http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/10/15/oxuqh2396-negara-dan-sertifikasi-halal-indonesia


Senin , 16 October 2017, 04:35 WIB

*Negara dan Sertifikasi Halal Indonesia*

Red: Agus Yulianto

ROL/Abdul Kodir

[image: M Fuad Nasar]

M Fuad Nasar


REPUBLIKA.CO.ID, *Oleh: M Fuad Nasar* *)

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin pada 11 Oktober 2017. Landasan hukum
pembentukan BPJPH adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) boleh dibilang merupakan salah
satu undang-undang yang terlama pembahasannya di DPR. Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang JPH disusun sejak awal 2006, diajukan ke DPR tahun
2008 dan disahkan menjadi undang-undang pada tahun 2014.

Kenapa negara menangani jaminan produk halal? Dalam bahasa regulasi, ialah
untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan
produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi
dan menjual roduk halal. Jaminan Produk Halal adalah menyangkut kepentingan
masyarakat luas dan ekonomi nasional.

Sebuah pertanyaan mengemuka, benarkah pemerintah mencabut Sertifikasi Halal
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)?

Kehadiran BPJPH justru memperkuat sertifikasi halal yang telah puluhan
tahun ditangani oleh MUI. Sertifikasi halal ditransformasi dan ditingkatkan
dari bersifat voluntary menjadi obligatory, artinya sesuatu diwajibkan atas
dasar undang-undang untuk kemaslahatan seluruh bangsa.

Dengan kehadiran BPJPH sebagai unit organisasi struktural setingkat Eselon
I di Kementerian Agama, sebuah perubahan besar khususnya dalam pengembangan
industri halal diharapkan semakin menggelora di negara kita, seperti
harapan Menteri Agama dalam pidato peresmian BPJPH.

Bangsa ini harus memiliki institusional memory bahwa Sertifikasi Halal di
Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan jalan berliku karena tidak
semua elemen masyarakat mendukung baik karena alasan politis maupun
alasan teknis.

Sertifikat Halal di Indonesia tidak lahir tiba-tiba. Setahu saya perjalanan
sejarahnya dimulai dari labelisasi produk nonhalal oleh Departemen
Kesehatan tahun 1976. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu
tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 280 tanggal 10 November
1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung
Bahan Berasal Dari Babi. Surat Keputusan yang ditanda-tangani Menteri
Kesehatan Prof Dr GA Siwabessy mengharuskan semua makanan dan minuman yang
mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan
diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.

Pada perkembangan selanjutnya, proses penerbitan Sertifikasi Halal di
Indonesia ditangani oleh MUI setelah  dibentuknya Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM-MUI) tahun 1989. Kelahiran
LPPOM-MUI dilatarbelakangi merebaknya kasus lemak babi yang pada saat itu
meresahkan masyarakat.

Sekitar bulan Oktober 1988, surat-surat kabar dan majalah di Jakarta
menurunkan berita hasil penelitian Dr Ir H Tri Susanto M App Sc, dosen
Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Di dalam
hasil penelitian yang dipublikasikan dan ditambah beberapa item di luar
daftar sampling yang diteliti, menyebut beberapa jenis makanan mengandung
lemak babi, seperti produk susu Dancow, biscuit, coklat, ice cream, kecap
dan lain-lain. Pemerintah, mulai dari presiden, menteri, DPR dan MUI ikut
urun rembug dan turun tangan untuk menenangkan umat Islam yang tersengat
karena isu lemak babi.

Pengujian terhadap makanan dan minuman, apakah mengandung babi, tidak
sederhana dan mudah. Terknologi yang ada dewasa itu baru bisa mendeteksi
sifat-sifat kimia, fisika, biokimia, dari lemak dan daging babi murni
sebelum tercampur. Oleh karena itu HS Prodjokusumo, Sekretaris Umum MUI,
menyatakan hasil penelitian Dr Ir H Tri Susanto merupakan “sedekah” bagi
umat Islam.

Hikmahnya menunjukkan kemajuan teknologi sejalan dengan kemajuan agama.
Selain itu masyarakat semakin tahu membedakan mutu dan kualitas produksi
yang baik dan buruk. Hikmah lainnya – menurut  penggagas KOKAM (Komando
Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah) itu – kesadaran untuk menghayati
agama di kalangan semua lapisan masyarakat semakin meningkat.

Ketua Umum MUI KH Hasan Basri waktu itu menganjurkan kepada umat Islam
Indonesia agar menjauhi makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan
yang haram, seperti lemak babi. Apabila seorang muslim ragu-ragu terhadap
suatu jenis makanan, lebih baik tidak memakannya.

Pada 1 Desember 1988 Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, Menteri Agama H Munawir
Sjadzali, MA dan Menteri Kesehatan dr Adhyatma MPH, mengeluarkan imbauan
kepada para produsen makanan, termasuk yang dihidangkan di hotel dan
restoran, agar memproduksi, memperdagangkan, serta menghidangkan makanan
dan minuman yang sungguh-sungguh bersih dari bahan-bahan haram.  MUI
kemudian membentuk tim yang meninjau pabrik-pabrik yang dicurigai. Media
massa mempublikasikan unsur pimpinan MUI sedang minum susu Dancow dan makan
mie instant untuk meredam keresahan umat Islam tentang kehalalan produk
yang terkena isu kandungan lemak babi.

LPPOM-MUI berdiri pada 6 Januari 1989 bertepatan dengan 26 Jumadil Awal
1409 H. Fondasi awal Jaminan Produk Halal di Indonesia digariskan sejak era
kepemimpinan Ketua Umum MUI KH Hasan Basri, dengan Ketua LPPOM MUI periode
yang pertama ialah Prof Dr Ir . Amin Aziz dan kemudian Prof Dr Hj Aisjah
Girindra.

Undang-Undang Jaminan Produk Halal mengatur kewenangan penerbitan
sertifikat halal oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama.
Sertifikasi halal yang diatur dalam Undang-Undang JPH kurang pas apabila
ditafsirkan seolah negara mencampuri wilayah agama. Penetapan fatwa halal
tetap menjadi otoritas MUI. Kewenangan administratif penerbitan sertifikat
halal yang dialihkan kepada BPJPH.

Setelah beroperasinya BPJPH, peran dan kewenangan MUI tetap penting dan
strategis yaitu memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang
kemudian disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar untuk penerbitan sertifikat
halal. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI selama ini tetap berlaku
sampai jangka waktunya habis. Sinergi dan kerjasama BPJPH dengan MUI antara
lain dalam hal Sertifikasi Auditor Syariah, Penetapan Kehalalan Produk, dan
Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), menurut hemat saya ini merupakan
substansi yang amat penting.

Setiap muslim diperintahkan dalam ajaran Islam supaya memilih konsumsi yang
halal dan thayyib (baik) serta menjauhi yang haram demi untuk menjaga
kesehatan jasmani dan rohani. Produk halal dewasa ini bukan hanya makanan,
minuman, obat-obatan, melainkan meliputi produk sandang dan bahkan
pariwisata halal. Isu halal telah menjadi isu ekonomi yang mendapat
perhatian luas dan universal, sama seperti isu ekonomi syariah.

Saya memandang kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh Kementerian
Agama adalah penguatan dari sistem yang sudah berjalan selama ini. Namun
tentu hal itu harus didukung dengan sistem pelayanan yang profesional,
cepat, transparan dan akuntabel. BPJPH harus bisa menarik kepercayaan
masyarakat dan dunia usaha yang cukup heterogen.

Menurut penjelasan Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kementerian Agama,
Mastuki, bahwa BPJPH saat ini tengah mengembangkan registrasi online dalam
pelayanan sertifikasi halal. Saya kira itu sangat bagus. Soalnya, ketika
kehalalan suatu produk sudah difatwakan MUI, maka dalam waktu tujuh hari
kerja, BPJPH sudah harus menerbitkan sertifikasi dan label halal.

Dalam pergerakan ekonomi global, industri halal dewasa ini sudah menjadi
trend dunia. Booming industri halal, termasuk pariwisata halal, sedang
menggelinding. Saya membaca dalam artikel Irfan Syauqi Beik, Ph.D, “Menanti
Paket  Kebijakan Industri Halal” bahwa potensi industri halal di negara
kita cukup besar dengan angka pertumbuhan rata-rata berada di atas
rata-rata pertumbuhan ekonomi pada umumnya.

Data Global Islamic Economy Indicator 2017 menyebut Indonesia masuk 10
besar negara konsumen industri halal terbesar di dunia. Untuk belanja
makanan halal, negara kita menempati peringkat nomor satu di dunia. Begitu
pula di sektor pariwisata halal, Indonesia berada di urutan nomor lima di
dunia. Sementara untuk obat-obatan dan kosmetika halal serta keuangan
syariah, Indonesia menempati peringkat keenam dan kesepuluh di dunia. *Nah*,
saya kira ke depan agenda kita adalah mengupayakan agar Indonesia jadi
negara produsen halal yang masuk peringkat besar dunia. Pada akhirnya itu
semua memerlukan kolaborasi dan sinergi di antara semua pemangku
kepentingan.


*) Plt Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf atau Konsultan The Fatwa
Center Jakarta

Kirim email ke