Keras Melawan Terorisme
Ahad, 13 Mei 2018 14:15Oleh M. Kholid Syeirazi
Sudah lama NU dan orang-orangnya dituding sebagai kelompok yang “bersikap keras 
terhadap umat Islam dan berlaku lemah lembut terhadap orang-orang kafir.” 
Belakangan tudingannya lebih serem: Anshârut Thâgût, pembela Thagut. Kata 
mereka, “Banser lebih rajin jaga Gereja dan ketimbang pengajian.”
Orang-orang NU tidak perlu berkecil hati. Sebenarnya NU menjaga Islam dari 
orang-orang yang merusak, yaitu sekelompok orang yang menggunakan Islam untuk 
berbuat jahat. Ada yang menyangkal keberadaan mereka. Abu Bakar Baghdadi, 
konco-konconya, dan yang sealiran dengannya, kurang bukti apa! Mereka syahadat 
dan takbir, tetapi menggorok orang, bahkan sesama ahlul qiblat. Dan terhadap 
mereka yang menggunakan Islam untuk berbut jahat, sikap kita kadang harus lebih 
keras ketimbang terhadap non-Muslim. Ibn Hajar al-Asqalani, dalam Fathul Bârî 
syarah Shahîh Bukhârî, Juz 12, h. 253 mengutip pendapat Ibn Hubairah terkait 
Khawarij yaitu pendahulu kelompok takfiri yang kerap menggunakan kekerasan dan 
menghalalkan darah sesama umat Islam:
أن قتال الخوارج أولى من قتال المشركين. والحكمة فيه أن قتالهم حفظ رأس مال 
الإسلام، وفي قتال أهل الشرك طلب الربح. وحفظ رأس المال أولى.
“Sungguh memerangi Khawarij lebih utama ketimbang memerangi orang-orang 
musyrik. Hikmahnya adalah bahwa dalam memerangi Khawarij  terpelihara modal 
pokok Islam, sementara memerangi orang musyrik dapat laba. Menjaga modal pokok 
lebih utama ketimbang mencari laba.”

Baca juga: NU, Jihad Tolikara dan Jihad Myanmar
Modal pokok Islam, sesuai dengan namanya, adalah agama damai dan mengupayakan 
perdamaian. Sekarang ada sekelompok orang Islam, karena keyakinan tertentu, 
bekerja untuk mengubahnya menjadi agama teror dan kekerasan. Terorisme lahir 
dari cita-cita politik, bukan agama, yaitu menegakkan pemerintahan Islam yang 
tidak jelas bentuknya.  Orang-orang yang bercita-cita menegakkan pemerintahan 
Islam, dengan cara-cara tidak Islami, menganggap NKRI sebagai Thagut, 
bercita-cita memberontak terhadap kekuasaan yang sah yang dihasilkan dari 
proses syûrâ yang diakui dalam Islam, harus disikapi dengan tegas dan keras 
karena mereka justru menggerogoti Islam itu sendiri. Kemuliaan Islam dan 
ajarannya defisit justru di tangan mereka.

Islam bukan agama teror dan kekerasan! NKRI dan negara-negara lain di dunia 
adalah produk mu’âhadah wathaniyah, konsensus yang sah. Karena itu umat Islam 
di seluruh dunia harus taat dan patuh kepada pemimpinnya selagi tidak dihalangi 
untuk menjalankan salat berjamaah, menggemakan adzan, membangun masjid/tempat 
ibadah, menyuruh maksiat atau melakukan kezaliman yang nyata.
Nation-state di seluruh dunia sah,  karena itu umat Islam di manapun tidak 
perlu berpikir membangun imperium Islam dunia dengan cara-cara yang tidak 
Islami. Orang-orang Islam harus berhenti bercita-cita bughat atau mengadakan 
konsensus di atas konsensus. NKRI yang pluralistik adalah konsensus yang 
dibentuk oleh para hakam (juru runding) yang bekerja dalam BPUPKI/PPKI. 
Al-Qur’an (QS. an-Nisâ’/4: 35) membolehkan dan mengakui keberadaan hakam untuk 
menghindari perpecahan. Jika hakam saja boleh dalam urusan domestik, apalagi 
dalam urusan publik yang menentukan nasib banyak orang.
Saya meyakini terorisme dalam Islam lahir dari cita-cita politik, bukan agama. 
Terorisme harus disikapi keras dan tegas. Tidak ada toleransi terhadap 
terorisme dan teroris. Adapun satu tingkat di bawahnya, yaitu orang Islam 
eksklusif, yang meyakini kebenaran mutlak Islam sembari menafikan hak orang 
lain meyakini kebenaran ajaran agamanya, harus diupayakan dialog tanpa letih 
dan pengajaran Islam yang benar, yaitu Islam yang mempromosikan keadilan, 
perdamaian, dan toleransi: Islam yang berwawasan kebangsaan. 
Setelah insiden Mako Brimob dan teror di Gereja Surabaya hari, kita harus 
sehati dan sepikiran bahwa tidak ada tempat bagi terorisme di sini, di sana, 
dan di mana saja. Tidak perlu menutup-nutupi dan membela aksi terorisme dengan 
alasan apa pun. Kalau misalnya tidak puas dengan kinerja pemerintahan, jadilah 
oposisi loyal. Kritiklah, kalau perlu keras, tetapi jangan asbun. Himpun 
kekuatan dan rebutlah kekuasaan dengan cara konstitusional, dengan 
program-program alternatif, tanpa perlu berternak kebencian.
Setiap negara di dunia pasti punya masalah keadilan dan distribusi 
kesejahteraan, hanya negeri surga yang bebas dari kerakusan manusia. Tetapi, 
kalau pun sekarang kita menghadapi masalah ketimpangan, tidak berarti 
membenarkan terorisme, pun dengan cara tersamar.
Apa maksud pembenaran tersamar? Menutup-nutupi aksi terorisme, mengembangkan 
teori konspirasi, menyebutnya rekayasa, menggunakan dalih reaksi atas 
ketidakadilan. Itu semua adalah bentuk pembenaran tersamar. Selagi kita, umat 
Islam, tidak mau jujur kepada diri sendiri, kita tidak akan bisa melenyapkan 
terorisme!

Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP ISNU





Kirim email ke