hehehehe bisa aja..
saya rasa kita semua tahu bahwa siapa yang nafsunya paling gede..
antara ulil atau Habib Rizik Sihab dan Munarman beserta Pasukannya 
hehehe

pisss

salam



--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, suwito <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> yah... begitulah ketika orang memiliki landasan berpikirnya 
hanyalah perut
> dan dibawah perut (alias hawa nafsu).
> 
> hihihihihihi
> bolo maafkan...!!!
> 
> 2008/10/20 Richie Octavian <[EMAIL PROTECTED]>
> 
> >   ikutan forward ah... cuma sepenggal diary dari te ulil..
> > heheheh ulil ulil..perang batin dalam dirimu sampe dapat umpatan
> > segitunya...
> > tapi saya yakin.. kalo makin "keras" upaya seseorang untuk 
mengutak
> > atik aturan dalam posisi diri.. semakin gencar menggerogoti
> > keyakinan.. saya sih simpel aja... bilang aja F**K You...!!!
> > hehehhe simpel kan?
> >
> > Salam
> >
> > richie
> > ==========================================================
> >
> > Suatu siang yang cerah, saya mengendarai mobil sepanjang jalan
> > Massachussets
> > Avenue. Persis menjelang kampus MIT (Massachussets Institute of
> > Technology),
> > saya menginjak pedal rem, karena lampu merah menyala. Pada momen 
itu,
> > tiba-tiba saya diserbu oleh sejumlah pertanyaan yang membuncah 
seperti
> > banjir bandang yang tak bisa saya kendalikan:
> >
> > Kenapa saya harus berhenti? Kenapa saya tak langsung menerabas 
saja?
> > Kenapa saya harus mengikuti aturan lalu-lintas itu? Bukankah 
aturan
> > itu
> > membatasi kebebasan saya? Bukankah lebih menguntungkan jika saya 
terus
> > jalan, karena saya akan sampai di tujuan lebih cepat? Apakah dan
> > siapakah yang memaksa saya untuk tunduk pada aturan itu? Dari 
manakah
> > sumber ketaatan saya atas aturan itu?
> >
> > Apakah saya menaati aturan itu karena suatu iman yang mendalam 
dalam
> > diri saya bahwa aturan tersebut berasal dari Tuhan sehingga jika 
saya
> > langgar, saya akan mendapat "kutukan" di kemudian hari? Bukankah
> > aturan
> > itu buatan manusia saja? Dalam Kitab Suci apa kita jumpai sebuah
> > aturan
> > tentang lampu lalu lintas?
> >
> > Ataukah ketaatan saya itu karena dorongan utilitarian saja, 
sebab jika
> > saya langgar, maka ada bahaya yang akan mengancam saya? Tentu 
bukan
> > bahaya di akhirat, tetapi bahaya di dunia ini, yakni saya akan
> > terlanggar oleh mobil yang datang dari arah yang berlawanan 
dengan
> > saya; betulkah itu alasannya? Jika benar demikian, kenapa saya 
tetap
> > berhenti saat lampu merah menyala di tengah malam, saat lalu-
lintas
> > nyaris sepi? Dalam keadaan seperti itu, apakah bahaya yang akan
> > mengancam saya jika saya tak menaati aturan tersebut? Toh tak ada
> > kendaraan apapun yang akan mengancam saya dari arah sebaliknya?
> >
> > Dari manakah sumber ketaatan saya atas aturan "lampu merah" itu? 
Atas
> > dasar apa aturan itu menjadi sesuatu yang otoritatif buat saya? 
Adakah
> > ia otoritatif karena ia mendatangkan keuntungan "duniawiah" buat 
saya?
> > Apakah setiap hal yang membawa keuntungan duniawi dengan 
sendirinya
> > menjadi sesuatu yang otoritatif buat saya? Kenapa tindakan 
mencuri
> > yang
> > mendatangkan keuntungan duniawi tidak menjadi sesuatu yang
> > "normatif-otoritati f" buat saya? Karena mencuri adalah tindakan 
yang
> > merugikan orang lain, kata anda. Jika demikian, apakah sumber 
ketaatan
> > saya pada aturan lalu-lintas itu adalah sejenis "altruisme", 
yakni
> > rasa
> > belas kasih pada orang lain, rasa khawatir kalau-kalau orang lain
> > menderita kerugian karena tindakan saya menerabas lampu merah?
> >
> > Apakah pandangan ini tak terlalu optimis dalam memandang watak 
dan
> > perangai manusia? Jika manusia begitu altruistik, kenapa mereka
> > "altruis" saat melihat lampur merah dan kemudian menghentikan
> > kendaraan, tetapi sama sekali tak bersikap yang sama dalam hal 
hal-hal
> > lain? Bukankah pemandangan semacam ini sangat akrab pada kita di
> > hampir
> > semua sudut kota Jakarta: seorang pengendara mobil menghentikan
> > kendaraannya saat lampu merah menyala, karena ia, jika alasan
> > altruisme
> > adalah benar adanya, bersikap altruistik. Sementara, saat ia 
berhenti
> > itu, seorang pengemis mengetuk jendela mobilnya, dan ia 
menggerakkan
> > tangan, tanda menolak membeirkan sedekah kepada pengemis itu. 
Kenapa
> > ia
> > "altruistik" dalam kasus lampu merah, sementara tidak bersikap 
yang
> > sama terhadap pengemis itu?
> >
> > Sekali lagi, benarkah altruisme adalah motif ketaatan kita pada 
aturan
> > lalu lintas tersebut? Ataukah ketaatan kita justru didorong oleh
> > sejenis kepentingan pribadi, oleh egoisme, karena kita khawatir 
akan
> > menderita kerugian jika melanggar aturan itu?
> >
> > Betulkah demikian? Apakah "cinta diri" dan egoisme begitu 
menguasai
> > tindakan manusia? Apakah dengan demikian kita tidak menyepelekan
> > kemampuan manusia untuk bertindak tanpa sebuah pamrih apapun, 
sebuah
> > tindakan "murni" yang terlaksana karena sebuah kemurahan hati 
yang
> > tanpa syarat? Saat berhenti karena lampu merah menyala itu,
> > mustahilkan
> > saya, pada momen itu, sedang memeragakan suatu kemurahan hati 
yang
> > tanpa syarat itu?
> >
> > Bagaimana kedudukan aturan itu dalam konteks kebebasan saya? 
Apakah
> > makna kebebasan dalam keadaan seperti itu? Apakah saya menjadi 
bebas,
> > saat saya melanggar lampur merah itu? Ataukah saya justru menjadi
> > bebas
> > karena aturan itu? Apakah sebuah aturan dan hukum menjamin 
kebebasan
> > atau malah memungkinkah terlaksananya sebuah kebebasan? 
Bagaimanakah
> > sebuah kebebasan menjadi terlaksana justru karena adanya 
pembatasan?
> > Bukankah ini kontradiksi?
> >
> > Klakson mobil menguik keras dari arah belakang mobil saya. 
Rupanya
> > lampu hijau sudah menyala. Lalu-lintas terhenti sejenak karena
> > terhalang oleh mobil saya. Seorang pengendara mobil menyalip 
kencang,
> > sambil membunyikan klakson keras-keras. Pengendara itu seperti 
ingin
> > meneriakkan umpatan, "F***k you!"
> >
> > Ulil Abshara Abdalla
> >
> >  
> >
> 
> 
> 
> -- 
> Salam,
> Suwito.
> blog : http://www.suwito.web.id
> ym : suwitopom
>


Reply via email to