alasan utamanya untuk beli sapi disana karena untuk dapat memenuhi kuota 5000 ekor itu dan soal kwalitas bibitnya se pengetahuan mereka masih bagus dibanding daerah lain, diperkirakan 5000 ekor itu sudah diterima masyarakat tahun ini juga.
Mukti Syarif Rivai <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Milister, "Tanya Kenapa?" beli sapi dari Sulsel yang katanya kualitas genetiknya sudah menurun? Oh iya, itu 5000 ekor dibeli dalam setahun ya? Saya liat di Teve katanya Tapos nya almarhum punya sapi bibit berkualitas tinggi. kawan-kawan dari IPB mungkin bisa kasih info mana yang lebih baik sapi bali dari sulsel ato yang di Tapos (lupa nama sapinya) ? Rgds, Ari ----- Original Message ----- From: hartono hadjarati To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Sent: Friday, February 22, 2008 11:02 AM Subject: Balasan: [GM2020] Gorontalo Export Sapi, SulSel Berkurang Sapi ...... bung taufik dalam waktu dekat ini pemerintah Bonbol rencananya akan membeli sapi bali di sulsel, dalam rangka pengadaan bantuan sapi 5000 ekor kepada masyarakat yang mana identifikasi penerima sudah dilakukan oleh dinas peternakan bonbol. mudah2 yang akan membeli dapat bibit yang berkwalitas, dan kalau bisa bung bisa dampingi mereka asal tidak asal beli. supaya sapi yang dibeli untuk di kembangkan, bukan dijual lagi karena alasan sapi sakit dll. Taufik Polapa <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dear All GM2020. Berikut Artikel yang saya COPAS dari Harian FAJAR Makassar, semoga bermanfaat buat Member. Apakah UNG saat ini sedang Melakukan Penelitian dalam Hal Bibit2 Unggul Sapi seperti UNHAS ? salam Guru Besar Ilmu Produksi Ternak, Prof Dr Ir H Basit Wello,M.Sc Hasil sensus pertanian pada tahun 1993 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi dan kerbau di Sulsel hanya 600 ribu ekor. Suatu angka yang mengejutkan jika mengingat di tahun 1979, jumlah sapi dan kerbau mencapai lebih satu juta ekor.Bahkan Sulsel menjadi penyuplai sapi bibit dan sapi potong di beberapa provinsi di Indonesia. Keadaan sapi Bali yang notabene paling disukai masyarakat Sulsel, semakin memprihatinkan. Sebab, selain terjadi penurunan jumlah secara drastis juga dibarengi dengan penurunan kualitas genetik. Bukan tidak mungkin Sulsel terancam mengalami kelangkaan sapi. Mengapa sampai hal itu terjadi dan apa solusinya? Berikut wawancara Anggi S Ugart dengan guru besar dalam bidang Ilmu Produksi Ternak Potong pada Fakultas Peternakan Unhas, Prof Basit Wello usai dikukuhkan Kamis, 21 Februari. Bagaimana sebenarnya kondisi ternak sapi di Sulsel, dari segi kuantitasnya dan kualitasnya? Di Sulsel telah terjadi penurunan kuantitas dan kualitas sapi. Sekarang jumlahnya hanya 600.000 ekor tahun 1993 lalu, padahal jumlahnya pernah mencapai satu juta ekor. Saya melihat, upaya pemerintah sebatas meningkatkan populasi, tapi perbaikan genetik belum ada. Jumlah populasi itu pun ditambah sapi dari luar seperti Australia dengan sapi Brahman. Sedangkan sapi kita sendiri yakni sapi Bali itu meski kecil memiliki beberapa keistimewaan. Sapi Indonesia itu memiliki tingkat reproduksi yang tinggi sekali, kualitas dagingnya sangat baik sehingga disukai oleh masyarakat Sulsel. Bahkan sapi Australia lebih rendah kualitas dagingnya dibanding sapi Bali. Masalahnya sekarang, di Sulsel saat ini terjadi penurunan kuantitas dan kualitas genetik. Pada 35 tahun lalu, kita mudah memperoleh sapi Bali jantan dengan berat badan dewasa sekira 450 kg di Enrekang, Sidrap, Bone, Barru, dan Parepare. Tapi sekarang untuk mendapatkan sapi Bali yang beratnya 300 kg saja sangat sulit. Kecuali mungkin di daerah pegunungan atau terpencil. Apa faktor penyebabnya penurunan kualitas genetik tersebut? Ada dua faktor penyebab. Pertama, dulu itu ada pengeluaran sapi bibit dari Sulsel dengan tinggi badan 105 cm pada usia 1,5 sampai 2 tahun. Bahkan sampai 20.000 per tahun. Sapi yang dikeluarkan adalah sapi berkualitas bagus. Ada yang ke Kalimantan, Lampung, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Malah, standar ini diturunkan menjadi 102 cm pada umur yang sama, sebab sulit mencari anak sapi yang tingginya 105 cm. Sekarang kita tinggal punya yang sapi kecil, kerdil. Kita usahakan bagaimana sapi kita kembali seperti semula, yang beratnya mencapai 450 kg. Sekarang berat sapi hanya 275 kg sampai 300 kg. Penyebab kedua, adanya peraturan pemerintah yang melarang mengeluarkan sapi potong dari Sulsel yang beratnya kurang dari 275 kg. Sebenarnya, peraturan tentang pengeluaran sapi bibit ini tidak masalah karena tidak diikuti dengan peraturan larangan mengeluarkan sapi yang tingginya lebih dari 105 cm pada usia 1,5 sampai 2 tahun. Sehingga semua sapi yang tingginya lebih dari 105 cm dengan umur seperti itu terjadi seleksi negatif. Seperti yang saya katakan, sapi di Sulsel yang tersisi hanya sapi yang pertumbuhannya lambat, kerdil turun temurun dan makin kecil sampai sekarang. Nah, faktor-faktor itulah yang menurunkan kualitas genetik sapi Bali secara drastis di Sulsel. Di Sulsel, sapi jenis apa yang paling banyak dikonsumsi? Dan mengapa terjadi juga penurunan dari segi jumlah? Yang paling banyak dikonsumsi adalah sapi Bali dan itu paling terkenal di masyarakat. Ini karena kualitas dagingnya yang memang bagus. Tapi, jumlahnya juga menurun. Ini terjadi karena banyaknya sapi betina yang dipotong di tempat pemotongan. Baik sapi betina subur, juga banyak yang bunting. Jadi, membunuh dua ekor sekaligus. Pemotongan ini jelas mengurangi jumlah sapi betina. Sekarang ada kecenderungan bahwa sapi jantan kan mudah dijual. Justru yang kurang saat ini di Sulsel adalah sapi pejantan yang bagus. Kalau kita tidak antisipasi hal ini, maka beberapa tahun yang akan datang sapi-sapi kita makin kecil jumlahnya. Berarti masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah? Mungkin juga demikian. Sebab, kalau pernyataan gubernur Gorontalo dulu, Fadel Muhammad yang mengatakan bahwa seandainya dana yang dibelikan sapi impor diberikan kepada rakyat untuk pembelian dan perbaikan sapi di sini, maka akan lebih bermanfaat bagi rakyat. Nah, sekarang yang diuntungkan pedagang, rakyatnya tidak. Mereka ini kan membutuhkan bibit sapi yang bagus. Nyatanya, sekarang tidak diberikan. Menurut Anda, strategi pemerintah dalam peningkatan populasi dan kualitas sapi di Sulsel kurang bagus. Saya kira, sampai saat ini belum tersentuh. Yang mau diperbaiki kuantitasnya. Meski ada sedikit seperti impor sapi dari Nusa Tenggara Barat. Tapi jumlahnya tidak seberapa. Itu pun yang diimpor hanya sapi betina. Padahal, yang paling bagus diimpor dengan sapi jantan. Atau digalakkan Inseminasi Buatan atau IB di Sulsel. Dengan begitu, dapat mendatangkan sperma dari Jawa, seperti dari Lembang. Sekarang kita menggalakkan IB dan embrio transfer di daerah-daerah. Kalau ini dikembangkan oleh pemerintah, maka beberapa puluh tahun yang akan datang, kondisi sapi di Sulsel akan kembali seperti semula. Hasil IB sekarang bagus. Baru usia 5 bulan, harga sapi sudah mencapai 3-5 juta sehingga harganya menggairahkan. Sekarang sudah ada pembibitan di Sulsel, tapi sapi sudah disebar ke masyarakat contohnya di Bone. Bagaimana dengan Breeding Center Maiwa yang merupakan kerja sama Unhas dan pemerintah daerah. Bisakah meningkatkan populasi dan kualitas sapi di Sulsel? Sebenarnya, tujuannya memang begitu. Tapi sampai sekarang, sapi yang kita beli itu dari rakyat. Tapi sapinya kecil-kecil juga, jadi tidak mendukung. Meski demikian, seandainya ada dana dari pemerintah untuk kita melakukan IB maupun embrio transfer di sana itu dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas. Meski namanya Breeding Center, tapi sekarang belum. Meskipun saya sebagai ketua. Mudah-mudahan dengan bantuan Spanyol untuk peningkatan kualitas genetik sapi Bali di Sulsel dapat terlaksana dengan baik. Apakah tingkat konsumsi masyarakat Sulsel dengan jumlah sapi di Sulsel cukup seimbang? Tidak seimbang. Jauh dari kurang. Lebih besar konsumsi sapi dibanding jumlahnya. Saya tidak tahu persis kekurangannya. Karena kekurangannya itu, orang kekurangan sapi jantan untuk dijadikan sapi pejantan. Induk yang subur juga dipotong karena sudah memerlukan daging. Apalagi sekarang harga ikan naik. Jadi, petani berlomba-lomba menjual sapi meski sapi betina subur karena harganya menggiurkan Jadi, bisa dikatakan kita terancam kekurangan daging sapi? Iya, terancam. Harga memiliki dua efek. Sisi bagusnya, harga sapi rakyat meningkat sehingga mereka mendapat income yang bagus. Tapi jeleknya, mereka akan berlomba-lomba menjual sapinya untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. Rakyat tidak tahu, kalau menjual sapi yang bagus justru akan mengurangi kualitas sapi. Sekarang kita impor sapi dari luar daerah. Lantas, solusi Anda untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas genetik sapi Bali di Sulsel? Bisa dengan membangun pusat-pusat pembibitan di tingkat kabupaten maupun provinsi. Selain itu, dengan melakukan pengebirian terhadap semua sapi jantan atau anak sapi jantan yang bukan pejantan atau yang tidak akan digunakan sebagai pejantan. Solusi lainnya, dengan menggalakkan Inseminasi Buatan dengan menggunakan sperma dari pejantan sapi Bali unggul yang ada ataukah mendatangkan sperma dari pusat IB seperti di Lembang. Selain itu, dengan menggalakkan Transfer Embrio yang dikombinasikan dengan IB. __________________________________________________________ Never miss a thing. Make Yahoo your home page. http://www.yahoo.com/r/hs --------------------------------- Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers --------------------------------- Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!