Bung Basri dan teman2 ysh.. Bagi saya tulisan ini sangat menarik dan mencerahkan namun ada sedikit pemikiran banding yang ingin saya sampaikan menyangkut istilah hak paten. Dalam uu no 14 thn 2001 disebutkan bahwa yang bisa dipatenkan itu adalah hasil teknologi baik itu berupa barang atau proses yang bersifat baru atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Undang2 yang senada juga berlaku di hampir semua negara, bahkan dituangkan dalam perjanjian dibawah WTO yang juga diikuti oleh anggotanya. Dari sini jelas bahwa produk budaya seperti tari2an, artefak, peninggalan bersejarah dan sejenisnya tidak masuk dalam kategori ini. Argumen lain yang bisa disampaikan mengenai gugurnya hak paten terhadap budaya adalah materinya yang sudah ada jauh sebelum adanya negara dan batas2 teritorialnya. Demikian sekedar sumbang saran, semoga bisa didiskusikan lebih lanjut..
Salam, Iqbal Makmur Sent from my iPhone On Sep 8, 2009, at 3:08 PM, "basriamin" <basria...@yahoo.com> wrote: Patenkan Budaya dan Bahaya Laten Identitas Basri Amin Penulis Lepas, Warga Hepuhulawa Limboto Tampaknya Dinas Dikpora Gorontalo sedang sibuk-sibuknya menginventarisir produk-produk budaya Gorontalo untuk kemudian dipatenkan oleh Dephum-HAM. Ini dilakukan untuk memberi "legitimasi/kekuatan hukum...menghindari kasus pembajakan/klaim budaya oleh daerah lain maupun negara luar..." (GP, 7/9). Upaya ini pantas kita apresiasi. Ini adalah sebuah langkah positif, meskipun masih terkesan reaktif dan membenarkan kuatnya "sikap khawatir" kita dalam urusan budaya bangsa sendiri. Dalam jangka pendek, legitimasi hukum dan administrasi memang bisa memberi jawaban dan perlindungan (?). Tapi, dalam jangka panjang, yang lebih mendasar kita kerjakan adalah sebuah "strategi kebudayaan" yang lebih utuh, yang tidak lagi reaktif dan was-was, melainkan dalam bentuk strategi yang lebih menyentuh jati diri (identitas) kita yang sesungguhnya. Bagaimanapun, zaman sedang berubah dan generasi baru selalu lahir. Sudah tentu Pihak Dikpora dan banyak kalangan di Gorontalo sangat paham akan pentingnya dan kompleksnya urusan kebudayaan, sejak lapisan luarnya yang "kasar" (benda-benda, ritual-ritual, kesenian, tulisan-tulisan, dst) sampai ke dimensi yang lebih "halus" (bahasa, falsafah, sejarah, pengetahuan, nilai budaya, dan adat istiadat, dst). Dan hal-hal inilah semua yang menentukan wajah dan martabat sebuah bangsa. Setiap bangsa besar selalu topangannya adalah cita-cita besar, sejarah, keteladanan, pengetahuan dan budaya. Budaya menjadi dinamis karena ia berkembang seiring dengan kehidupan manusia. Ia terpaut dengan alam sekitarnya. Ia menjawab berbagai tantangan. Ia melahirkan identitas, mentalitas dan etos, hasil-hasil fisik dan non-fisik. Dalam perjalanannya, setiap budaya bangsa-bangsa mengalami pasang surut. Karena itu, budaya tidak bisa terlepas setidaknya dari tiga elemen kunci: penciptaan, pewarisan dan pengembangan. Setiap bentuk budaya manusia tak bisa menghindar dari aktor manusia penciptanya, serta perjumpaan-perjumpaannya dengan tradisi dan penciptaan lain yang bisa jadi berasal dari tempat-tempat berbeda. Ia juga tak bisa menghindar dari daya dukung lanskap alam dan struktur masyarakat yang melahirkannya. Tak heran kalau kita menjumpai banyak jenis ritual; banyak varian kesenian rakyat, banyak pula kesenian untuk ritual penguasa. Gorontalo tentu tidak ingin memelihara "mentalitas bangsa terlambat", dan membangun etos budayanya dengan tabiat lama yang reaktif dan paternalistik. Budaya tak akan bisa maju kalau dikerjakan dengan cara-cara instruksi, melainkan dengan edukasi. Jika kita hanya bermodalkan mentalitas ini, maka yang selalu kita saksikan adalah kebiasaan marah kepada pihak lain, bangsa atau negeri-negeri lain ketika mereka "memanfaatkan" harta budaya kita. Kini, ketika arus orang, gagasan, komunikasi, distribusi benda-benda dan gaya hidup demikian berjalan cepat, identitas lokal Gorontalo serta semua cita-cita dan ciptaan yang dimiliki masyarakatnya, baik yang pernah ada, yang sedang dikerjakan dan yang akan muncul, demikian mudah bisa diakses oleh siapa saja. Situasi ini membawa dilema dan tantangan besar: antara rasa memiliki di satu sisi, dan sikap kita dalam mengembangkan dan "membuka diri" di sisi lain. Budaya dalam kulit luarnya demikian terbuka untuk dipelajari, ditiru, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan dikomersilkan (hukum pasar berlaku). Yang kita klaim sebagai milik kita, sebut saja bahasa, tari-tarian, olah raga tradisional, bentuk-bentuk arsitektur, makanan etnis, jenis pakaian, seni pentas, dan kerajinan tradisional misalnya, semuanya itu demikian mudah dipelajari oleh siapa saja. Lalu, di manakah batas-batas fungsional dari sebuah "hak paten?". Memang, yang paling realistis bisa dicapai adalah "pengakuan" dan "pembenaran" bahwa itu warisan kita. Tapi, "KITA" itu sendiri siapa?. Ini tentu saja sangat penting, tapi sekaligus menyuguhkan sebuah pembatasan. Pembenaran dan pengakuan barulah kulit luar dari rencana-rencana kebudayaan. Karena, ruh budaya dan jati diri (baca: identitas) adalah lapisan terdalam yang butuh kita hayati, pelajari dan kerjakan terus menerus, dari generasi ke generasi. Dan dalam konteks inilah ada beberapa bahaya laten yang harus dicermati sejak awal: krisis pewarisan daya cipta dan keteladanan. Selain itu lingkungan pendukung (teknis) kebudayaan nyaris tak pernah kita agendakan sungguh-sungguh sebagai prioritas (perpustakaan, museum, taman budaya, galeri-galeri, sanggar-sanggar, penerbitan-penerbitan, dst). Kita lebih bersemangat memproduksi ritual-ritual di mana budaya menjadi "pemanis" dan "asesori" buatan, dan belum pada dimensi-dimensi jiwa, etos, moralitas dan intelektualitas-nya. Kekayaan negeri kita masih memiskinkan jiwa bebas-mencipta, keteladanan, kejujuran dan dedikasi kerja. Semoga proses inventarisasi budaya Gorontalo berjalan sukses, dan pada saatnya nanti bisa memperoleh "hak paten". Harapan kita, bermula dari langkah yang baik ini, kiranya usaha-usaha lebih lanjut yang lebih mendasar bisa terus dikerjakan. Pengetahuan-pengetahuan perbandingan dengan budaya lain dan pendalaman-pendalaman atas kebudayaan Gorontalo tak bisa diabaikan karena dengan begitu kita bisa memastikan batas-batas ke-asli-an budaya Gorontalo kita. Sebuah "strategi kebudayaan Gorontalo" menanti di depan mata, ketika kita tepat berada di penghujung dasawarsa pertama abad ke-21. Semoga! ========================================= { font-family: Verdana; font-size: 10px; font-weight: normal; } #ygrp-msg p a { font-family: Verdana; } #ygrp-mlmsg a { color: #1E66AE; } div.attach-table div div a { text-decoration: none; } div.attach-table { width: 400px; } -->