Nasionalisme
dalam Lintasan Sejarah Secara
historis, kaum Muslim sesungguhnya tidak pernah mengenal paham nasionalisme
dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad (1000 tahun) hingga adanya upaya
imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka
melancarkan serangan pemikiran melalui para missionaris dan merekayasa
partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan
patriotisme. Banyak kelompok misionarissebagian besarnya dari Inggris, Prancis,
dan Amerikadidirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi
tersebut. Hasilnya,
pada tahun 1857 mulai berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific
Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris
terkemukadengan nama Al-Madrasah Al-Wathaniyahlalu didirikan di Syiria
oleh Butros al-Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Langkah
serupa terjadi di Mesir ketika Rifaah Badawi Rafi at-Tahtawi (w. 1873 M)
mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa
partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda
(Turkiya Al-Fata) di Istanbul. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan
real di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana
untuk menghancurkan Khilafah (Samih Athif Az-Zain, Awamil Dhaf
al-Muslimin, 1993). Sepanjang
masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum kafir berhimpun bersama. Pertama kali
dalam Perjanjian Sykes-Picot
tahun 1916 ketika Inggris dan Prancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah
negara Khilafah. Kemudian pada 1923 dalam Perjanjian Versailles dan
Dari
sinilah lahir negara-negara dengan konsep nation-state yaitu Lahirnya
Dampak
monumentalnya adalah dicanangkannya Politik Etis pada tahun 1901.
Kebijakan ini pada gilirannya membuka kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan
pendidikan Barat. Melalui pendidikan Barat inilah paham nasionalisme dan
patriotisme menginfiltrasi ke tubuh umat Islam di Hindia Belanda, yang
selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya berbagai pergerakan nasional di
Indonesia: Boedi Utomo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong
Celebes, Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan sejenisnya (Hasyim Wahid dkk,
Telikungan Kapitalisme Global, LKiS: Yogyakarta,
2000). Hakikat
Nasionalisme Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dengan jernih menjelaskan sosok
nasionalisme ini. Dalam bukunya, Nizhâm al-Islâm, Syaikh Taqiyuddin
membedakan nasionalisme/kebangsaan (qawmiyyah) dengan patriotisme
(wathaniyyah). Meskipun sama-sama lahir dari naluri mempertahankan diri
(gharîzah al-baqâ), dalam wathaniyyah (patriotisme), perasaan
yang dominan adalah upaya untuk mempertahankan diri dari ancaman luar; sementara
dalam qawmiyyah (nasionalisme), yang dominan adalah keinginan yang muncul
dari kecintaan akan kekuasaan, taerutama atas bangsa-bangsa lain.
Pada
awalnya, keinginan mempertahankan diri atau mencintai kekuasaan adalah sah-sah
saja. Namun kemudian, ia menjadi berbahaya tatkala dijadikan sebagai ikatan
(râbithah) untuk mempersatukan manusia atas dasar ras/etnik sebagai
sesuatu yang paling suci dan paling tinggi. Nasionalismelah yang menyebabkan
konflik terus-menerus, karena satu nation (bangsa/suku) sering bersaing
untuk saling menguasai dan menaklukkan bangsa/suku yang lain. Semangat
nasionalisme ini pula yangantara lainturut mendompleng ambisi bangsa-bangsa
kapitalis untuk melakukan kolonialisasi yang penuh darah atas bangsa-bangsa
lain.
Sama
halnya dengan nasionalisme yang merusak, patriotisme merupakan ikatan yang
lemah, rapuh dan tidak kekal. Pasalnya, patriotisme akan muncul kalau ada
ancaman/musuh bersama dari luar. Setelah ancaman/musuh bersama ini hilang,
pudarlah ikatan ini; persis seperti sekelompok kambing yang bersatu saat
menghadapi ancaman hewan buas. Di
beberapa negara patriotisme menjadi
senjata ampuh untuk melawan kolonialisme, namun menjadi lumpuh setelah penjajah
lenyap. Ironisnya, kaum patriotisjuga kaum nasionalisini kemudian menerima dan
mengadopsi sistem politik, ekonomi, dan pemerintahan warisan bangsa penjajah.
Walhasil, penjajahan sesungguhnya masih langgeng hingga kini.
Lagipula,
nasionalisme maupun patriotisme tidak memiliki konsepsi untuk menyelesaikan
persoalan kehidupan. Robertus Wijanarko menulis, Cacat bawaan nasionalis- me
adalah absennya proses rasionalisasi. Rasa kesatuan kebangsaan hanya
dimanfaatkan untuk memadukan kekuatan demi mengusir penjajah dan tidak
dijabarkan dalam strategi penataan struktur sosial, politik, dan ekonomi yang
merealisasikan kesatuan dan kedaulatan bangsa-bangsa pascakolonial.
(Kompas, 8/5/2006). Dalam
konteks inilah Syaikh Taqiyuddin menyebutkan bahwa ikatan yang terkuat bagi
suatu masyarakat/bangsa adalah ikatan ideologis (râbithah mabdai) yang
memiliki solusi komprehensif atas seluruh persoalan manusia. Untuk itu, dalam
konteks Dunia Islam, ideologi (mabda) Kapitalisme hanya akan bisa
dilawan dengan ideologi (mabda) Islam, bukan dengan nasionalisme.
Lebih
dari itu, dalam pandangan Islam, nasionalisme maupun patriotisme jelas
diharamkan. Bahwa umat Islam harus mempertahankan dirinya, itu benar. Namun,
dorongannya bukanlah nasionalisme/patriotisme, tetapi perintah Allah SWT untuk
berjihad. Inilah yang dilakukan oleh Masyumi pada 7 Novemver 1945 saat
mengatakan siap mengerahkan 60 juta kaum Muslim untuk berjihad melawan Belanda.
Dalam konteks ini pula, KH Hasyim Asyari pendiri NU, mengeluarkan resolusi
jihad untuk melawan Belanda pada 23 Oktober 1945. Dasarnya adalah wahyu, yakni
jihad, bukan nasionalisme. Islam
tidak melarang kaum Muslim untuk meraih kekuasaan dan memperluas kekuasaan.
Namun, kekuasaan dalam Islam
bukanlah untuk kekuasaan itu sendiri, tetapi untuk menerapkan syariah di
tengah-tengah umat Islam sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh
dunia. Ikatan
nasionalisme ini semakin jelas keharamannya ketika menjadi tujuan tertinggi dan mengalahkan ikatan akidah
Islam. Dalam Islam, ikatan tertinggi yang menyatukan manusia adalah akidah
Islam. Dengan tegas Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesungguhnya kaum
Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10). Artinya, bangsa atau etnis
manapun, selama ia Mukmin, adalah saling bersaudara. Ikatan
nasionalisme sesungguhnya telah memecah-belah umat Islam dalam negara bangsa
(nation state) yang berbeda-beda. Padahal, sebelum itu mereka
dipersatukan selama berabad-abad dalam wadah Daulah Islamiyah. Sepertinya sikap
mementingkan keselamatan bangsa sendiri ini akan menyelamatkan. Nyatanya tidak.
Tindakan seperti itu justru akan memperkuat penjajah kapitalis seperti AS untuk
memperluas penjajahannya. Diamnya umat Islam karena lebih mendahulukan
kepentingan bangsanya membuat AS secara leluasa menyerang negeri-negeri Islam
seperti Afganistan dan Irak sekaligus mendukung Namun,
perlu juga kita tegaskan, menolak nasionalisme sebagai paham bukan berarti
kita tidak mencintai bangsa.
Perjuangan Hizbut Tahrir bersama umat untuk menolak Kapitalisme sekaligus
berupaya menerapkan syariah Islam daalam wadah Khilafah justru didorong oleh
rasa cinta kepada bangsa ini. Bukankah akibat penerapan ideologi Kapitalisme
bangsa initermasuk bangsa-bangsa lain di Dunia Islammenderita? Bukankah pula
hanya syariah Islam yang akan menjadi solusinya? |
******************************************************** Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP ******************************************************** Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA : http://www.usahamulia.net
Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke : [EMAIL PROTECTED] ********************************************************