Sedikit observasi ttg yg sedang kita lalui. mudah2an bermanfaat.
buat rekan2 arsitek di dalam dan luar negeri yg terkena imbas resesi global 
ini, mudah2an 
bisa menemukan jalan keluar yg terbaik. Doa dari saya.

salam,


Setiap pagi di hari-hari ini saya semakin gundah. Gundah, mengetahui modernitas 
yang 
kita tumpangi ternyata adalah perahu yang rapuh dan bocor. Hari-hari ini, dunia 
tiba-tiba 
mencemaskan hati. Sejak Lehman Brothers dinyatakan bangkrut, gara-gara kredit 
perumahan yang macet di Amerika, jutaan orang sudah mulai di-PHK, bisnis global 
sudah 
mulai lesu, indeks saham sudah mulai melorot. Panik. Seorang pialang saham 
lulusan 
Harvard pun memutuskan bunuh diri bulan oktober lalu.

Di dunia investasi saham yang sering rumit dan gerak grafik reksadana di 
monitor 
komputer yang sering kita tidak mengerti, keserakahan terlihat sebagai obor 
olimpiadenya. Dan Amerika adalah pembawa obornya. "In this business, greedy is 
the new 
religion," ungkap seorang pialang saham di Wall Street. Keserakahan korporasi 
di dunia 
ekonomi yang Manuel Castels sebut sebagai fenomena`weightless economy' ini 
mulai 
berimbas ke mana-mana. Minggu ketiga Oktober lalu, hawanya mulai terasa di 
negeri 
kita. Resesi tampaknya mulai mengintip di lubang pintu.

Dan kita paham apa itu resesi. Kita pernah melalui jalan itu. Ekonomi yang 
jalan ditempat. 
Bank yang pelit mengucurkan pinjaman. Proyek-proyek yang dihentikan. Fee 
arsitek yang 
ditunggak. Konsumen yang malas berbelanja. Pabrik-pabrik yang tutup. "Saya kira 
hanya 
efisiensi, ternyata hampir semuanya dirumahkan," isak Rina, gadis pekerja di 
Omnidata di 
Bandung yang terkena PHK minggu kedua oktober. Di minggu kelabu itu, kita pun 
melihat 
saham-saham grup Bakrie, orang terkaya di negeri ini, berjatuhan.

Tiba-tiba saya teringat Rully, adik kelas saya yang lulus saat krisis global di 
tahun 1998. 
Ia yang sangat berbakat dan sempat saya jagokan harus pindah haluan karena 
tidak ada 
pekerjaan untuk arsitek di negeri ini. Ia memutuskan bersekolah lagi di bidang 
ekonomi 
dan akhirnya bekerja di perusahaan susu multinasional. Tiba-tiba pula saya 
teringat 
Harris, sahabat sepermainan saya di kampus dulu. Di tahun yang sama ia pun 
pergi jauh 
dari negeri ini untuk mencari sesuap nasi. Dan ia memutuskan untuk tidak 
kembali lagi. 

***

Setiap siang di hari-hari ini saya semakin Risau. Risau, mengetahui perahu 
modernitas 
yang kita tumpangi ternyata dibajak oleh orang-orang serakah dan takabur. Di 
kota-kota 
kita, keserakahan itu terlihat kasat. Di Bandung, atas nama kemajuan, hutan 
kota akan 
dibabat untuk dijadikan shopping mall. Di Kemang, atas nama ekonomi, aturan 
Koefisien 
Luas Bangunan (KLB) bernilai satu bisa disulap menjadi delapan kalinya. 
Hari-hari ini, 
hidup di negeri sejuta koruptor ini begitu melelahkan. 

Dari sejumlah buku saya mencari paham. Rene Descartes, bapak filosofi Modern, 
menyatakan bahwa manusia adalah pusat dunia. Cogito ergo sum. Karena hanya 
manusia 
yang bisa berpikir. Namun sekelompok manusia menerjemahkannya lebih jauh. Bumi 
dan 
seisinya hanyalah penyempurna eksistensi manusia. Zat yang tidak bisa bicara 
dan berpikir 
hanya hadir untuk dieksploitasi oleh rasionalitas manusia. 

Disini saya sedikit paham, mengapa Istana Group selaku developer dan arsitek 
sewaannya 
dari Jakarta ingin membabat hutan Babakan Siliwangi untuk bangunan komersial. 
Mereka 
menganggap hutan, bumi dan air tidak bisa bicara dan berpikir, sehingga harus 
mengalah 
untuk rasionalitas mereka. Yaitu rasionalitas pertumbuhan kapital mereka yang 
harus 
bergerak eksponensial. Masalah ruang hijau Bandung yang hanya 8 persen dari 
amanat 30 
persen tidak akan pernah masuk dalam rasionalitas mereka.

Ini juga menjelaskan mengapa tidak semua orang Jakarta, Bandung ataupun 
Surabaya , 
yang hidup selalu bergegas, mau memahami arifnya filosofi kultural orang Bali, 
bijaksananya kaum Baduy ataupun welas asihnya warga Kampung Naga dalam 
menempatkan alam raya sebagai mitra manusia yang setara. Dari kearifan 
emosional ini 
lahirlah konsep hutan larangan, danau sakral, gunung suci yang tidak boleh 
dijahili. Di 
mata mereka bumi seisinya bisa kesal, gundah dan marah sehingga harus selalu 
dijaga 
suasana hatinya. Dan upacara-upacara ritual di laut, di hutan atau di bibir 
gunung adalah 
bentuk komunikasi dan cara mengobrolnya. 

Namun di mata manusia kontemporer dan kaum penelikung filosofi Modern, hal-hal 
di 
atas tidaklah masuk akal. Tidak rasional. Karena itulah Roland Barthes, filsuf 
semiotik 
menyebut masyarakat Asia masih didominasi budaya emosional bukan budaya 
rasional, 
seperti halnya yang dominan di Barat. Celakanya yang merusak dunia dengan 
membabat 
hutan, mengurug pantai, menghilangkan ruang sosial dan hijau kota saat ini 
lebih banyak 
dari kelompok yang terakhir atas nama modernisasi.

***

Setiap malam di hari-hari ini saya semakin khawatir. Khawatir, membayangkan 
perahu 
modernitas yang jadi tumpangan ternyata tidak pernah membawa kita sampai ke 
tujuan. 
Hari-hari ini, berpikir tentang masa datang selalu berakhir dengan ciutnya 
hati. 

Berpikir tentang bulan Februari di Jakarta adalah berpikir tentang datangnya 
banjir besar. 
Berpikir tentang macetnya Jakarta adalah berpikir tentang hilangnya 43 trilyun 
peluang 
ekonomi tahunan dan hilangnya senyum tulus di jalanan. Berpikir tentang Bandung 
5 
tahun ke depan adalah berpikir tentang parahnya kemacetan, hilangnya 
ruang-ruang 
hijau tempat keguyuban sosial, habisnya milyaran rupiah pajak untuk subsidi 
Persib yang 
kalah terus atau makin terkurungnya warga Bandung di rumah setiap akhir pekan 
karena 
tergerus arus turis Jakarta.

Hal-hal di atas sering membuat saya merengut, apakah kita sebagai mahluk 
mathesis 
universalis Modern ini baru tergerak akal sehatnya setelah diberi amarah alam 
dan murka 
Tuhan. Kita baru bergerak membuat sistem kanal banjir, setelah banjir besar 
menenggelamkan dan mempermalukan Jakarta. Kita baru bergerak mengencangkan 
aturan 
perbankan setelah krisis moneter dan BLBI menguap. Kita baru bergerak untuk 
going 
green ala arsitek William McDonough setelah hawa kota terasa makin panas, 
listrik PLN 
sering mati mendadak atau setelah Al Gore bertutur getir di film The 
Inconvenient Truth.

Kadang terpikir, di hidup yang hanya sekelebat ini, menarik juga melamunkan 
hidup 
sebagai warga pedalaman Kampung Baduy atau Kampung Naga yang sederhana. Lahir 
sederhana, berpikir dan bertindak sederhana serta mati pun sederhana pula. 
Tidak ada 
keserakahan. 

Setidaknya kita bisa belajar dari kearifan mereka tentang luhurnya definisi 
kata `cukup'. 
Tentang pentingnya menghargai alam sebagai teman berdialog. Tentang perlunya 
memahami filosofi berbasis kearifan emosional. Tak apalah Roland Barthes bilang 
kita 
kaum emosional. Daripada jadi kaum rasional penghancur dunia ala segelintir 
oportunis 
Wall Street atau segerombolan developer serakah yang kaya raya namun merusak 
dunia. 

Mungkin sudah saatnya konsep manusia sebagai pusat dunia yang angkuh bergeser 
menjadi manusia sebagai rahmat dunia yang arif. Menjadi elemen `Rahmatan Lil 
Allamin'.




--- On Tue, 11/11/08, marwahyamin <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: marwahyamin <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [GM2020] Sri Mulyani Menghadapi Gejolak Ekonomi Dunia
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 11, 2008, 10:03 PM






Ekonomi dunia akhir-akhir ini menjadi topik yang paling hangat 
dibicarakan. Apalagi dengan adanya kejadian ini, banyak ekonom-ekonom 
yang bermunculan dan merasa analisa yang dikeluarkan lebih baik dari 
yang lain, saling menyalahkan baik itu antara ekonom satu dengan yang 
lain maupun antara ekonom dengan pemerintah.

Hampir seluruh analist, ekonom berlomba-lomba menyalahkan pemerintah, 
ada yang bilang pemerintah kurang tegas, plin plan, kebijakan yang 
diambil tidak mementingkan rakyat, dll. Tetapi,lama- kelamaan tudingan-
tudingan miring itu berkurang bahkan menghilang dengan sendirinya. 
Kenapa ini bisa terjadi?

Pada wawancara yang ditayangkan di Metro TV antara menteri 
keuangan,Sri Mulyani dan Desi Anwar membahas tentang masalah-masalah 
yang dihadapi oleh pemerintah khususnya untuk masalah moneter dan 
kebijakan-kebijakan apa saja yang diambil oleh pemerintah untuk 
menanggulangi masalah tersebut.

1. Tarik-ulur harga BBM di Indonesia
Ada 2 indikator yang dilihat oleh pemerintah dalam menentukan harga 
jual BBM di Indonesia (minyak tanah, premium) adalah: harga BBM 
internasional dan subsidi pemerintah.
• Kenapa harga BBM Indonesia harus tergantung pada harga BBM 
Internasional? Karena permintaan (konsumsi) BBM di Indonesia jauh 
lebih tinggi dari penawaran (produksi) BBM yang ada di pasar 
Indonesia. Oleh karena itu, untuk menutup kekurangan produksi, maka 
pemerintah harus membeli BBM dari pasar internasional. Oleh karena 
itu, jika harga minyak dunia naik, maka harga BBM di Indonesia juga 
mengalami kenaikan.
• Subsidi pemerintah juga menjadi faktor penentu dalam penentuan 
harga jual BBM karena jika subsidi pemerintah dicabut sebesar X%, 
maka dapat dipastikan bahwa harga jual BBM di Indonesia akan bergerak 
naik sebesar X% juga. 

2. Suspensi saham Bumi yang dilakukan oleh Bakrie & Brothers
Banyak para ekonom, analyst merasa heran kenapa Bakrie & Brothers 
berani melakukan suspensi terhadap saham-sahamnya terutama untuk 
saham Bumi. Padahal banyak broker, pemegang saham, emiten, calon 
investor yang masih menginginkan saham ini. Para ekonom berpendapat 
bahwa dengan adanya suspensi ini, kepercayaan pasar terhadap 
pemerintah menjadi turun. Tapi, Sri Mulyani punya jawaban lain. Dari 
wawancara tersebut diungkapkan bahwa untuk mengurangi kerugian yang 
lebih besar lagi, Bapepam, BI, dan pemerintah harus mengkoreksi ulang 
harga jual dari saham Bumi agar para broker, calon investor, emiten, 
dan para pemegang saham minoritas tidak mendapat kerugian yang lebih 
besar lagi.

3. Rupiah melemah
Untuk perbandingan penurunan nilai tukar mata uang terhadap dolar 
dapat dilihat di Negara Korea Selatan dan India. Untuk Negara-negara 
yang berkembang dan maju saja, penurunan nilai tukar mata uangnya 
sampai dengan 40% untuk Korea Selatan dan 30% untuk India.Dan 
penurunan nilai rupiah hampir sama dengan Filipina dan Thailand. Hal 
ini jangan dianggap terlalu serius. Bisa saja, rupiah sedang mencari 
titik keseimbangan (E) antara permintaan dan penawaran yang ada di 
pasar. 

Dari kebijakan-kebijakan di atas dapat kita simpulkan sendiri, apakah 
kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah benar? Dari penglihatan 
saya di lapangan (berita-berita) dan sharing dengan teman-teman yang 
lain, kebanyakan dari mereka resisten terhadap kebijakan-kebijakan 
tersebut. Tapi bagaimana tanggapan dunia internasional terhadap 
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Dunia internasional memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap 
kinerja pemerintah Indonesia khususnya Sri Mulyani dalam menghadapi 
situasi ekonomi saat ini, hal ini dapat dilihat dengan diberikan 
predikat kepada Sri Mulyani sebagai: 
1."Menteri Keuangan Terbaik di Asia" versi Euro Money.
2."Perempuan terkuat ke-23 di dunia", di atas Hillary Clinton, 
Senator Partai Demokrat.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat, bahwa untuk mengambil suatu 
keputusan tidaklah mudah, banyak resistensi yang pasti akan terjadi. 
Tetapi jika setiap kita yakin bahwa keputusan yang diambil akan bisa 
dirasakan oleh orang banyak untuk jangka waktu yang telah ditentukan, 
kita harus yakin bahwa hal ini akan berhasil.

Dengan keberhasilan ini, Apakah Sri Mulyani Akan Menjadi Calon 
Presiden 2009???

 














      

Kirim email ke