----- Pesan Diteruskan ----

Dari: Ebi Junaidi <ebijuna...@gmail.com>
Kepada: ekonomi-syar...@yahoogroups.com
Terkirim: Ming, 15 Agustus, 2010 18:39:38
Judul: [ekonomi-syariah] Ekonomi Syariah, Indonesia dan Persepsi seorang 
Profesor dari Amerika

Ekonomi Syariah, Indonesia dan Persepsi seorang Profesor dari Amerika


 Seorang Profesor dari Amerika Serikat menghubungi saya. Profesor ini sangat 
rendah hati dan pencinta ilmu sejati. Beliau mengajak saya untuk menulis 
tentang 
bagaimana mengajarkan ekonomi pasar pada negara berpenduduk muslim terbesar di 
dunia. Terus terang, saya langsung tertarik. Dua kali kunjungannya ke Indonesia 
(jakarta dan jawa timur) dan percakapan kami sepanjang perjalanan tersebut, 
membuat dia tertarik pada esistensi ekonomi lain, the so called “Islamic 
Economics”. Saya langsung setuju.

 Beberapa hari kemudian beliau mengirimkan kepada saya abstrak dari tulisan 
yang 
ingin beliau masukkan dalam sebuah ‘call for paper” seminar di Amerika dan 
meminta masukan dan waktu untuk berdiskusi via internet. Berikut proposal 
tulisannya: 

 Are the key economic institutions of modern capitalism in fundamental conflict 
with traditional Islamic institutions? Could repugnance of some market 
transactions constrain economic growth and development? In this session we 
discuss Islamic economics and the challenges encountered in teaching market 
economics in an Islamic country” (Apakah institusi-institusi ekonomi yang  
penting dalam kapitalisme modern secara fundamental bertentangan dengan 
institusi-institusi Islami? Dapatkah ketidaksetujuan terhadap beberapa jenis 
transaksi pasar membatasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan? Dalam sesi ini 
kami mendiskusikan Ekonomi Islam dan tantangan yang dihadapi dalam pengajaran 
ilmu ekonomi pasar di Negara Islam)
 
  lebih lanjut beliau mendeskripsikan: To what extent is illegality or 
repugnance of key market capitalist institutions a constraint on economic 
development in Islamic countries? And how do Islamic law, norms, and culture 
impact the teaching of market economics in Islamic countries? Since people may 
have a real repugnance toward some types of market transactions, economists 
involved in teaching must take this aversion into account. In this session we 
will examine how Islamic institutions impact the delivery of economic 
education,(sejauh manakah ketidaklegalan atau ketidaksetujuan terhadap 
institusi-institusi kapitalis pasar yang penting menjadi suatu batasan pada 
pembangunan ekonomi dalam Negara Islam? And bagaimanakah hukum, norma dan 
budaya 
Islam berdampak pada pengajaran ekonomi pasar di negara-negara Islam? Karena 
orang mungkin memiliki ketidaksetujuan yang riil terhadap beberapa jenis 
transaksi pasar, ekonom yang terlibat dalam pengajaran harus memperhitungkan 
hal 
ini (dalam pengajarannya). Dalam sesi ini kami akan membahas bagaimana 
institusi-institusi Islam berpengaruh pada pendidikan ekonomi)
 
Mendapati abstrak dan deskripsi program yang beliau tulisan dan harapkan akan 
kami presentasikan di salah satu sesi seminar tersebut saya jadi berpikir, 
“Apakah saya telah memberikan “kesan yang salah” tentang “keislaman” dan 
ekonomi 
dalam beberapa kali perjumpaan dan perjalanan kami selama ini?” Sangat 
dimaklumi, sebagaimana banyak Profesor lainnya, profesor ini tidak mengenal 
Indonesia sebelumnya. Bahkan menurut salah satu senior saya, ketika  pertama 
kali terlibat di “pergerakan pendidikan ekonomi”, beberapa pengajar ekonomi 
dari 
Amerika mengira sistem ekonomi dan pengetahuan ekonomi kita sejajar 
negara-negara ex-uni soviet yang baru merdeka dan baru “membuka diri” terhadap 
pasar. Sebagian bahkan cukup terkejut ketika kita beritahukan bahwa buku-buku 
teks seperti Samuelson, Pyndick,dkk merupakan teks wajib di universitas kami. 

Kembali ke proposal sang Profesor, saya sangat tergelitik dengan beberapa 
pertanyaan dan pernyataam yang beliau singgung (beberapa pertanyaan lainnya 
sepertinya telah banyak dibahas di buku-buku ekonomi Islam oleh beberapa 
ekonom-ekonom ekonomi Islam), seperti:
In this session we discuss Islamic economics and the challenges encountered in 
teaching market economics in an Islamic country. And how do Islamic law, norms, 
and culture impact the teaching of market economics in Islamic countries? Since 
people may have a real repugnance toward some types of market transactions, 
economists involved in teaching must take this aversion into account Pernyataan 
ini sungguh menggelitik buat saya. Tidak pernah di kelas manapun saya 
mendapatkan mahasiswa maupun guru ekonomi SMA/MA/SMK dengan agama apapun yang 
kemudian bertanya: Pak, jika di agama saya, kira-kira pandangannya tentang A 
yang bapak ajar itu seperti apa ya? Sejauh manakah ada tantangan utk 
mengajarkan 
ekonomi pasar di negeri ini. Hmmm… sepertinya tidak ada (sepertinya agak lucu 
jika saya katakan hal ini dengan sangat datar ke beliau). Bukankah harapannya 
dengan pertanyaan-pertanyaan ini beliau berhadap ada sesuatu yang significantly 
different dengan negara lain atau negaranya? Saya mereka-reka mengapa justru 
saya cenderung untuk mengatakan hasilnya mungkin insignificantly different? 
What 
rationale behind that?

Pertama, mungkin karena negeri kita memiliki dualisme dalam pendidikan dalam 
konteks keislaman, ada yang sekuler dan ada yang tradisional Islam (Permani 
2008). Bahkan lahirnya madrasah merupakan simbol dari sekulerisme dari 
pendidikan islam lainnya (pesantren). Madrasah dilahirkan oleh Kyai Ma’sum dari 
Pesantern tebu Ireng (Dhofier 1999), yang menurut Thomas (1988) merupakan 
respon 
untuk berkompetisi dalam mendapatkan perkerjaan yang baik antara sekolah 
bergaya-Eropa dan sekolah muslim. Di bawah kepemimpinan Kyai Wahid Hasyim 
kemudian madrasah dimodenisasi. Permani (2008) lebih jauh mengatakan bahwa 
sekularisme dalam pendidikan diartikan sebagai penurunan peranan agama dalam 
pendidikan tersebut, seperti Madrasah ini yang meninggalkan hanya 30% saja mata 
pelajaran keagamaan (dibanding hampir 100% di pesantren salafiyah). Bahkan 
mulai 
tahun 2006, jumlah jam pelajaran yang diperbolehkan utk pelajaran-pelajaran 
keagamaan di madarasah dibatasi menjadi hanya 10%. 

 
Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan masih barang yang langka di negeri ini, 
bahkan di dunia islam lainnya. IIIT (International Institute of Islamic 
Thought) 
yang menjadi salah satu penggalak dalam proses ini tidak mampu menjadi 
mainstream dalam perkembangan ilmu pengetahuan bahkan di negara-negara berdiri 
organisasi tersebut.
 
Ketiga, dan ini mungkin yang paling merisaukan, adalah mungkin muslim sendiri 
tidak merasa perlu untuk mengetahui bagaimana agama mereka mengatur dan 
berpendapat tentang ekonomi. Sebagian mungkin akan menyalahkan sekularisme. 
Sebagian akan berdiri pada ketertakutan akan dipandang fundamentalis, tidak mau 
“berwarna”. Sebagian sesederhana merasa tidak perduli. Sebagian mungkin 
berpendapat kepedulian untuk hal tersebut tidak populer dan tidak memberikan 
akses ekonomi. Entahlah…. Jangankan untuk sistem ekonomi, kebijakan pemerintah, 
atau hal berat lainnya yang masih sarat perdebatan, untuk masalah sebuah barang 
boleh dikonsumsi muslim atau tidak saja, banyak yang tidak peduli dengan fatwa 
MUI. Bahkan seorang teman di fakultas ekonomi dulu ketika MUI menyatakan haram 
makan bre*****k, karena ada kemungkinan mengandung babi, menuliskan masak bab* 
teriak bab*. Mungkin karena kredibilitas MUI, atau berbagai kemungkinan 
lainnya. 
Wallahualam.
 
Akhirnya, saya endapkan beberapa hari pernyataan dan pertanyaan yang diajukan 
oleh Profesor tersebut dengan berfikir dan belum memberikan masukan terhadap 
proposal tersebut. Setelah beberapa hari saya akhirnya menulis;
 
J***, it is really an honour to be able to present in the session with you. I 
looked again on the session proposal you made, it is really interesting and 
address some important points there. I think we need to add historical 
background of market economics in Indonesia's economy, the Islamic reformism in 
Indonesia at the early 1990s and the dualism of secular and Islamic education 
in 
Indonesia. i will find several statistic and legal aspects of both. I have 
contacted my friend whose thesis was on the history of economics thought in 
Indonesia. I think I need to contact prof. D********n (our former dean and 
finance minister) on the market economy role on Indonesia's economy and 
economics teaching. I think we also need to identify "forbidden things" in 
Islamic perspective for economics institution. in the end, we might be able to 
highlight the co-existence of both system within Indonesia, banking would be my 
strong suggestion. What do you think about that J***?
 
Beberapa jam setelah saya mengirimkan imel tersebut, saya membaca kembali 
respon 
saya kepadanya. Banking would be my strong suggestion…..is this a good idea? 
Setelah 18 tahun lebih ada di Indonesia Islamic banking masih bertengger di 
putaran 3% total perbankan Indonesia, walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang 
menggembirakan.
 
Pernyataan bunga bank Haram oleh MUI, tidak serta merta membuat bank Islam 
kebanjiran dana, seperti banjirnya jalan-jalan di madinah oleh Khamar karena 
muslim pada membuang khmar yang menjadi bagian dari budaya mereka saat itu, 
ketika Rasulullah menyatakan bahwa khmar itu Haram. Saya tilik kartu di dompet 
saya, dari sekian institusi perbankan yang saya ikuti, hanya satu yang syariah, 
demikian juga  dengan buku tabungan. Not significantly different with sang 
profesor, saya yakin.  Saya kitari buku-buku di perpustakaan pribadi saya, 
masih 
didominasi buku ekonomi, keuangan dan lainnya, hanya sedikit yang berbau Islam. 
Tidak jauh berbeda dengan milik sang profesor, saya rasa. Jika demikian apa 
bedanya yang saya dapat harapkan muncul dalam fenomena pengajaran ekonomi pasar 
di Indonesia? Karena toch saya yang better informed tentang keislaman, toch 
tidak berbeda bertindak dari sang Professor, toch insignificantly different 
with 
the professor. Sepertinya having a religion masih berbeda dengan being 
religious. Ini mungkin keberadaan yang jamak di masyarakat kami, muslim 
Indonesia. Ini yang membuat kami Insignificantly different dengan yang lain.
 
Then…I think I should email the professor to tell him that: the true challenge 
is not teaching market economics in Islamic country but teaching Islamic 
economics in an-already market economy. The true question is nothow do Islamic 
law, norms, and culture impact the teaching of market economics in Islamic 
countries? But,  how to teach Islamic law, norms and culture to finally impact 
the behaviour of Moslem in the market economics? 

 
Because there is a gap, a very wide gap, between what the religion, Islam, 
teaches us, and what we do……
 
 
Bogor
Ebi Junaidi
 

Kirim email ke