http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/07/03122761/awas.deindustrialisasi


Jakarta, Kompas - Perekonomian Indonesia mengalami gejala deindustrialisasi 
dini. Perekonomian yang sebelum krisis 1997/1998 ditopang industri kini 
bergeser ke sektor jasa, terutama jasa modern yang kurang menyerap tenaga 
kerja. Akibatnya, jumlah penganggur semakin besar.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan gejala deindustrialisasi itu dalam 
finalisasi visi 2030 dan peta jalan (roadmap) 2015 Pembangunan Industri 
Pengolahan di Jakarta, Selasa (6/10). Diskusi putaran kedua yang menghadirkan 
sejumlah pemimpin media massa itu membahas Kluster Unggulan Pendalaman Struktur 
Industri, yakni industri alat telekomunikasi dan informatika, logam dasar dan 
mesin, serta petrokimia.

Faisal mengatakan, salah satu pemicu deindustrialisasi adalah rendahnya 
dukungan perbankan. Kredit ke sektor industri secara nominal tetap tumbuh, 
tetapi persentasenya makin rendah.

Tahun 1985, menurut Faisal, hampir 40 persen kredit perbankan ke sektor 
industri pengolahan. Tahun 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 15 persen 
kredit perbankan.

"Perbankan lebih tertarik pada pembiayaan konsumsi dan pembangunan properti. 
Penurunan volume kredit perbankan berarti kelangkaan pembiayaan investasi dan 
modal kerja bagi sektor industri," kata Faisal.

Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia Amir 
Sambodo mengatakan, perbankan lebih berkonsentrasi pada penyaluran kredit ke 
sektor konsumsi dibandingkan industri. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan 
pemerintah dalam harmonisasi tarif dan kebijakan infrastruktur pendukung 
pertumbuhan industri.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset, dan Teknologi Rahmat 
Gobel selaku penyelenggara diskusi secara terpisah mengatakan, lima tahun ke 
depan, pemerintah perlu memberi prioritas kebijakan pada pendalaman struktur 
industri pada sektor telematika, barang modal, dan perkakas.

"Langkah ini penting untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan perekonomian 
nasional menghadapi era persaingan bebas ke depan," kata Rahmat.

Menurut Rahmat, daya saing perekonomian suatu negara akan sangat ditentukan 
oleh penguasaan atas teknologi informasi dan teknologi.

Pertumbuhan menurun

Gejala deindustrialisasi ditunjukkan dengan pertumbuhan industri manufaktur. 
Sejak krisis moneter 1997/1998, pertumbuhan industri manufaktur turun sangat 
drastis. Sepuluh tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur 
nonminyak dan gas tumbuh rata-rata 12 persen per tahun. Lima poin lebih tinggi 
daripada produk domestik bruto (PDB) saat itu (6,9 persen).

Setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata tumbuh 5,7 
persen per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2 
persen). Kini, pertumbuhan industri manufaktur cenderung turun lebih rendah 
daripada PDB.

Lima tahun terakhir (2004- 2008), industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 
5,6 persen per tahun, lebih rendah daripada rata-rata pertumbuhan PDB (5,7 
persen). Sejalan dengan penurunannya, peranan industri manufaktur mendorong 
pertumbuhan PDB kian berkurang, bahkan tergeser sektor jasa.

Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) Arifin Tasrif mengatakan, 
kebijakan buka- tutup impor yang diambil pemerintah kerap merugikan industri. 
Padahal, industri domestik sesungguhnya mempunyai dan menguasai bahan baku. 
"Kita seharusnya jangan hanya mengamankan cash flow, tetapi juga menciptakan 
value terkait peluang pasar global," kata Arifin. (OSA)

Reply via email to