Kalau Refly yakin TAP MPRS bisa dicabut oleh MPR versi sekarang (yang bukan lagi lembaga tertinggi), tentu dia tidak perlu menambahkan embel-embel "atau via Mahkamah Konstitusi". Tambahan embel-embel Refly itu menunjukkan dia tahu betul bahwa MPR versi sekarang tidak punya kewenangan setinggi MPR versi UUD'45. Jadi, kalau betul punya kemauan mencabut TAP MPRS XXV/1966 ya tinggal pulihkan saja kedudukan MPR sesuai UUD'45. Kenapa terus membiarkan bangsa Indonesia dibiarkan mengikuti nasib bangsa Indian, Aborigin, Alaska, Hawaii dll yang tanah serta kekayaan alamnya dimiliki para pendatang. --- jonathangoeij@... wrote: Seandainya benar tidak ada yg mengajukan lewat MK tetap saja MPR bisa merubah TAP tsb. Kembali pada kemauan dan perbandingan kekuatan politik antara pro dan kontra TAP itu. Argumen Mahfud itu saya rasa kok seperti main2 bahasa tertinggi dan tinggi tetapi tidak melihat secara politik dan legitimasi rakyat sama sekali, MPRS selain sifatnya sementara juga anggota2nya diangkat begitu saja tidak dipilih rakyat sedang MPR dipilih rakyat melalui pemilihan umum. Jelas sekali disini MPR mempunyai legitimasi yang jauh lebih tinggi dibanding MPRS. Secara nalar sehat kok terasa omongan si Mahfud itu cuman gedabrus omong kosong mau menang sendiri maksudnya mau bikin sulit sedemikian rupa. --- ajegilelu@... wrote :
Kedua pendapat itu sama-sama menyebut MPR sebagai lembaga yang berwenang mencabut TAP MPRS: "Mahfud menjelaskan, Tap MPRS itu dibuatMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat lembaga itu berkedudukansebagai lembaga tertinggi negara. Sekarang, MPR berkedudukan sama denganDPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagaimana perubahanUndang-Undang 1945 pada tahun 1999. Maka, katanya, sekarang tak ada lagi lembaga, termasuk MK, yang berhak atau berwenang mencabut Tap MPRS itu." "Refly menyatakan ada dua kemungkinan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966yang melaran ajaran komunisme di Indonesia, yakni lewat MajelisPermusyawaratan Rakyat selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakantersebut, atau via Mahkamah Konstitusi." Sedangkan kalau lewat gugatan ke Mahkamah Konstitusi harus berdasarkan pengaduan masyarakat: "Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan pihaknya akan mengajukan judicial review atas Tap MPRS XXV/1966 jika ada pengaduan resmi dari masyarakat." Dalam hal ini Mahfud mungkin melihat realita kecilnya kemungkinan masyarakat membuat pengaduan. Apalagi meminta kembali ke UUD'45 sekarang dikategorikan sebagai perbuatan makar. --- jonathangoeij@... wrote: Berbicara koridor hukum kelihatannya ada 2 pendapat bisa tidaknya TAP MPRS dicabut: Mahfud MD: Tap MPRS Larang Komunisme Tak Bisa Dicabut Refly Harun: Ketetapan MPRS soal Komunisme Bisa Dicabut --- ajegilelu@... wrote : Kemauan itu sebaiknya tetap di dalam koridor ketatanegaraan / hukum. Dan faktanya, ketika orang minta kembali ke UUD'45 mereka malah ditangkapi dengan tuduhan makar. Padahal, hanya dengan kembali ke UUD'45 maka kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi bisa dipulihkan. Dengan demikian, lembaga ini bisa mengoreksi bahkan mencabut keputusan-keputusan MPR dalam bentuk ketetapan (TAP MPR). Dalam hal ini tentu dengan mencabut dulu TAP MPR No I/2003 yang memperkuat pemberlakuan TAP MPRS No XXV/1966 tentang pembubaran PKI itu. Ini yang saya bilang reformasi omongkosong dan Megawati/PDIP dodol. Sebab, saat itu Megawati adalah presiden yang partainya mayoritas di DPR/MPR. Dan, faktanya, rezim ini malah mengeluarkan TAP MPR No I/2003 untuk memperkuat pemberlakuan TAP MPRS No XXV/1966 ǃ Jadi, kalau Anda bicara soal kemauan, jelas siapa yang tidak punya kemauan untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1966. Itu kalau Anda setuju dengan kemauan yang mengikuti aturan tatanegara / hukum. Kalau memakai kemauan di luar koridor hukum, kemungkinan besar situasi bakal berkembang tidak terprediksi. Negara-negara yang selama ini ancang-ancang memecah NKRI bakal kegatelan hebat. Apalagi Jokowi mau saja disuruh main gebuk. Pertama-tama menangkapi mereka yang minta kembali ke UUD'45 dengan tuduhan makar... Luarbiasa. Apa jadinya kalau rombongan Jokowi ini ada saat Soekarno melakukan dekrit 5 Juli. Anda boleh bilang semua ini tidak nalar. Saya bilang, Megawati sudah menjerumuskan bangsa ini ke dalam lingkaran setan. Sekedar mengingatkan, ketua PDIP itu juga mati-matian mencegah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekrit kembali ke UUD'45. Lumrah saja Gus Dur lantas menyebut "bodo". Anda juga boleh membanggakan AS punya partai komunis. Dan itu bikin saya tersipu-sipu lantaran partai setua itu samasekali tidak berbunyi dalam pemilu (sambil ketawa saya teringat logo PDIP yang mendengus, bermata merah, dan mengaku sebagai partainya wong cilik). --- jonathangoeij@... wrote: Yg penting itu kemauan utk mencabut TAP MPRS itu dan perbandingan kekuatan politik yg mendukung dan menentang. Yg bilang tidak bisa dicabut itu khan Mahfud MD yg memang pro pada TAP terus bikin uraian yg seakan mencabut TAP tidak mungkin, tetapi toh pendapat si Mahfud itu belum tentu benar. Indonesia itu negara yg paling aneh dan tidak masuk nalar sama sekali, "ideologi sosialis/komunis itu ada dan tertanam dalam masyarakat Indonesia" tetapi kemudian diberangus dipidanakan. Sedemikian tidak sadarnya bahkan si Gatot Nurmantyo yg berulang kali mengutarakan sikap anti komunisnya eh malah baca puisi berjiwa komunis. ha ha ha ha. Kalau bilang USA anti komunis toh pada kenyataannya partai komunis bisa berdiri dengan bebas hampir 100 th lamanya bisa ikut pemilu orang pakai palu arit juga bebas saja. Semuanya itu legal. Tambahan lagi, presiden yg lama dibilang komunis sedang presiden yg sekarang boneka komunis. --- ajegilelu@... wrote : Syukurlah dalam tempo singkat sekarang Anda tahu siapa di dunia ini yang paling anti terhadap faham komunis. Wajar Anda jadi buru-buru beralih ke soal lain (TAP MPRS) dengan meminta jawaban ringkas dari apa yang sudah pernah saya berikan - padahal waktu itu Anda langsung balik badan juga. Rapopo, saya persingkat sekali lagi: Dengan kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi lalu siapa sekarang yang bisa