From: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] 
Sent: Monday, October 16, 2017 5:40 AM

  



Kalau presiden keliru atau kurang paham sesuatu hal, apakah harus diam dan 
setuju?



http://www.suara-islam.com/read/kolom/opini/23860/-Aneh-Menkeu-Kok-Melawan-Presiden



Aneh, Menkeu Kok Melawan Presiden!
12 Oktober 18:52 | Dilihat : 1854 

 Jokowi-Sri Mulyani [foto: Harian Terbit]

Ada yang menarik dari perhelatan Indonesia Economic Quarterly, Closing The Gap 
di Jakarta, Selasa (3/10) silam. Di acara tersebut Kepala Perwakilan Bank Dunia 
untuk Indonesia Rodrigo A. Chavez  menyimpulkan pertumbuhan riil konsumsi 
nonpemerintah di triwulan II-2017 yang 5% jadi penghambat pertumbuhan ekonomi 
Indonesia.

Terkait penilaian Bank Dunia itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) 
mengatakan data hasil analisis yang disajikan Bank Dunia itu belum jelas.  
Mungkin perlu diteliti lebih jauh consumption pattern-nya, pola konsumsi di 
rumah tangga. 

Meski begitu dia juga minta saran konkret WB bagaimana menyelesaikan 
permasalahan tersebut. Tapi, menurut dia, untuk memberi rekomendasi jalan 
keluar, dibutuhkan analisis data yang lebih mendalam. Nah, persoalannya, kata 
Sri, Bank Dunia belum bisa menyajikan itu. 

Yang lebih menarik lagi, Menkeu juga minta WB menyajikan data-data dari negara 
lain yang telah sukses menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Indonesia saat 
ini. Dengan begitu Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain.

Menteri inkonsisten?
 
Bagaimana membaca pernyataan-pernyataan Sri tersebut? Agak membingungkan, 
memang. Pertama, sepertinya dia meragukan hasil analisis tentang Bank Dunia 
tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Ini agak aneh. Bukankah dia pernah menjadi salah satu petinggi di lembaga itu. 
Tidak tanggung-tanggung, jabatannya sebagai managing director! Bagaimana 
mungkin dia meragukan analisis lembaga tempat dia bekerja? Apakah ini hanyalah 
keseleo lidah, yang apa boleh buat, menjadi semacam ‘testimoni’ bahwa analisis 
Bank Dunia tidak mendalam? Dan, itu artinya tidak kredibel?

Kedua, ini lebih aneh lagi. Kalau dia meragukan analisis WB, mengapa pula pada 
kalimat berikutnya Sri justru minta Bank Dunia memberi rekomendasi bagi 
Indonesia untuk keluar dari problem yang dihadapi? Bahkan perempuan yang getol 
membuat utang dengan bunga supertinggi itu minta data-data negara lain yang 
telah sukses dari problem serupa. Apakah Sri sedang bingung?

Membandingkan berbagai kontradiksi pernyataan tadi, barangkali dengan gampang 
kita bisa menyebut Menkeu inkonsisten. Tapi, saya membaca apa yang terjadi pada 
perhelatan itu adalah sebuah peristiwa yang muncul dari ‘alam bawah sadar’ Sri. 
Maksudnya begini. Di alam bawah sadarnya, bisa jadi Menkeu mengakui analisis 
dan hasil kerja Bank Dunia tidak kredibel. Itulah sebabnya banyak resep lembaga 
ini tidak membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Yang terjadi justru 
sebaliknya. Negara-negara yang menerapkan resep Bank Dunia (juga IMF dan ADB) 
justru terperosok ke kubangan krisis yang lebih dalam. Indonesia pernah menjadi 
korban. Yunani adalah contoh teranyar.

Di sisi lain, pada bagian kedua menunjukkan kontradiksi dari seorang Sri. 
Mazhab neolib yang dengan gigih diperjuangankannya menjadi tembok besar yang 
mengungkung cakrawala berpikir dan kesadarannya. Ini ditunjukkan pada 
pernyataannya yang minta resep perbaikan dari Bank Dunia agar Indonesia bisa 
keluar dari ‘jebakan’ konsumsi privat yang ajeg di angka 5%.

Di satu sisi dia meragukan analisis Bank Dunia atas satu persoalan. Di sisi 
lain, dia tetap minta saran dan bantuan dari lembaga yang diragukannya. Apa 
yang sesungguhnya terjadi padamu, Sri? 
 
Insubordinasi 

Tapi, terlepas benar-tidaknya kemungkinan ‘keseleo lidah’ dan ‘testimoni’ tadi, 
satu hal yang pasti; bahwa Sri memang benar-benar pejuang neolib yang tangguh. 
Fakta dan kenyataan bahwa Bank Dunia (juga IMF dan ADB) yang gagal mendiagnosis 
dan meresepkan obat bagi banyak negara, toh tidak mampu membuatnya ‘pindah ke 
lain hati’. Dia tetaplah seorang neolib sejati.

Sampai di sini sebenarnya ada persoalan yang sangat serius. Bagaimana mungkin 
menteri bisa terus-terusan berseberangan bahkan berlawanan dengan Presiden yang 
menjadi bosnya? Sri yang neolib telah melawan Presidennya. Sri terus-menerus 
melakukan insubordinasi kepada atasannya.

Masih ingat pada pembukaan Konferensi Asia-Afrika, 22 April 2015 silam? Saat 
itu, Jokowi mengkritik pandangan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat 
diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB. Berikut ini saya kutipkan beberapa 
bagian dari pidato Presiden tersebut:

“Saya berpendirian pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan hanya kepada 
tiga lembaga keuangan internasional itu. Kita wajib membangun sebuah tatanan 
ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru. Kita 
mendesak dilakukannya reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan 
dominasi kelompok negara atas negara-negara lain.”

Pidato Jokowi itu langsung mendapat sambutan tepuk tangan meriah dari para 
hadirin. Jangan lupa, KAA dihadiri 21 kepala negara dan kepala pemerintahan. 
Mereka di antaranya Presiden China Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo 
Abe, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Presiden Kamboja Hun Sen, 
Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, dan Raja Yordania Abdullah II.

Seperti belum cukup, Jokowi kembali menegaskan sikapnya saat malamnya menjamu 
delegasi KAA dalam acara gala dinner di Istana Merdeka, Jakarta. Sekitar 42 
kepala negara dan perwakilan negara hadir dalam acara yang dimulai pukul 20.00 
WIB itu. Malam itu, antara lain Presiden menyatakan:

“Ketidakadilan global terasa ketika sekelompok negara enggan mengakui realita 
dunia yang sudah berubah. Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi 
dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan 
yang usang, yang perlu dibuang. Pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan 
hanya kepada tiga lembaga keuangan internasional; Bank Dunia, Dana Moneter 
Internasional, dan Bank Pembangunan Asia.”

Sungguh sebuah pernyataan yang amat lugas. Sebuah gugatan yang terang-benderang 
dari seorang Presiden terhadap dominasi trio simbol neolib dunia. Maka sangat 
mengherankan, bagaimana mungkin Sri masih saja kopeg alias keras kepala dengan 
neolibnya? Dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana mungkin seorang neolib 
sejati semacam Sri bisa tetap bertahan sebagai Menkeu di dalam kabinet yang 
menasbihkan diri pewaris serta pengusung ideologi Tri Sakti Soekarno dan 
Nawacita. Aneh, benar-benar aneh! (*)

Jakarta, 12 Oktober 2017

Edy Mulyadi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)



Kirim email ke