Ya sederhana saja, lewat MPR utk mencabut TAP MPRS. Memangnya anda mengartikan apa? Memangnya darimana anda bisa menyimpulkan "karena dia sadar kedudukan MPR sekarang tidak lagi punya kewenangan mencabut TAP tsb"?
---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote : Anda kan minta TAP MPRS No XXV/1966 dicabut, ya silakan selama tetap melalui koridor hukum yaitu, "lewat MPR selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut," kata Refly Harun(sudah tanya Refly, apa arti pernyataannya itu?). Mau lewat Mahkamah Konstitusi? Lha monggo ajukan gugatan. Tunggu apa lagi. --- jonathangoeij@... wrote: Darimana ceritanya kata2 "atau via Mahkamah Konstitusi" itu kok bisa jadi "karena dia sadar kedudukan MPR sekarang tidak lagi punya kewenangan mencabut TAP tsb"? Anda kelihatan begitu inginnya mengembalikan MPR seperti dulu lagi, kenapa? apa ingin presiden dipilih MPR lagi? --- ajegilelu@... wrote : Ya, silakan tanya ke Refly Harun. Yang sering kebingungan dengan pernyataan-pernyataan Refly kan Anda. Buat saya mah pernyataan Refly sudah sangat jelas, pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 bisa dilakukan lewat MPR "selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut". Sedangkan embel-embel "atau via Mahkamah Konstitusi" itu karena dia sadar kedudukan MPR sekarang tidak lagi punya kewenangan mencabut TAP tsb. Daripada ngalor-ngidul njlimet, kalau betul punya kemauan mencabut tap MPRS itu ya tinggal pulihkan saja kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi. Beres. Salah besar kalau menyangka perbedaan kedudukan MPR dulu dan MPR sekarang hanya soal kewenangan memilih presiden. Tidak. Kewenangan MPR memilih presiden itu disertai konsekuensi memberi mandat berupa Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai bentuk kehendak Rakyat. Kehendak yang harus dijalankan sang mandataris berikut segenap perangkatnya (gubernur-bupati-walikota hingga lurah). Sekarang, dengan sistem pemilihan langsung, para pemilih tidak memberi mandat apa pun. Ini menimbulkan ketidakjelasan arah dan proses pembangunan. Sebab, sistem ini memberi kebebasan kepada pemerintah (siapapun presiden/gubernur/dst) untuk membuat program pembangunannya sendiri. Pantas saja banyak program yang nggak nyambung antar sesama daerah maupun antara daerah dan pusat. Maklum, itu lantaran banyak program pembangunan sekarang adalah mandat dari pengusaha. --- jonathangoeij@... wrote: Kelihatannya apa yg dikatakan Refly Harun-pun bisa diartikan yg berbeda, padahal orangnya masih ada sehat bugar dan aktif, sebetulnya bisa ditanyakan pada beliau. Diluar Refly Harun, dibawah ini dari saya: TAP MPR 2003 itu memang mengatakan TAP MPRS tetap berlaku, tetapi juga telah mengamademen TAP MPRS dgnmenambahkan "... diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia." yg jadipertanyaan besar adalah apakah "berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia" telah dilaksanakan. Perbedaan kewenangan MPR "lembaga tertinggi" dan "lembaga tinggi" terletak pada pemilihan presiden dengan diberlakukannya pilpres. Pada UU 10/2004 (pd masa pemerintahan Megawati) tentang Hierarkhie perundang-undangan TAP MPR tidak lagi masuk dalam sistem hukum Indonesia, dus sebenarnya TAP MPRS itu juga jadi tidak berlaku (dibekukan) karena bukan dalam sistem hukum. Sayangnya UU 12/2011 (masa pemerintahan SBY) TAP MPR dimasukkan lagi. Melihat diatas, saya rasa ada beberapa cara menghapus/membekukan TAP MPRS: - Dgn dihidupkannya TAP MPR dalam sistem hukum artinya MPR jadi mempunyai kesempatan meninjau kembali TAP MPRS itu,MPR bisa mengluarkan TAP baru yg mencabut TAP MPRS atau menyatakan sudah tidak berlaku lagi. - DPR bersama Presiden mengamademen UU 12/2011 dan mengeluarkan Ketetapan MPR dari susunan hukum Indonesia. - Presiden mengeluarkan PERPPU mengganti UU 12/2011 dgn mengeluarkan TAP MPR dari susunan hukum. - Judicial Review melalui MK. Catatan: pd masa pemerintahan Megawati walaupun PDIP merupakan fraksi terbesar tetapi masih sangat jauh dari mayoritas (50%+1) --- ajegilelu@... wrote : Lagi-lagi itu kan cuma perasaan Anda. Faktanya, kalau Refly yakin MPR versi amandemen sekarang bisa mencabut TAP MPRS, dia tidak perlu repot menambahkan embel-embel "atau via Mahkamah Konstitusi". Embel-embel yang cuma enak dikhayalkan karena realitanya kecil kemungkinan masyarakat mengajukan judicial reviewTAP MPRS No XXV/1966. Embel-embel yang gedabrus. Kalau pun MPR versi amandemen (yang menurut Anda lebih legitim) betul punya kewenangan mencabut TAP MPR/MPRS, kenapa tidak mereka gunakan saja kewenangan itu? Dobel gedabrus. Inilah lingkaran setan yang dibuat Megawati. Ketika dia mresidensaat partainya mayoritas di DPR/MPR, rezim ini malah mengeluarkan TAP MPR No 1/2003 yang memperkuat pemberlakuan TAP MPRSNo XXV/1966. Jelas & gamblang siapa sebenarnya yang tidak punya kemauanmencabut TAP tsb. --- jonathangoeij@... wrote: Saya rasa pemahamannya kok tidak begitu, maksud Reffly tentu baik MPR ataupun MK keduanya bisa mencabut TAP. Melalui MPR secara politik, sedang melalui MK adanya masyarakat yg mengajukan judicial review. Perubahan dari lembaga "tertinggi" jadi "tinggi" itu karena adanya perubahan wewenang dan fungsi dalam kaitannya dgn pemilihan presiden itu saja, dengan presiden dipilih langsung melalui pemilu dan tidak dipilih oleh MPR lagi, dus disini presiden mendapat mandat langsung dari rakyat dan bukan lagi mandataris MPR. Tetapi sama sekali tidak ada tertulis kalau MPR sekarang tidak bisa mencabut TAP MPRS. Memangnya si Mahfud dapat ide darimana kalau tidak interpretasi dirinya sendiri. Kalau kita bandingkan antara MPRS yg mengeluarkan TAP itu dgn MPR yg sekarang terlihat betapa jauh mandat yg diterima keduanya, anggota2 MPRS ditunjuk dan diangkat begitu saja oleh orang yg kemudian dipilih MPRS jadi mandataris MPRS (Soeharto), dus kayak dagelan. Sedang anggota2 MPR yg sekarang ini dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis, jelas terlihat betapa jauh beda mandat keduanya. Sebetulnya omong kosong kalau dibilang MPR yg sekarang tidak mempunyai wewenang mencabut TAP MPRS.