh.
   
  manneke

Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Oleh Kartono Mohamad
http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/04/29/00190847/heboh.soal.namru

Sejak Perang Dunia I, terutama setelah Perang Dunia II, garis
pertahanan Amerika Serikat tidak berada di wilayahnya sendiri, tetapi
jauh dari daratan AS. Dengan demikian, musuh tidak akan dapat menjamah
daratan AS.

Caranya dengan membangun pangkalan-pangkalan militer dan menempatkan
kekuatan militernya di wilayah-wilayah negara lain, terutama kekuatan
laut dan marinir. Maka, dikenal ada Armada I (daerah Panama dulu),
Armada VI (di Timur Tengah), dan Armada VII di Asia Pasifik. Karena
itu, mars Marinir AS diawali dengan kalimat ”From the hall of
Montezuma, to the shore of Tripoli”.

Membawa risiko

Penempatan kekuatan militer di negara-negara lain, terutama daerah
tropis, membawa risiko tersendiri. Mereka akan terpapar dengan
berbagai penyakit yang tidak ada di AS, yang mungkin dibawa pulang dan
menyebar di AS.

Untuk itu, mereka mendirikan pusat- pusat penelitian kedokteran di
wilayah-wilayah itu, diberi nama Naval Medical Research Unit (Namru).
Kalau tidak salah, pada awalnya ada tiga Namru. Tetapi, kini tinggal
dua, yaitu Namru 1, berkedudukan di Cairo untuk mempelajari berbagai
penyakit di wilayah Afrika dan Timur Tengah, dan Namru 2 terletak di
Jakarta sebagai pusat penelitian mereka mencakup wilayah Indonesia,
Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, bahkan mungkin
sampai Sri Lanka atau Nepal.

Dalam panduan (manual) untuk perwira medis AL-AS (US Navy Medical
Officer) ada bab tentang medical intelligence. Kata intelijen memberi
konotasi mata-mata. Namun, panduan itu mengatakan, para perwira
kesehatan AL harus mengenali berbagai penyakit di wilayah pasukan
ditempatkan. Data-data itulah yang dikumpulkan oleh Namru. Jadi, tidak
ada kaitannya dengan spionase atau mata-mata.

Naif

Yang mempunyai unit penelitian kesehatan di militer bukan hanya AS.
Singapura mempunyai Defence Medical Research Unit, yang melakukan
penelitian berbagai penyakit yang dapat ”menyerang” penduduk Singapura
serta menyusun strategi penanggulangannya jika penyakit semacam itu
masuk ke Singapura.

TNI juga mempunyai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) yang
di dalamnya ada unit penelitian kesehatan. Dulu litbang kesehatan TNI
AL (dulu ALRI) melakukan penelitian tentang efek udara tertutup di
kapal selam bagi kesehatan awak kapal serta mencari suhu optimal untuk
bekerja di kapal selam.

Atas keadaan itu, ungkapan Menkes Siti Fadilah yang mengatakan,
”penelitian kesehatan, kok, di bawah militer” terasa naif. Sebagai
peneliti, ia seharusnya memahami, militer pun boleh melakukan
penelitian di bidang kesehatan sesuai dengan kepentingan mereka.

Mengingat Namru merupakan bagian AL AS, dulu mitra kerjanya yang
terdekat adalah TNI AL. Penelitian yang dilakukan dalam kerja sama
dengan TNI antara lain penelitian malaria di Papua yang bukan hanya
dengan TNI AL (Lantamal V), melainkan juga dengan TNI AD, pada awal
tahun 1990-an.

Dari penelitian itu diketahui seberapa besar parasit malaria di Papua
yang sudah kebal terhadap obat-obat antimalaria yang konvensional.
Kalau tidak salah, hasil penelitian ini juga dilakukan bersama
Litbangkes dan P2MPLP Depkes yang menghasilkan perubahan kebijakan
obat antimalaria Depkes dan diagnosis cepat untuk malaria (Rapid Test).

Maka, juga amat naif jika dikatakan, Namru 2 tidak bekerja sama dengan
lembaga Pemerintah RI. Yang juga disayangkan adalah mengapa para
pejabat Depkes yang terlibat kegiatan Namru, seperti Litbangkes dan
P2MPLP, tak memberi masukan kepada Menkes sehingga beliau tidak
mengambil kesimpulan terlalu cepat. Sebab, banyak kegiatan Namru
lainnya yang dilakukan bersama Depkes, selain dengan berbagai
perguruan tinggi.

Spionase

Cerita tentang spionase ini menarik dan penuh thrill. Bahwa Namru bisa
dijadikan tameng kegiatan spionase, bisa-bisa saja. Yang aneh adalah
beberapa pejabat yang dulu berkuasa di bidang intelijen baru sekarang
melemparkan tuduhan atau dugaan, padahal Namru 2 sudah lebih dari 20
tahun ada di Indonesia.

Menjadi pertanyaan mengapa saat mereka menjabat tidak melakukan
tindakan jika memang menemukan bukti bahwa Namru 2 melakukan kegiatan
spionase.

Kegiatan spionase negara asing terhadap tuan rumah bukan hal baru dan
dilakukan melalui berbagai cara. Tidak hanya dengan menggunakan
lembaga resmi. Jepang dulu menggunakan tukang potret, penjual mainan,
dan pedagang kecil untuk memata-matai Belanda di Indonesia. Bahkan,
kini menggunakan teknologi canggih, seperti satelit dan lainnya. Bukan
tidak mungkin Israel mempunyai spion di Indonesia. Pejabat intelijen
Indonesia tentu mafhum dengan berbagai cara spionase itu. Menjadi
tugas lembaga kontra spionase Indonesia untuk melakukan tindakan jika
diketahui ada spion asing memata-matai Indonesia. Bukan hanya
berbicara setelah lepas dari jabatan itu.

Mungkin ada baiknya, secara terbuka para pejabat tinggi negara
berkomunikasi dengan Namru 2, menanyakan hasil penelitiannya, apa yang
sudah mereka sumbangkan untuk Indonesia. Ada baiknya juga ditanyakan
kepada peneliti Indonesia yang bekerja, atau pernah bekerja sama, atau
dibantu Namru. Jangan lupa, Namru adalah lembaga penelitian, bukan
penindakan. Jadi, jika saat KLB Demam Berdarah, yang ditanyakan kepada
Namru adalah sumbangan apa yang mereka berikan kepada Depkes dalam
mendeteksi atau mengantisipasinya. Sementara penindakan atau
pencegahan KLB menjadi tanggung jawab Depkes. Jangan sampai ucapan
pejabat tinggi itu bak menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Sebelum mengambil keputusan tentang Namru, ada baiknya dibuat neraca
plus- minus bagi dunia kesehatan dan kedokteran Indonesia tanpa
diselimuti kebencian atau memanfaatkan demi popularitas. Kebencian
terhadap AS, terutama pemerintahan di bawah Bush, dapat dipahami.
Namun, kebencian jangan berlebihan karena bertentangan dengan ajaran
agama.

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia



                           

       
 
              
---------------------------------
    
       
Yahoo!         Canada Toolbar : Search from anywhere on         the web and 
bookmark your favourite sites. Download it now!          


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke