Sepanjang sejarah umat manusia didunia ini, para musuh Allah akan selalu 
bermunculan.
Wajahnya bisa mirip siapa saja, gerakannya bisa sekeras baja atau selembut 
sutera. Yang tidak berubah adalah penghulu dan kitab suci mereka, Iblis 
lanatullahalaih dan hawa nafsu..
 
Rabbana wala tahmil alaina isran kama hamaltahu alaladzina minqablina..
Rabbana wala tuhammilna ma la taqatalanabih..
Wafuanna..wagfirlanaa.. warhamna.. antamaulana fansurna alalqaumil kafiriinn..
 
Iqbal,
Dari negeri Atheis

--- On Mon, 10/20/08, suwito <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: suwito <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [GM2020] The "tao" of paradoxes By ULIL ABSHAR ABDALLA
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Monday, October 20, 2008, 6:21 AM







hahahaha...
butul itu. deng samua pasti tau.

siplah kalo gitu.
hihihihihi


2008/10/20 Richie Octavian <richie.octavian@ yahoo.com>






hehehehe bisa aja..
saya rasa kita semua tahu bahwa siapa yang nafsunya paling gede..
antara ulil atau Habib Rizik Sihab dan Munarman beserta Pasukannya 
hehehe

pisss

salam

--- In gorontalomaju2020@ yahoogroups. com, suwito <[EMAIL PROTECTED] .> 
wrote:

>
> yah... begitulah ketika orang memiliki landasan berpikirnya 
hanyalah perut
> dan dibawah perut (alias hawa nafsu).
> 
> hihihihihihi
> bolo maafkan...!! !
> 
> 2008/10/20 Richie Octavian <richie.octavian@ ...>



> 
> > ikutan forward ah... cuma sepenggal diary dari te ulil..
> > heheheh ulil ulil..perang batin dalam dirimu sampe dapat umpatan
> > segitunya...
> > tapi saya yakin.. kalo makin "keras" upaya seseorang untuk 
mengutak
> > atik aturan dalam posisi diri.. semakin gencar menggerogoti
> > keyakinan.. saya sih simpel aja... bilang aja F**K You...!!!
> > hehehhe simpel kan?
> >
> > Salam
> >
> > richie
> > ============ ========= ========= ========= ========= ========= =
> >
> > Suatu siang yang cerah, saya mengendarai mobil sepanjang jalan
> > Massachussets
> > Avenue. Persis menjelang kampus MIT (Massachussets Institute of
> > Technology),
> > saya menginjak pedal rem, karena lampu merah menyala. Pada momen 
itu,
> > tiba-tiba saya diserbu oleh sejumlah pertanyaan yang membuncah 
seperti
> > banjir bandang yang tak bisa saya kendalikan:
> >
> > Kenapa saya harus berhenti? Kenapa saya tak langsung menerabas 
saja?
> > Kenapa saya harus mengikuti aturan lalu-lintas itu? Bukankah 
aturan
> > itu
> > membatasi kebebasan saya? Bukankah lebih menguntungkan jika saya 
terus
> > jalan, karena saya akan sampai di tujuan lebih cepat? Apakah dan
> > siapakah yang memaksa saya untuk tunduk pada aturan itu? Dari 
manakah
> > sumber ketaatan saya atas aturan itu?
> >
> > Apakah saya menaati aturan itu karena suatu iman yang mendalam 
dalam
> > diri saya bahwa aturan tersebut berasal dari Tuhan sehingga jika 
saya
> > langgar, saya akan mendapat "kutukan" di kemudian hari? Bukankah
> > aturan
> > itu buatan manusia saja? Dalam Kitab Suci apa kita jumpai sebuah
> > aturan
> > tentang lampu lalu lintas?
> >
> > Ataukah ketaatan saya itu karena dorongan utilitarian saja, 
sebab jika
> > saya langgar, maka ada bahaya yang akan mengancam saya? Tentu 
bukan
> > bahaya di akhirat, tetapi bahaya di dunia ini, yakni saya akan
> > terlanggar oleh mobil yang datang dari arah yang berlawanan 
dengan
> > saya; betulkah itu alasannya? Jika benar demikian, kenapa saya 
tetap
> > berhenti saat lampu merah menyala di tengah malam, saat lalu-
lintas
> > nyaris sepi? Dalam keadaan seperti itu, apakah bahaya yang akan
> > mengancam saya jika saya tak menaati aturan tersebut? Toh tak ada
> > kendaraan apapun yang akan mengancam saya dari arah sebaliknya?
> >
> > Dari manakah sumber ketaatan saya atas aturan "lampu merah" itu? 
Atas
> > dasar apa aturan itu menjadi sesuatu yang otoritatif buat saya? 
Adakah
> > ia otoritatif karena ia mendatangkan keuntungan "duniawiah" buat 
saya?
> > Apakah setiap hal yang membawa keuntungan duniawi dengan 
sendirinya
> > menjadi sesuatu yang otoritatif buat saya? Kenapa tindakan 
mencuri
> > yang
> > mendatangkan keuntungan duniawi tidak menjadi sesuatu yang
> > "normatif-otoritati f" buat saya? Karena mencuri adalah tindakan 
yang
> > merugikan orang lain, kata anda. Jika demikian, apakah sumber 
ketaatan
> > saya pada aturan lalu-lintas itu adalah sejenis "altruisme", 
yakni
> > rasa
> > belas kasih pada orang lain, rasa khawatir kalau-kalau orang lain
> > menderita kerugian karena tindakan saya menerabas lampu merah?
> >
> > Apakah pandangan ini tak terlalu optimis dalam memandang watak 
dan
> > perangai manusia? Jika manusia begitu altruistik, kenapa mereka
> > "altruis" saat melihat lampur merah dan kemudian menghentikan
> > kendaraan, tetapi sama sekali tak bersikap yang sama dalam hal 
hal-hal
> > lain? Bukankah pemandangan semacam ini sangat akrab pada kita di
> > hampir
> > semua sudut kota Jakarta: seorang pengendara mobil menghentikan
> > kendaraannya saat lampu merah menyala, karena ia, jika alasan
> > altruisme
> > adalah benar adanya, bersikap altruistik. Sementara, saat ia 
berhenti
> > itu, seorang pengemis mengetuk jendela mobilnya, dan ia 
menggerakkan
> > tangan, tanda menolak membeirkan sedekah kepada pengemis itu. 
Kenapa
> > ia
> > "altruistik" dalam kasus lampu merah, sementara tidak bersikap 
yang
> > sama terhadap pengemis itu?
> >
> > Sekali lagi, benarkah altruisme adalah motif ketaatan kita pada 
aturan
> > lalu lintas tersebut? Ataukah ketaatan kita justru didorong oleh
> > sejenis kepentingan pribadi, oleh egoisme, karena kita khawatir 
akan
> > menderita kerugian jika melanggar aturan itu?
> >
> > Betulkah demikian? Apakah "cinta diri" dan egoisme begitu 
menguasai
> > tindakan manusia? Apakah dengan demikian kita tidak menyepelekan
> > kemampuan manusia untuk bertindak tanpa sebuah pamrih apapun, 
sebuah
> > tindakan "murni" yang terlaksana karena sebuah kemurahan hati 
yang
> > tanpa syarat? Saat berhenti karena lampu merah menyala itu,
> > mustahilkan
> > saya, pada momen itu, sedang memeragakan suatu kemurahan hati 
yang
> > tanpa syarat itu?
> >
> > Bagaimana kedudukan aturan itu dalam konteks kebebasan saya? 
Apakah
> > makna kebebasan dalam keadaan seperti itu? Apakah saya menjadi 
bebas,
> > saat saya melanggar lampur merah itu? Ataukah saya justru menjadi
> > bebas
> > karena aturan itu? Apakah sebuah aturan dan hukum menjamin 
kebebasan
> > atau malah memungkinkah terlaksananya sebuah kebebasan? 
Bagaimanakah
> > sebuah kebebasan menjadi terlaksana justru karena adanya 
pembatasan?
> > Bukankah ini kontradiksi?
> >
> > Klakson mobil menguik keras dari arah belakang mobil saya. 
Rupanya
> > lampu hijau sudah menyala. Lalu-lintas terhenti sejenak karena
> > terhalang oleh mobil saya. Seorang pengendara mobil menyalip 
kencang,
> > sambil membunyikan klakson keras-keras. Pengendara itu seperti 
ingin
> > meneriakkan umpatan, "F***k you!"
> >
> > Ulil Abshara Abdalla
> >
> > 
> >
> 
> 
> 

> -- 
> Salam,
> Suwito.
> blog : http://www.suwito. web.id
> ym : suwitopom
>




-- 
Salam,
Suwito.
blog : http://www.suwito. web.id
ym : suwitopom
 













__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke