Kalau perundingan dimulai th 2019 saat kampanye tidak ada keuntungan atau 
manfaat sama sekali bagi Jokowi bahkan bisa jadi bumerang karena pihak lawan 
bisa menggunakan isu nasionalisme (yg sebetulnya kosong). Sedang keberhasilan 
meng-akuisisi 51% saham saat ini bisa laku keras saat kampanye dgn dibumbui 
jargon nasionalisme (juga kosong) dan puja puji betapa Jokowi-lah satu2nya 
presiden setelah sekian puluh tahun berhasil menaklukkan Freeport, betapa 
Indonesia berdaulat. Kurang lebih begitulah.

---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

Bisa saja begitu. Yang jelas, kelihatan tidak ada perlawanan Jokowi 
terhadap nekolim agar bangsa ini berdikari. Sebaliknya, dia malah 
siap menggebuki bangsa sendiri (supaya tetap terpecahbelah?). Betul-betul tidak 
adil. Menjauh dari tujuan masyarakat adil-makmur.
Buktinya, Jokowi yang selalu bilang perundingan dengan Freeport 
baru akan dimulai paling cepat 2 tahun sebelum kontrak berakhir 
tahun 2021, tiba-tiba sudah menyetujui perpanjangan operasi PTFI 
pada 4 Juli 2017 - hanya 4 hari setelah ngobrol dengan Obama di 
Bogor.

Yang pasti, 2019 ada rebutan kursi kekuasaan lagi. Perlu kekuatan. 
Baik untuk kampanye maupun untuk menggebuki bangsa sendiri. 


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
Jokowi Tegaskan Tidak Perpanjang Kontrak Freeport Sebelum Masa Berlaku Habis
Presiden punya sikap tegas, tidak akan perpanjang sebelum kontrak selesai dalam 
dua tahun. |  |

 |

 |



--- jonathangoeij@... wrote:
 apakah Freeport - Grasberg Mine merupakan bargaining chip posisi Papua di PBB?
--- ajegilelu@... wrote :

Selalu menyenangkan mendengar keinginan melawan kolonialisme 
dan berdikari, karena memang itulah maksud bangsa kepulauan ini 
memproklamirkan kemerdekaan. Dengan tujuan, menjadi masyarakat 
adil-makmur.
Persoalannya, kolonialisme gaya baru terus menjaga Indonesia agar 
tetap terpecahbelah. Melalui berbagai isu dan cara mereka 
menghentikan tujuan bangsa ini (bukan membelokkan) hanya sampai 
di kursi kekuasaan, rebutan kekuasaan. Adilkah ini bagi masyarakat 
pemilik masa depan yaitu anak-cucu dan keturunan mereka? 
Jelas tidak. Dan ini bukti bahwa sistem pendidikan nasional yang ada 
tidak berhasil membuka mata.
"seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran,"- pram
--- lusi_d@... wrote:
Ada dua pendapat ttg penyelesaian dng PT Freport. Satu mendorong
perpanjangan kontrak PT Freeport dan yang kedua kontrak selesai pada
tahun 2021 nanti seperti yang dikemukakan oleh pengamat hukum
pertambangan Bisman Bakhtiar ini. Namun demikian perlu juga diperhatikan
bahwa pendirian spt yg dikemukakkan itu bukan berarti datang dengan
sendirinya. Masih harus diperjuangkan dengan segala cara.

Hak pengelolaan tanah oleh PT Freeport sudah selesai. Jadi
tanahnya, oleh PT Freeport harus dikembalikan sepenuhnya 100% kepada si
pemiliknya, yaitu seluruh rakyat Indonesia. Karena itu untuk apa kok
dimulai dari perdebatan kepemilikan saham 100% dan 51% itu.

Saya berpendapat bahwa munculnya masalah kepemilikan saham (51%
versus 49%) itu adalah akal busuk kaum neoliberal dan komprador
imperialis menjebak selera hidup penguasa elite di Indonesia mengambil
sikap untuk meneruskan hak pengelolaan dan perampokan kekayaan alam di
Irian Barat itu ke PT Freeport dengan memperpanjang hak kepemilikan
penguasaan dan pengelolaan wilayah tambang PT Freeport ke Indonesia
pada tahun 2021 nanti. Kaum investor menuntut jaminan sambil
menggunakan taktik merangkak-rangkak sedapat mungkin dengan cara
menyodorkan tuntutan satu per satu untuk mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin. 

Mestinya kita yah tidak perlu ikut-ikut bodoh dengan memperpanjang
pengurasan kekayaan alam negerinya sendiri. Yang terpokok harus ada
keberanian menentang kekuasaan nekolim di negeri kita kalau ingin
mensejahterakan kehidupan rakyat. Tanpa keberanian semacam itu tidak
akan tumbuh keyakinan kemenangan mempertahankan hakmilik nasionnya
sendiri.

Kewajiban kita selanjutnya bagaimana mengelola tambang yang sudah ada
itu diabdikan sesuai dengan tuntutan Undang-Undang Dasar 45 Pasal 33.
Diskusi kita harus dimulai disini.

Kita perhatikan kwalitet manusia penguasa di Indonesia sekarang yang
sudah pada ribut membayangkan limpahan rejeki finansial atau saham yang
disimbulkan dengan istilah papa minta-saham melalui pertunjukan
cakar-mencakar antar mereka. Jadi bukannya konsistens dengan janji
mereka sendiri untuk menegakkan prinsip berdikari di bidang ekonomi itu
yang menuntun politiknya, tapi rebutan rezeki saham.

Orang harus berani menegakkan sendiri prinsip berdikari. Seberapapun
ramainya orang menjajakan saham kalau tidak dirangkaikan dengan hasil
produknya sendiri pada suatu saat nilai saham itu akan menjadi kertas
gombal nol besar dan mampuslah si pemegang saham semacam itu.
Belajarlah dari kebangkrutan Lemann Brothers Bank yang akhirnya aib
penggelembungan bank-bank itu semuanya terbongkar dan menjalar ke
seluruh dunia kapital finans dalam situasi yang sudah tidak bisa
dikontrol lagi berapa nilai real setiap bank itu sebenarnya. Lain
halnya kalau nilai produk itu dikuasai sendiri oleh negara yang berani
menegakkan prinsip berdikari dalam ekonominya. Jadi masih ada yang
menjamin nilai finansnya ketika krisis yang pasti akan datang itu
terjadi. Sebab bagaimanapun krisis dan kontradiksi yang meruncing antar
kekuasaan imperialis di Asia ini tidak akan terhindarkan.

Tapi sampai sekarang yang saya perhatikan di Indonesia ini borjuis
kecilnya, termasuk kaum sarjananya, kayaknya segan atau merasa sudah
tidak mungkin meningkatkan pandangan klasnya bahkan menjadi borjuis
nasional pun, karena itu lebih tertarik langsung jadi komprador saja? Oh
enak ya ideologi cepat saji itu!

Memang banyak orang yang pedenya merosot kalau digertak dengan soal
kapital ketika memulai menggagas pelaksanaan berdikari di lapangan
usaha. Jalan keluar yang terbayang dalam otaknya sampai sekarang
barusamapi ke tingkat utang-utangan saja.

Tapi kita tengok kejadian baru-baru ini. Ada juga sikap lain yang
perlu mendapat perhatian dan bisa dikembangkan. Angkatan Udara beli
pesawat udara ke Rusia dengan sistim pembayaran barter bahan baku.
Ternyata Rusia mau menerima. Mengapa? Karena usaha ini bisa
dilaksanakan dengan prinsip saling menguntungkan. Tidak perlu lewat
dana devisa dolar atau euro dan dengan cara ini bisa menutup
penggelembungan kapital. Dari sini kita menjadi maklum mengapa cara
semacam ini tidak disenangi oleh kaum koruptor dan kaum neo-liberal.
Di lain pihak kita semua kan katanya antikorupsi tokh. Diberi jalan
yang menutup kemungkinan korupsi juga tetap bimbang-bimbang?

Saya kira usaha keras menggagalkan perpanjangan kontrak pengurasan
kekayaan alam negeri kita terhadap PT Freeport masih akan berlanjut
sampai berhasil. Secara perjanjian internasional sebenarnya tidak ada
penghalang kok. Sekali lagi untuk Jokowi, yang semacam ini sebenarnya
merupakan kesempatan emas terakhir untuk naik daun lagi sebagai
panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Tergantung berani
atau tidak.

Lusi.- 

Am Tue, 3 Oct 2017 00:20:33 +0200
schrieb Sunny ambon :



> *Diberitakan bahwa menteri seegala urusan akan ke Washington untuk
> membicarakan Freeport.*
> 
> 
> http://koransulindo.com/pemerintah-diminta-hentikan-upaya-divestasi-saham-freeport/
> 
> 
> Pemerintah Diminta Hentikan Upaya Divestasi Saham Freeport
> 
> *Koran Sulindo* – Pemerintah diminta untuk tidak melakukan divestasi
> karena masa kontrak PT Freeport akan berakhir 2021 mendatang.
> 
> Pengamat hukum pertambangan Bisman Bakhtiar menilai langkah divestasi
> tidak tepat dan pemerintah diminta bersabar hingga 2021. Ke depan,
> nantinya wilayah tambang milik Freeport akan sepenuhnya kembali ke
> Pemerintah Indonesia tanpa harus divestasi.
> 
> “Pengelolaan wilayah pertambangan tersebut selanjutnya bisa melalui
> BUMN yang dapat bekerjasama dengan berbagai pihak,” ujar Bisman dalam
> keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (2/10).
> 
> Menurutnya, dengan divestasi justru akan menjebak Indonesia untuk
> memberikan perpanjangan terus kepada Freeport setelah kontrak karya
> berakhir pada 2021. Padahal, kalau Pemerintah tidak memperpanjang
> kontrak Freeport, posisi tawar Indonesia akan jauh lebih tinggi,
> 
> Ditegaskan, sebaiknya pemerintah menghentikan perundingan dengan
> Freeport. Pemerintah tidak perlu lagi negosiasi tentang divestasi,
> melainkan perubahan kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan
> Khusus, dan pemberian izin ekspor mineral mentah.
> 
> “Sudah saatnya pemerintah tegas kepada Freeport agar tunduk dan patuh
> pada undang-undang yang berlaku di Indonesia,” kata Bisman. *[CHA]*



Reply via email to