ikutan forward ah... cuma sepenggal diary dari te ulil..
heheheh ulil ulil..perang batin dalam dirimu sampe dapat umpatan 
segitunya...
tapi saya yakin.. kalo makin "keras" upaya seseorang untuk mengutak 
atik aturan dalam posisi diri.. semakin gencar menggerogoti 
keyakinan.. saya sih simpel aja... bilang aja F**K You...!!!
hehehhe simpel kan?


Salam


richie
==========================================================



Suatu siang yang cerah, saya mengendarai mobil sepanjang jalan 
Massachussets
Avenue. Persis menjelang kampus MIT (Massachussets Institute of 
Technology),
saya menginjak pedal rem, karena lampu merah menyala. Pada momen itu,
tiba-tiba saya diserbu oleh sejumlah pertanyaan yang membuncah seperti
banjir bandang yang tak bisa saya kendalikan:

Kenapa saya harus berhenti? Kenapa saya tak langsung menerabas saja?
Kenapa saya harus mengikuti aturan lalu-lintas itu? Bukankah aturan 
itu
membatasi kebebasan saya? Bukankah lebih menguntungkan jika saya terus
jalan, karena saya akan sampai di tujuan lebih cepat? Apakah dan
siapakah yang memaksa saya untuk tunduk pada aturan itu? Dari manakah
sumber ketaatan saya atas aturan itu?

Apakah saya menaati aturan itu karena suatu iman yang mendalam dalam
diri saya bahwa aturan tersebut berasal dari Tuhan sehingga jika saya
langgar, saya akan mendapat "kutukan" di kemudian hari? Bukankah 
aturan
itu buatan manusia saja? Dalam Kitab Suci apa kita jumpai sebuah 
aturan
tentang lampu lalu lintas?

Ataukah ketaatan saya itu karena dorongan utilitarian saja, sebab jika
saya langgar, maka ada bahaya yang akan mengancam saya? Tentu bukan
bahaya di akhirat, tetapi bahaya di dunia ini, yakni saya akan
terlanggar oleh mobil yang datang dari arah yang berlawanan dengan
saya; betulkah itu alasannya? Jika benar demikian, kenapa saya tetap
berhenti saat lampu merah menyala di tengah malam, saat lalu-lintas
nyaris sepi? Dalam keadaan seperti itu, apakah bahaya yang akan
mengancam saya jika saya tak menaati aturan tersebut? Toh tak ada
kendaraan apapun yang akan mengancam saya dari arah sebaliknya?

Dari manakah sumber ketaatan saya atas aturan "lampu merah" itu? Atas
dasar apa aturan itu menjadi sesuatu yang otoritatif buat saya? Adakah
ia otoritatif karena ia mendatangkan keuntungan "duniawiah" buat saya?
Apakah setiap hal yang membawa keuntungan duniawi dengan sendirinya
menjadi sesuatu yang otoritatif buat saya? Kenapa tindakan mencuri 
yang
mendatangkan keuntungan duniawi tidak menjadi sesuatu yang
"normatif-otoritati f" buat saya? Karena mencuri adalah tindakan yang
merugikan orang lain, kata anda. Jika demikian, apakah sumber ketaatan
saya pada aturan lalu-lintas itu adalah sejenis "altruisme", yakni 
rasa
belas kasih pada orang lain, rasa khawatir kalau-kalau orang lain
menderita kerugian karena tindakan saya menerabas lampu merah?

Apakah pandangan ini tak terlalu optimis dalam memandang watak dan
perangai manusia? Jika manusia begitu altruistik, kenapa mereka
"altruis" saat melihat lampur merah dan kemudian menghentikan
kendaraan, tetapi sama sekali tak bersikap yang sama dalam hal hal-hal
lain? Bukankah pemandangan semacam ini sangat akrab pada kita di 
hampir
semua sudut kota Jakarta: seorang pengendara mobil menghentikan
kendaraannya saat lampu merah menyala, karena ia, jika alasan 
altruisme
adalah benar adanya, bersikap altruistik. Sementara, saat ia berhenti
itu, seorang pengemis mengetuk jendela mobilnya, dan ia menggerakkan
tangan, tanda menolak membeirkan sedekah kepada pengemis itu. Kenapa 
ia
"altruistik" dalam kasus lampu merah, sementara tidak bersikap yang
sama terhadap pengemis itu?

Sekali lagi, benarkah altruisme adalah motif ketaatan kita pada aturan
lalu lintas tersebut? Ataukah ketaatan kita justru didorong oleh
sejenis kepentingan pribadi, oleh egoisme, karena kita khawatir akan
menderita kerugian jika melanggar aturan itu?

Betulkah demikian? Apakah "cinta diri" dan egoisme begitu menguasai
tindakan manusia? Apakah dengan demikian kita tidak menyepelekan
kemampuan manusia untuk bertindak tanpa sebuah pamrih apapun, sebuah
tindakan "murni" yang terlaksana karena sebuah kemurahan hati yang
tanpa syarat? Saat berhenti karena lampu merah menyala itu, 
mustahilkan
saya, pada momen itu, sedang memeragakan suatu kemurahan hati yang
tanpa syarat itu?

Bagaimana kedudukan aturan itu dalam konteks kebebasan saya? Apakah
makna kebebasan dalam keadaan seperti itu? Apakah saya menjadi bebas,
saat saya melanggar lampur merah itu? Ataukah saya justru menjadi 
bebas
karena aturan itu? Apakah sebuah aturan dan hukum menjamin kebebasan
atau malah memungkinkah terlaksananya sebuah kebebasan? Bagaimanakah
sebuah kebebasan menjadi terlaksana justru karena adanya pembatasan?
Bukankah ini kontradiksi?

Klakson mobil menguik keras dari arah belakang mobil saya. Rupanya
lampu hijau sudah menyala. Lalu-lintas terhenti sejenak karena
terhalang oleh mobil saya. Seorang pengendara mobil menyalip kencang,
sambil membunyikan klakson keras-keras. Pengendara itu seperti ingin
meneriakkan umpatan, "F***k you!"

Ulil Abshara Abdalla


Kirim email ke