Saya rasa pemahamannya kok tidak begitu, maksud Reffly tentu baik MPR ataupun 
MK keduanya bisa mencabut TAP. Melalui MPR secara politik, sedang melalui MK 
adanya masyarakat yg mengajukan judicial review.
 

 Perubahan dari lembaga "tertinggi" jadi "tinggi" itu karena adanya perubahan 
wewenang dan fungsi dalam kaitannya dgn pemilihan presiden itu saja, dengan 
presiden dipilih langsung melalui pemilu dan tidak dipilih oleh MPR lagi, dus 
disini presiden mendapat mandat langsung dari rakyat dan bukan lagi mandataris 
MPR. Tetapi sama sekali tidak ada tertulis kalau MPR sekarang tidak bisa 
mencabut TAP MPRS. Memangnya si Mahfud dapat ide darimana kalau tidak 
interpretasi dirinya sendiri.
 

 Kalau kita bandingkan antara MPRS yg mengeluarkan TAP itu dgn MPR yg sekarang 
terlihat betapa jauh mandat yg diterima keduanya, anggota2 MPRS ditunjuk dan 
diangkat begitu saja oleh orang yg kemudian dipilih MPRS jadi mandataris MPRS 
(Soeharto), dus kayak dagelan. Sedang anggota2 MPR yg sekarang ini dipilih 
langsung oleh rakyat secara demokratis, jelas terlihat betapa jauh beda mandat 
keduanya. Sebetulnya omong kosong kalau dibilang MPR yg sekarang tidak 
mempunyai wewenang mencabut TAP MPRS.
 

---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

 Kalau Refly yakin TAP MPRS bisa dicabut oleh MPR versi sekarang 

 (yang bukan lagi lembaga tertinggi), tentu dia tidak perlu menambahkan 

 embel-embel "atau via Mahkamah Konstitusi". 

 Tambahan embel-embel Refly itu menunjukkan dia tahu betul bahwa 

 MPR versi sekarang tidak punya kewenangan setinggi MPR versi UUD'45.
 

 Jadi, kalau betul punya kemauan mencabut TAP MPRS XXV/1966 

 ya tinggal pulihkan saja kedudukan MPR sesuai UUD'45. Kenapa terus 

 membiarkan bangsa Indonesia dibiarkan mengikuti nasib bangsa Indian, 

 Aborigin, Alaska, Hawaii dll yang tanah serta kekayaan alamnya dimiliki 

 para pendatang.
 

 --- jonathangoeij@... wrote:
 

 Seandainya benar tidak ada yg mengajukan lewat MK tetap saja MPR bisa merubah 
TAP tsb. Kembali pada kemauan dan perbandingan kekuatan politik antara pro dan 
kontra TAP itu.
 

 Argumen Mahfud itu saya rasa kok seperti main2 bahasa tertinggi dan tinggi 
tetapi tidak melihat secara politik dan legitimasi rakyat sama sekali, MPRS 
selain sifatnya sementara juga anggota2nya diangkat begitu saja tidak dipilih 
rakyat sedang MPR dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Jelas sekali disini 
MPR mempunyai legitimasi yang jauh lebih tinggi dibanding MPRS. Secara nalar 
sehat kok terasa omongan si Mahfud itu cuman gedabrus omong kosong mau menang 
sendiri maksudnya mau bikin sulit sedemikian rupa.
 

 --- ajegilelu@... wrote :

 
 Kedua pendapat itu sama-sama menyebut MPR sebagai 

 lembaga yang berwenang mencabut TAP MPRS:

 

 "Mahfud menjelaskan, Tap MPRS itu dibuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 
saat lembaga itu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Sekarang, MPR 
berkedudukan sama dengan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagaimana 
perubahan Undang-Undang 1945 pada tahun 1999. Maka, katanya, sekarang tak ada 
lagi lembaga, termasuk MK, yang berhak atau berwenang mencabut Tap MPRS itu."
 


 "Refly menyatakan ada dua kemungkinan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 yang 
melaran ajaran komunisme di Indonesia, yakni lewat Majelis Permusyawaratan 
Rakyat selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut, atau via Mahkamah 
Konstitusi."
 

 Sedangkan kalau lewat gugatan ke Mahkamah Konstitusi 

 harus berdasarkan pengaduan masyarakat:

 


 "Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa 
mengatakan pihaknya akan mengajukan judicial review atas Tap MPRS XXV/1966 jika 
ada pengaduan resmi dari masyarakat."
 

 Dalam hal ini Mahfud mungkin melihat realita 

 kecilnya kemungkinan masyarakat membuat pengaduan. 

 Apalagi meminta kembali ke UUD'45 sekarang dikategorikan 

 sebagai perbuatan makar.

 

 --- jonathangoeij@... wrote:
 

 Berbicara koridor hukum kelihatannya ada 2 pendapat bisa tidaknya TAP MPRS 
dicabut:
 
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/773624-mahfud-md-tap-mprs-larang-komunisme-tak-bisa-dicabut
 Mahfud MD: Tap MPRS Larang Komunisme Tak Bisa Dicabut 
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/773624-mahfud-md-tap-mprs-larang-komunisme-tak-bisa-dicabut
 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160513093559-20-130435/refly-harun-ketetapan-mprs-soal-komunisme-bisa-dicabut/
 Refly Harun: Ketetapan MPRS soal Komunisme Bisa Dicabut 
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160513093559-20-130435/refly-harun-ketetapan-mprs-soal-komunisme-bisa-dicabut/

 

 

 --- ajegilelu@... wrote :





 

 Kemauan itu sebaiknya tetap di dalam koridor ketatanegaraan / 

 hukum. Dan faktanya, ketika orang minta kembali ke UUD'45 

 mereka malah ditangkapi dengan tuduhan makar. Padahal, 

 hanya dengan kembali ke UUD'45 maka kedudukan MPR sebagai 

 Lembaga Tertinggi bisa dipulihkan. Dengan demikian, lembaga ini 

 bisa mengoreksi bahkan mencabut keputusan-keputusan MPR 

 dalam bentuk ketetapan (TAP MPR). Dalam hal ini tentu dengan 

 mencabut dulu TAP MPR No I/2003 yang memperkuat pemberlakuan 

 TAP MPRS No XXV/1966 tentang pembubaran PKI itu.


 

 Ini yang saya bilang reformasi omongkosong dan Megawati/PDIP 

 dodol. Sebab, saat itu Megawati adalah presiden yang partainya 

 mayoritas di DPR/MPR. Dan, faktanya, rezim ini malah mengeluarkan 

 TAP MPR No I/2003 untuk memperkuat pemberlakuan TAP MPRS 

 No XXV/1966 ǃ

 

 Jadi, kalau Anda bicara soal kemauan, jelas siapa yang tidak punya 

 kemauan untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1966. Itu kalau 

 Anda setuju dengan kemauan yang mengikuti aturan tatanegara / hukum.


 Kalau memakai kemauan di luar koridor hukum, kemungkinan besar 

 situasi bakal berkembang tidak terprediksi. Negara-negara yang 

 selama ini ancang-ancang memecah NKRI bakal kegatelan hebat. 

 Apalagi Jokowi mau saja disuruh main gebuk. Pertama-tama menangkapi 

 mereka yang minta kembali ke UUD'45 dengan tuduhan makar... 

 Luarbiasa. Apa jadinya kalau rombongan Jokowi ini ada saat Soekarno 

 melakukan dekrit 5 Juli.



 

 Anda boleh bilang semua ini tidak nalar. Saya bilang, Megawati sudah

 menjerumuskan bangsa ini ke dalam lingkaran setan. Sekedar mengingatkan, 

 ketua PDIP itu juga mati-matian mencegah Presiden Abdurrahman Wahid 

 mengeluarkan dekrit kembali ke UUD'45. Lumrah saja Gus Dur lantas 

 menyebut "bodo".


 

 Anda juga boleh membanggakan AS punya partai komunis. Dan itu 

 bikin saya tersipu-sipu lantaran partai setua itu samasekali tidak berbunyi 


 dalam pemilu (sambil ketawa saya teringat logo PDIP yang mendengus, 

 bermata merah, dan mengaku sebagai partainya wong cilik).




(Message over 64 KB, truncated)




















Kirim email ke