Bagaimana dengan KCIC?
--- jonathangoeij@... wrote:
Bung Chan apakah bisa menjelaskan pemakaian kata China pada nama negara The 
People's Republic of China, kenapa nama China yang dipakai dan bukannya 
Tionghoa atau Zhonghoa bukankah nama aslinya Zhonghoa Renmin Gongheguo 中華人民共和國.
--- SADAR@... wrote :

SETUUJUUUU, ... mang Radi! Sebenarnya saja sebutan NEGARA/BANGSA sepenuhnya 
adalah HAK bangsa itu sendiri hendaknya, sukanya disebut apa dan merubahnya 
sebutan yang dirasakan lebih pantas dan nyaman bangsa itu sendiri! Kita yang 
bersahabat dengan bangsa tsb. tentu WAJIB mengikuti dan nurut saja. Hanya saja 
selama lebih 32 tahun jenderal Soeharto berkuasa, dan bertujuan merusak 
hubungan persahabatan “MESRAH” dengan rakyat TIongkok yang dijalin oleh 
Presiden Soekarno itu, dengan biadab memaksakan gunakan sebutan CINA yang 
berkonotasi melecehkan dan penghinaan itu untuk menggantikan penggunaan sebutan 
Tiongkok/Tionghoa, ... yaitu dengan resmi keluarkan Surat Edaran Presidium 
Kabinet Ampera Nomor SE.06/Pres.Kab/6/1967. Dengan demikian, sejak 28 Juni 1967 
itulah RI secara resmi merubah sebutan Tiongkok/Tionghoa menjadi CINA! 
Sekalipun pihak RRT berulangkali secara resmi pun menentang dan mengecam keras 
penggunaan CINA itu! Namun ingat, setelah Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera 
No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 dengan RESMI DICABUT oleh SBY 
menjelang akhir jabatannya dengan Surat Keputusan Presiden no.12, tanggal 12 
Maret 2014, menetapkan kembali menggunakan sebutan Tiongkok/Tionghoa, dan 
dengan tegas pula menghentikan penggunaan sebutan “CINA” yang semula digunakan 
untuk menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa di Indonesia itu. Saya yakin, 
sejak 12 Maret 2014 itu, Pemerintah RI dalam hubungan resmi dengan Tiongkok, 
baik pembicaraan lisan maupun tertulis SUDAH menggunakan kembali sebutan 
Tiongkok/Tionghoa sebagaimana kehendak bangsa Tionghoa dan Negara Tiongkok! 
Sementara ini dalam pergaulan masyarakat dan sementara media masih saja 
menggunakan sebutan CHINA bahkan CINA! Dan selama ini pihak pemerintah RI juga 
mendiamkan, membiarkan saja, ... Aneh, tapi itulah kenyataan yang terjadi! Dan 
sayapun yakin, diantara mereka yang tetap gunakan sebutan China/Cina, tentu ada 
kelompok rasialis yg justru makin anti-pati pada TIONGKOK timbul KEBENCIAN luar 
biasa pada kemajuan RRT 30 tahun terakhir ini! Sengaja bertahan dengan 
ngototnya menggunakan sebutan CINA untuk menghina Tiongkok yang makin JAYA! 
Dikira dengan sebutan CINA yang meenghina itu RRT bisa tumbang, ...! Biarlah 
anjing-anjing GILA itu menggonggong sepuasnya, selama tidak menggigit. Hehehee, 
... Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, saya mengambil sikap membiarkan 
mereka masih saja menggunakan sebutan China dan Cina selama tidak digunakan 
untuk menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa, ... TERBIASA sudah gunakan 
CINA! Begitu kalau ditegur! Ada lagi anak muda yang saya tanya merasa lebih 
enak gunakan Cina dan sesuai dengan bhs. Indonesia, katanya! Tapi, dalam 
pembicaraan dengan saya, setelah ditegur mereka juga merubah dengan 
Tiongkok/TIonghoa! Itu namanya orang-orang yang bisa dinamakan BERADAB! Sampai 
sekarang saya belum bertemu dengan orang yang BIADAB, atau wong EDAN yang 
ngotot bertahan gunakan sebutan CINA. Tapi, saya kira juga tidak perlu berkeras 
mempersoalkan sebutan Cina, apalagi harus baku-hantam hanya karena sebutan CINA 
itu! Bagi saya yang lebih PENTING bagaimana SIKAP mereka sesungguhnya dalam 
menggunakan sebutan CINA itu, ... karena kenyataan CINA sudah tidak lagi 
digandoli Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 yang 
memang bertujuan menghina Tiongkok dan melecehkan Tionghoa di Indonesia itu. 
Sebagaimana permintaan mang Radi, saya lampirkan pidato lengkap Presiden 
Soekarno dihadapan Pembukaan Kongreske-8 BAPERKI tahun 1963, untuk mengikuti 
kembali bagaimana sikap Bung Karno terhadap Tionghoa Indonesia! Salam,ChanCT  
From: Dharmawan IsaakSent: Tuesday, January 31, 2017 5:10 AM Saja kira, kalau 
saja bertanja kepada saudara2 bangsa Indonesia SUKU BANGSA TIONGHOA;Apakah 
mereka setudju dengan adjaran Bung Karno,pasti sebagian besar dari mereka akan 
mendjawab setudju, bahkan banjak diantara mereka akan mengaku sukarnois.
Tapi anehnja suku Tionghoa, masih banjak jang suka menggunakan kata 
"Tjina/Cina" di tempat  Tionghoa atau Tiongkok.Menurut saja toleransi dan 
persatuan tidak bisa ditjapai dengan penjerahan, persatuan dan toleransi harus 
dihasiklkan oleh perdjuangan. Jang saja maksud perdjuangan, tidak berarti 
mendjadi radikal atau melakukan tindakan kekerasan seperti dilakukan 
gerombolan2 intoleransi.
Dalam hubugan ini saja menghimbau pimpinan GELORA 45, supajamempublikasi pidato 
Bung Karno di kongres Baperki. Bung Chan pasti tau pidato mana jang saja 
maksudkan. 21 Maret 2010 pukul 17:07 Orang awam minta tolong kepada semua 
orang2 yang pandai, sampai sekarang saya merasa jadi seorang konservatif, 
pembuktiannya sangat sederhana, saya tidak bisa mengatakan kata Cina atau 
menulisnya. Padahal saya sudah melihat ada beberapa orang Indonesia sukubangsa 
Tionghoa (ini istilah Bung Karno) menulis atau berkata dengan lancar 
menggunakan Cina.Ditinjau dari kesukuan padahal saya ini “asli” Sunda. Yang 
menyebabkan orang awam tetap konservatif pun sangat sederhana. Di jaman 
baheula, jaman ost indiesche, memang sering mendengar secara kembar kata2 Cina 
maupun Tiongkok dan Tionghoa, sesudah jaman sigundul kata2 Cina menyusut, kata2 
Tiongkok dan Tionghoa jadi dominan. Sesudah berdirinya RI dibawah pimpinan Bung 
Karno, secara resmi yang digunakan adalah untuk nama negeri Tiongkok, sedangkan 
untuk bangsa, bahasa digunakan Tionghoa. Penggunaan kata2 ini tidak kebetulan 
tapi merupakan sikap politik resmi dari pemerintah RI waktu itu, ialah untuk 
membedakan Taiwan yang menamakanukan diri “Republik Cina”padahal sesungguhnya 
hanya boneka Amerika, sedangkan disana di seberang laut, yang sering dinamakan 
daratan berdiri Republik Rakyat Tiongkok.Ternyata sejarah berjalan lain, di 
Indonesia terjadi perebutan kekuasaan oleh rezim fasis Suharto, sesudah dia 
mentancapkan kuku kekuasaannya dengan kuat, maka dikeluarkannya se-banyak2nya 
peraturan yang represi, satu diantara lain; peraturan MPR No.25 yang isinya 
pelarangan PKI dan ajran marxisme,juga dilarang menggunkan kata2 Tiongkok dan 
Tionghoa, dilarang merayakan tahun baru Imlek, dan dilarang Kong Fu Chuisme 
dianut sebagai agama, diharuskan mengganti nama yang diberikan oleh nenek 
moyangnya dan yang dipakai sebagai tanda budaya, juga diwajibkan mengganti 
agama.Menggantikan sebutan Tiongkok dan Tionghoa dengan Cina.Ditinjau dari ini 
jelas bahwa kata Cina di Indonesia adalah lambang penindasan yang kejam dan 
diskriminasi, terhadap bangsa senbdiri/Indonesia suku Tionghoa.Dalam hal ini 
pernah seorang kenalan muda, menanyakan, bagaimana dalam bahasa Inggris   dan 
beberapa bahasa asing lainnya tidak Tiongkok tetapi Cina, dalam hal ini saya 
hanya bisa jelaskan, pertama masalah yang kita bicarakan bukan mengapa orang 
asing mengunakan kata Cina, tapi membicarakan sikap orang Indonesia terhadap 
kata "cina" yang dipaksakan oleh rezim otoriter fasis Suharto, kedua saya 
merasa tidak punyak hak untuk membicaraan soal itu karena tidak menguasai basa 
asng. Yang paling penting saya tidak tunduk kepada kepada peraturan rezim 
fasis. 2017-01-30 2:45 GMT+01:00 Chan CT <sadar@...>:



Museum peranakan Tionghoa di tengah Pasar Lama Tangerang
·         29 Januari 2017http://www.bbc.com/indonesia/ majalah-38786706Hak atas 
fotoBBC INDONESIA Image captionBangunan Museum Benteng Heritage diperkirakan 
berusia 200 tahun.Di tengah keramaian pasar di Kota Tangerang Banten, terdapat 
sebuah museum yang menyimpan kekayaan budaya dan sejarah peranakan Tionghoa di 
Indonesia. Wartawan BBC Indonesia Sri Lestari mengunjungi Museum Benteng 
Heritage yang didirikan pria keturunan Tionghoa atau Cina Benteng.Suasana Imlek 
tampak kental di Pasar Lama Kota Tangerang, sejumlah pedagang menjual lampion, 
amplop untuk ang pau dan ornamen berbentuk ayam untuk menyambut Tahun Ayam Api. 
Tak ketinggalan kuliner khas Imlek, antara kue keranjang, dan bandeng.Sejumlah 
orang tampak berdoa sambil memegang dupa di Klenteng Boen Tek Bio yang berada 
di di tengah pasar yang merupakan cikal bakal Kota Tangerang ini.Kawasan ini 
dulu disebut Benteng, yang merujuk pada bangunan benteng di pinggir Sungai 
Cisadane yang dibangun untuk melindungi Vereenugde Oostindische Compagnie VOC 
dari serangan pasukan Kesultanan Banteng.Orang Tionghoa sudah berada di 
Tangerang sejak 1407 melalui Teluk Naga, jauh sebelum kedatangan VOC, keturunan 
mereka kemudian disebut dengan istilah Cina Benteng.§  Melongok Museum Benteng 
Heritage di Tangerang§  Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" LasemDi 
sekitar klenteng yang dibangun pada 1775 masih ada beberapa bangunan tua yang 
sebagian besar digunakan sebagai toko.Salah satu bangunan tua itu digunakan 
Museum Benteng Heritage, yang hampir tidak terlihat karena tertutup lapak para 
pedagang pasar.Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionBangunan Museum Benteng 
Heritage berada di tengah pasar.Di dalam museum tampak beberapa pengunjung 
tengah mendengarkan penjelasan dari seorang pemandu di sebuah ruang makan yang 
dihiasi ornamen peranakan Tionghoa.Di lantai dua yang digunakan untuk menyimpan 
benda-benda bersejarah, tampak pemilik dan pendiri Museum Benteng Heritage 
Udaya Halim atau Lim Cin Peng meladeni sejumlah tamu. Meski tinggal di 
Australia, Udaya secara rutin kembali ke tanah air.Kecintaannya terhadap budaya 
leluhur dan pendidikan, membuat pria yang menghabiskan masa kecilnya di kawasan 
Pasar Lama membeli bangunan ini lalu menjadikannya sebagai museum."Saya sendiri 
lahir di Tangerang sebagai orang Tionghoa, orang Cina Benteng," kata Udaya, 
"Kebetulan lagi saya suka dengan budaya dan kebudayaan Tionghoa sudah mengakar 
di Indonesia, seharusnya lebih diperkenalkan lagi agar keindonesiaan orang 
Tionghoa itu juga bisa diakui sebagaimana mestinya".Hak atas fotoBBC INDONESIA 
Image captionUdaya Halim mendirikan museum untuk memperkenalkan budaya 
peranakan Tionghoa di Indonesia.Dia membeli bangunan yang diperkirakan 
didirikan pada abad ke 17 ini dari sebuah keluarga yang telah menempatinya 
selama delapan generasi, dengan kondisi yang tidak terawat."Saya dulu tinggal 
di rumah itu" kata Udaya sambil menunjuk sebuah rumah yang terletak di seberang 
museum, "Tapi kemudian pindah karena orangtua tak mampu, dulu waktu kecil saya 
suka main ke rumah ini".
Upaya restorasi
Udaya kemudian merestorasi bangunan ini selama dua tahun dengan berkonsultasi 
dengan para koleganya yang merupakan ahli sejarah dan arsitektur di berbagai 
negara.Selain itu, Udaya pun mengunjungi sejumlah kota di Indonesia dan 
Malaysia yang memiliki bangunan tua peninggalan keturunan Cina untuk mengkaji 
hubungan sejarahnya."Ke Malaka saya sudah 36 kali sudah sejak saya bangun ini, 
dan ke Penang sudah lebih dari 10 kali dan saya juga riset ke tempat-tempat 
yang tua ke Lasem, Palembang dan dalam negeri juga, nah saya cari historical 
link nya , jadi dari jejak bangunannya dan saya lihat jejak bangunannya sama 
dengan yang ada di Malaka pada abad 17 akhir 18," jelas Udaya.Hak atas fotoBBC 
INDONESIA Image captionSeorang pemandu tengah menjelaskan ornamen di ruang 
makan di Museum Benteng Heritage kepada pengunjung.Hak atas fotoBBC INDONESIA 
Image captionRelief yang bercerita tentang kisah Jenderal Kwang Kong yang 
merupakan bagian dari legenda Sam Kok.Dia berupaya untuk mengembalikan karakter 
asli bangunan tersebut, dan tidak mengganti bagian dari bangunan. Sebagai 
contoh, keramik yang menutupi lantai asli bangunan tersebut berupa tegel 
kemudian dibongkar.Di salah satu bagian bangunan terdapat semacam ukiran dari 
pecahan keramik, yang bercerita tentang seorang tokoh dalam legenda Sam Kok, 
yaitu Jenderal Kwang Kong yang dikenal oleh masyarakat di negeri Cina dengan 
sifat yang jujur, gagah dan berani.Udaya mengatakan masuk dulu merupakan tempat 
tinggal, tetapi dia menduga bangunan ini awalnya didirikan sebagai rumah 
komunitas Tionghoa karena terletak di bagian belakang klenteng.§  Warga 
keturunan Tionghoa terbelah soal Ahok§  Benarkah sentimen anti-Cina di 
Indonesia kini menguat?
Dari kebaya sampai perabot
Setelah upaya restorasi, Udaya mengisi bangunan ini dengan berbagai koleksi, 
antara lain, kebab encim, berbagai macam timbangan, uang kuno, serta perabot 
tua. Dia mendapatkan benda-benda dengan berbagai cara."Setiap keping ini saya 
dapatkan mulai saya beli sendiri, saya dapat dari masyarakat atau bahkan saya 
lihat menggeletak di gudang," jelas Udaya kemudian menunjukkan sebuah meja 
dengan hiasan lukisan dari kerang.Meja ini didapat dari sebuah gudang milik 
rekannya dalam kondisi sudah rusak berkeping-keping. Udaya kemudian 
merestorasinya selama enam bulan, kemudian diketahui meja yang berasal dari 
Cina ini diduga sudah berada di Indonesia sejak 200 tahun lalu.Hak atas fotoBBC 
INDONESIA Image captionSepatu tradisional perempuan Tionghoa dipamerkan di 
museum.Hak atas fotoBBC INDONESIA Image captionSejumlah timbangan kuno 
merupakan koleksi Museum Benteng Heritage.Di sebuah ruang khusus di lantai dua, 
Udaya menyimpan koleksi kamera dan gramafon tua, serta piringan hitam langka, 
antara lain lagu genjer-genjer yang dinyanyikan Bing Slamet dan lagu Indonesia 
Raya karya WR Supratman yang direkam pada tahun 1950an yang sempat 
diperdengarkan sore itu.Mantan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan 
Kebudayaan Kota Tangerang Nurul Huda mengatakan Museum Benteng Heritage ini, 
sudah menjadi salah satu cagar budaya di kawasan Pasar Lama Tangerang.Hak atas 
fotoBBC INDONESIA Image captionPasar Lama merupakan cikal bakal Kota Tangerang.
 

Berita terkait
·        
Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem

Sri LestariWartawan BBC Indonesia
·         19 Februari 2015http://www.bbc.com/indonesia/ 
berita_indonesia/2015/02/ 150219_lasem_toleransi Image captionBangunan dengan 
arsitektur Cina banyak dijumpai di Lasem, Rembang.Percampuran budaya Cina dan 
Jawa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah tak hanya berhenti pada sepotong batik 
tulis, dalam kehidupan sehari-hari di daerah nilai-nilai toleransi antar etnis 
dan agama sangat kental di kota yang dijuluki "Cina kecil" atau "Kota Beijing 
lama kecil", dan sebutan sebagai "Kota Santri".Menyusuri jalan-jalan kecil di 
Kota Lasem seperti berada di kota Beijing lama, disisi kanan dan kiri tampak 
bangunan rumah-rumah dengan arsitektur khas Cina yang dikelilingi tembok dengan 
gerbang bertuliskan huruf kanji yang berarti kalimat-kalimat bijak.Di beberapa 
rumah huruf-huruf kanji tersebut tampak samar karena tertutup cat, telah 
dihapus, atau ditutup dengan papan.Tulisan kanji yang sama juga terdapat di 
pintu Pesantren Kauman di Karangturi, Lasem, yang berisi dua pesan yang dalam 
bahasa Indonesia artinya adalah "Semoga panjang umur setinggi Gunung Himalaya" 
dan "Semoga luwes rezekinya, sedalam Lautan Hindia".Image captionGus Zaim 
mengatakan ingin menjadikan Lasem ikon toleransi.H.M. Zaim Ahmad Ma'shoem 
Pembina Pondok Pesantren Kauman mengatakan tulisan kanji tersebut telah ada 
ketika menempati rumah tersebut dan memilih untuk tidak menghapusnya."Lho 
artinya bagus kok, ya tinggal diamini saja toh," jelas pria yang akrab disapa 
dengan Gus Zaim.Gus Zaim mengatakan hampir semua rumah milik keturunan Cina di 
Lasem terdapat tulisan kanji di bagian pintu atau gerbang, tetapi sebagian 
besar telah dihapus atau ditutup dengan papan pada masa Orde Baru lalu.Pasca 
peristiwa September 1965, Orde Baru melarang semua hal yang berkaitan dengan 
negeri Cina, karena negara tersebut memiliki hubungan erat dengan Partai 
Komunis Indonesia PKI dan pemerintahan Sukarno.
Toleransi ajaran Islam
Di depan pondok pesantren yang terletak ditengah permukiman keturunan Cina ini, 
juga tampak beberapa lampion, menurut Gus Zaim itu merupakan bentuk penyesuaian 
pesantren dengan budaya kampung setempat."Ketika ada masyarakat yang 
membutuhkan bantuan tenaga para santri akan membantu, begitu sebaliknya, itu 
namanya persaudaraan," kata Gus Zaim, "Bahkan jika ada yang meninggal saya dan 
para santri ikut takziah (melayat) dan mendoakan jenazah, tidak ada 
masalah."Image captionAksara Cina di sebuah pintu di Lasem, Rembang.Gus Zaim 
mengatakan persaudaraan antar sesama Islam, dengan sesama manusia dan juga satu 
bangsa, merupakan inti dari ajaran Islam, yang wajib dijalankan secara alami, 
tanpa rekayasa."Inilah Islam, inti dari ajaran lakum dinukum waliyadin agamamu 
agamamu,agamaku agamaku, silakan laksanakan kegiatan agamamu sesuai dengan 
keyakinanmu dan kami akan melaksanakan ritual agama kami dengan keyakinan kami, 
yang penting tidak saling menganggu," kata dia.Menurut Gus Zaim biasanya 
pemikiran radikal ataupun intoleran justru muncul jika seseorang tidak 
memperkuat semangat keberagamaannya dengan ilmu."Yang radikal-radikal itu 
ilmunya dangkal, dia ga paham artinya bagaimana beragama," jelas Gus Zaim.Image 
captionKristianto, Ketua RT di Karangturi, mengatakan saling membantu dengan 
para santri.Dia menjelaskan toleransi antar etnis dan agamadi Lasem sudah 
terjadi sejak dulu, dan generasi sekarang ini hanya meneruskan. Interaksi 
sosial yang harmonis antar etnis inilah yang menyebabkan Lasem tidak terkena 
imbas kerusuhan rasial yang terjadi di Solo Jawa Tengah pada 1980 dan 1998 
lalu.Pernyataan Gus Zaim, diamini oleh Kristianto atau yang biasa disapa Pak 
Semar, ketua RT yang merupakan keturunan Cina."Ya tidak ada perbedaan sama 
sekali, kita rukun dan saling membantu, prinsip saya ya pengen bantu juga, yang 
punya kerja siapapun ya saya bantu, saya pun dibantu oleh mereka (para 
santri)," jelas Pak Semar.Menurut berbagai catatan, para pendatang dari negeri 
Cina tiba ke Lasem sebagai pedagang pada abad ke 15, ketika jaman penjajahan 
Belanda. Mereka berbaur dengan penduduk setempat yang beretnis jawa dan bahkan 
melahirkan satu motif batik yang khas Lasem.
Akulturasi budaya dalam batik
Tangan-tangan milik sepuluh pengrajin batik di Pabrik Batik Sekar Kencana 
dengan cepat memindahkan canting wajan kecil berisi lilin panas ke selembar 
kain yang telah diberi pola.Lilin panas mereka membentuk bunga-bunga dan hewan 
yang menjadi motif batik khas Lasem, antara lain burung phoenix, burung merak, 
serta binatang mitologi Cina, Naga.Motif hewan dan bunga khas negeri tirai 
bambu itu telah digunakan oleh para pengrajin batik di Lasem secara turun 
temurun, seperti disampaikan oleh Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) pemilik 
pabrik batik Sekar Kencana.Image captionBatik Lasem merupakan bentuk 
percampuran budaya Cina dan Jawa."Kita menggunakan motif-motif khas negeri Cina 
sudah sejak dulu, sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya tak ada yang 
mengetahuinya, memang motif tersebut diperkenalkan oleh keturunan Cina yang 
datang ke Lasem," jelas Sigit yang kini berusia 86 tahun.Nenek Moyang Sigit 
berasal dari Provinsi Hokkian Cina, yang hijrah ke Lasem pada 1740 an. Usaha 
batik diteruskan dari ayahnya yang dulu memasok kain batik sampai ke 
Malaysia.Sigit mengatakan motif batik Lasem merupakan bentuk dari akulturasi 
budaya Cina dan Jawa."Ada motif yang bernuansa Cina dan juga ada pengaruh dari 
daerah penghasil batik lain di Jawa, tetapi yang khas adalah warnanya yaitu 
merah darah ayam atau abang getih pitik," jelas Sigit.Menurut Sigit, 
percampuran kedua budaya yang terjadi se

(Message over 64 KB, truncated)

  #yiv5682625186 -- #yiv5682625186ygrp-mkp {border:1px solid 
#d8d8d8;font-family:Arial;margin:10px 0;padding:0 10px;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-mkp hr {border:1px solid #d8d8d8;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-mkp #yiv5682625186hd 
{color:#628c2a;font-size:85%;font-weight:700;line-height:122%;margin:10px 
0;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mkp #yiv5682625186ads 
{margin-bottom:10px;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mkp .yiv5682625186ad 
{padding:0 0;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mkp .yiv5682625186ad p 
{margin:0;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mkp .yiv5682625186ad a 
{color:#0000ff;text-decoration:none;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-sponsor 
#yiv5682625186ygrp-lc {font-family:Arial;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-sponsor #yiv5682625186ygrp-lc #yiv5682625186hd {margin:10px 
0px;font-weight:700;font-size:78%;line-height:122%;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-sponsor #yiv5682625186ygrp-lc .yiv5682625186ad 
{margin-bottom:10px;padding:0 0;}#yiv5682625186 #yiv5682625186actions 
{font-family:Verdana;font-size:11px;padding:10px 0;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186activity 
{background-color:#e0ecee;float:left;font-family:Verdana;font-size:10px;padding:10px;}#yiv5682625186
 #yiv5682625186activity span {font-weight:700;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186activity span:first-child 
{text-transform:uppercase;}#yiv5682625186 #yiv5682625186activity span a 
{color:#5085b6;text-decoration:none;}#yiv5682625186 #yiv5682625186activity span 
span {color:#ff7900;}#yiv5682625186 #yiv5682625186activity span 
.yiv5682625186underline {text-decoration:underline;}#yiv5682625186 
.yiv5682625186attach 
{clear:both;display:table;font-family:Arial;font-size:12px;padding:10px 
0;width:400px;}#yiv5682625186 .yiv5682625186attach div a 
{text-decoration:none;}#yiv5682625186 .yiv5682625186attach img 
{border:none;padding-right:5px;}#yiv5682625186 .yiv5682625186attach label 
{display:block;margin-bottom:5px;}#yiv5682625186 .yiv5682625186attach label a 
{text-decoration:none;}#yiv5682625186 blockquote {margin:0 0 0 
4px;}#yiv5682625186 .yiv5682625186bold 
{font-family:Arial;font-size:13px;font-weight:700;}#yiv5682625186 
.yiv5682625186bold a {text-decoration:none;}#yiv5682625186 dd.yiv5682625186last 
p a {font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv5682625186 dd.yiv5682625186last p 
span {margin-right:10px;font-family:Verdana;font-weight:700;}#yiv5682625186 
dd.yiv5682625186last p span.yiv5682625186yshortcuts 
{margin-right:0;}#yiv5682625186 div.yiv5682625186attach-table div div a 
{text-decoration:none;}#yiv5682625186 div.yiv5682625186attach-table 
{width:400px;}#yiv5682625186 div.yiv5682625186file-title a, #yiv5682625186 
div.yiv5682625186file-title a:active, #yiv5682625186 
div.yiv5682625186file-title a:hover, #yiv5682625186 div.yiv5682625186file-title 
a:visited {text-decoration:none;}#yiv5682625186 div.yiv5682625186photo-title a, 
#yiv5682625186 div.yiv5682625186photo-title a:active, #yiv5682625186 
div.yiv5682625186photo-title a:hover, #yiv5682625186 
div.yiv5682625186photo-title a:visited {text-decoration:none;}#yiv5682625186 
div#yiv5682625186ygrp-mlmsg #yiv5682625186ygrp-msg p a 
span.yiv5682625186yshortcuts 
{font-family:Verdana;font-size:10px;font-weight:normal;}#yiv5682625186 
.yiv5682625186green {color:#628c2a;}#yiv5682625186 .yiv5682625186MsoNormal 
{margin:0 0 0 0;}#yiv5682625186 o {font-size:0;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186photos div {float:left;width:72px;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186photos div div {border:1px solid 
#666666;height:62px;overflow:hidden;width:62px;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186photos div label 
{color:#666666;font-size:10px;overflow:hidden;text-align:center;white-space:nowrap;width:64px;}#yiv5682625186
 #yiv5682625186reco-category {font-size:77%;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186reco-desc {font-size:77%;}#yiv5682625186 .yiv5682625186replbq 
{margin:4px;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-actbar div a:first-child 
{margin-right:2px;padding-right:5px;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mlmsg 
{font-size:13px;font-family:Arial, helvetica, clean, sans-serif;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-mlmsg table {font-size:inherit;font:100%;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-mlmsg select, #yiv5682625186 input, #yiv5682625186 textarea 
{font:99% Arial, Helvetica, clean, sans-serif;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-mlmsg pre, #yiv5682625186 code {font:115% 
monospace;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mlmsg * 
{line-height:1.22em;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-mlmsg #yiv5682625186logo 
{padding-bottom:10px;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-msg p a 
{font-family:Verdana;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-msg 
p#yiv5682625186attach-count span {color:#1E66AE;font-weight:700;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-reco #yiv5682625186reco-head 
{color:#ff7900;font-weight:700;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-reco 
{margin-bottom:20px;padding:0px;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-sponsor 
#yiv5682625186ov li a {font-size:130%;text-decoration:none;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-sponsor #yiv5682625186ov li 
{font-size:77%;list-style-type:square;padding:6px 0;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-sponsor #yiv5682625186ov ul {margin:0;padding:0 0 0 
8px;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-text 
{font-family:Georgia;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-text p {margin:0 0 1em 
0;}#yiv5682625186 #yiv5682625186ygrp-text tt {font-size:120%;}#yiv5682625186 
#yiv5682625186ygrp-vital ul li:last-child {border-right:none 
!important;}#yiv5682625186 

   
  • [GELORA45] Re: Museum pe... Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
    • Re: [GELORA45] Muse... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
      • Re: [GELORA45] ... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
        • Re: [GELORA... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
          • Re: [GE... 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
            • Re... ajeg ajegil...@yahoo.com [GELORA45]
              • ... nesa...@yahoo.com [GELORA45]
                • ... 'Sunny' am...@tele2.se [GELORA45]
                • ... nesa...@yahoo.com [GELORA45]
                • ... 'Sunny' am...@tele2.se [GELORA45]
                • ... nesa...@yahoo.com [GELORA45]

Kirim email ke