Ya, bagaimanapun militer dan polisi adalah organisasi yang memiliki tugas khusus. Sebagai warganegara tidak ada kelebihan anggotanya, tetapi memang berbeda dari warga sipil. Setidaknya terikat disiplin dan komando. Hampir semua kasus pelanggaran / kejahatan anggota militer yang disidang melalui pengadilan militer pasti berimbas pada atasannya.
Sebut saja misalnya kasus penyerbuan dan pembunuhan napi di LP Cebongan Yogya yang dilakukan anggota Kopassus. Bukan saja komandan Grup-2 (atasan para pelaku) yang ikut dikenai sanksi disiplin, bahkan Pangdam Diponegoro dan Kapolda Yogya dicopot dari jabatan masing-masing. Jadi, sang atasan tidak disuruhbertindak melainkan justru ikut kena tindakan. Begitu juga kasus pembunuhan bos Asaba yang dilakukan prajurit Marinir. Kalau diadili di pengadilan sipil kemungkinan sang prajurit sebagai (hanya) eksekutor akan lebih ringan dari si otak pembunuhan yaitu menantu bos Asaba.Melalui pengadilan militer, si prajurit (hanya eksekutor) dijatuhi hukuman berat yang sama seperti si menantu (dalang), hukuman mati. Atasan para prajurit itu pun tak luput dari sanksi pencopotan. Barangkali ini bisa sedikit menjelaskan buat Chan soal beda pengadilan sipil dan militer. Sekalipun begitu bukan berarti anggota militer tidak bisa diadili di pengadilan sipil. Tentu saja bisa, selama pelanggaran / kejahatan dilakukan bersama-sama dengan warga sipil. Contohnya kasus korupsi yang melibatkan Marsekal Ginanjar Kartasasmita. Atau, yang masih hangat, kasus pembelian helikopter AW101. Bedanya kasus ini dengan kasus militer lain (atau bisa disamakan dengan kasus Mei '98) para atasan saat kasus ini terjadi sekarang malah dapat kursi dari Jokowi. --- djiekh@... wrote: Lho, bukan kalau....., memang sudah ada Polisi Militer angkatan Darat..Polisi militer Angkatan Laut. Polisi militer angkatan Udara. Kalau ada yangnyeleweng, ya atasannya yang suruh bertindak. Kalau perlu ya dari kepala stafangkatannya. Kalau kepala staf nyeleweng, ya presiden yang memecat. 2017-12-18 15:43 GMT+01:00 Chan CT : Sebetulnya TIDAK PERLU dibentuk Polisi Militer yg khusus bisa menangkap TENTARA. Berikan saja hak itu pada POLISI sebagai petugas HUKUM, artinya polisi bergerak menangkap seorang perwira TNI tentu harus ada surat kuasa HUKUM. Kalau dibentuk polisi militer, lalu bisa ada problem baru, kalau polisi militer yang berbuat KESALAHAN, tindak pidana, siapa pula yg harus menangkap??? Bukankah ada ketentuan setiap warga sederajat didepan HUKUM, ...! Jadi, apapun pangkatnya, betapapun tinggi jabatannya dihadapan HUKUM sama saja, ... Salam,ChanCT From: kh djie Hukum dan peraturannya lain.Untuk menahan saja, tidak bisa oleh polisi.Bisa tembak2an, karena perasaan korps yang kuat.Jadi harus oleh polisi militer.Hakim sipil mana berani mengadili militer.Meskipun pengadilan militer di bawah mahkamah agung,bukan berarti jadi militer diadili pengadilan sipil.http://time.com/4084301/ hitler-grand-mufi-1941/ 2017-12-17 10:19 GMT+01:00 Chan CT : Sebetulnya apa kelebihan seorang MILITER/TENTARA dengan seorang WARGA, sehingga menjadi tidak boleh diadili oleh pengadilan umum, dan hanya bisa dilakukan oleh pengadilan militer? Apakah begitu juga di negara-negara lain didunia ini? Pada saat seorang Tentara melakukan kesalahan pelanggaran hukum, SUDAH SEHARUSnya juga diajukan kepengadilan yang sah dan adil saja, tidak perlu pengadilan khusus. TIDAK BEDA nya dengan pejabat tinggi pemerintah, pada saat terjadi pelanggaran hukum, ya diadili saja ke pengadilan. Kalau perlu setelah dinyatakan sebagai TERSANGKA dicopot dari jabatannya, tidak lagi jadi TENTARA dengan segala pangkat yg disandang dan jabatan MENTERI, ... biar pengadilan lebih BEBAS mengadili. Salam, ChanCT From: kh djie Memang tidak mungkin, mana ada hakim sipil berani menjatuhi hukuman pada militer ? 2017-12-17 4:15 GMT+01:00 Chan CT : From: Sunny ambon http://www.sinarharapan.co/new s/read/1712168887/panglima-ban tah-setujui-prajurit-diadili-p eradilan-umum-' PANGLIMA BANTAH SETUJUI PRAJURIT DIADILI PERADILAN UMUM TNI MENUDUH KETERANGAN PANGLIMA SUDAH DIPLINTIR MEDIA. 16 Desember 2017 19:06 NM Politi JAKARTA - Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto melalui Kapuspen TNI Mayjen TNI M Sabrar Fadhilah membantah menyetujui kasus pidana oknum militer diselesaikan di peradilan umum seperti dalam pemberitaan di berbagai media massa. Kapuspen TNI dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (16/12/2017) menyatakan pemberitaan yang dilansir oleh beberapa media tidak benar dan sudah diplesetkan redaksionalnya. "Adapun penjelasan Panglima TNI yang sebenarnya adalah 'Kita yang jelas siapa yang salah kita adili, rasa keadilan harus ada. Kita sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM dan KUHP biar tidak ada pasal yang ganda. Dihukum di umum dituntut di militer. Tapi pada dasarnya kita akan tegakkan (hukum)," kata Kapuspen TNI. Fadhilah mengatakan, sesuai pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, peradilan militer berkedudukan setara dengan peradilan umum berada di bawah Mahkamah Agung. Sampai saat ini, lanjut dia, TNI telah memiliki perangkat hukum yang sudah mapan dan mampu mewadahi serta menangani segala persoalan hukum secara tepat dan berkeadilan. "Institusi TNI merupakan organisasi yang memiliki kekhususan dalam pelaksanaan tugasnya (lex spesialis), Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer sampai saat ini masih berlaku dan belum ada perubahan sehingga tindak pidana yang dilakukan oknum TNI dilaksanakan di peradilan militer," katanya. Terkait wacana tindak pidana yang dilakukan oleh oknum prajurit TNI di peradilan umum, Kapuspen TNI menjelaskan dalam prosesnya perlu dilaksanakan kajian khusus yang mendalam disertai dasar hukum yang jelas. "Keberadaan peradilan umum dan peradilan militer sama-sama dijamin oleh konstitusi," dia menambahkan. Sumber : siaran pers/ant