Benar Bang, saya kira persoalan klaim-klaim oleh Malaysia terhadap
kebudayaan kita telah melahirkan kekhawatiran baru terhadap
kepemilikan dan sebagainya.

Ada dua hal berkaitan dengan itu, pertama, dengan adanya problem ini,
bangkit pula nasionalisme baru kita, cinta tanah air dan semacamnya.
Di diponegoro Jakarta ada spanduk Ganyang Malaysia, di UGM malah
mahasiswa lokal minta Rektorat mengusir mahasiswa asal Malaysia
sejumlah 80 an orang. Fenomena ini menarik di tengah gersangnya
persoalan identitas kebangsaan Indonesia. Artinya, nasionalisme kini
baru bisa bangkit jika ada "serangan" dari "luar" terhadap "kita".
Memori kolektif tentang "kita" akan tumbuh subur jika ada "yang lain".

Kedua, karena itu pula, maka gagasan definitif tentang Indonesia kini
semakin keruh. Karena kebangkitan bukan lagi lahir dari kesadaran
individu akan pentingnya sebuah bangsa, tetapi karena the others.
Karena itu pula sudah semestinya kita mesti segera memeriksa urat nadi
identitas kita hari ini. Jangan-jangan tak ada lagi yang dinamakan
Indonesia. Parahnya, ethnonasionalism semakin mengakar dan mendapat
ruang yang dilegalisasi oleh otonom daerah.

Kita kini menjalani kehidupan sebagai warga bangsa Indonesia tak lebih
hanya berada di level administratif. Hanya urusan administratif lah
yang mengikat kita dalam sebuah kesatuan dan nation. Termasuk
bagaimana pula kita memelihara kebudayaan, semua kini berakhir tragis
di bawah catatan kaki administrasi belaka.




Pada 8 September 2009 19:12, basriamin<basria...@yahoo.com> menulis:
>
>
> Teman2,
>
> Persis dgn apa yg tengah kita diskusikan, soal "hak paten" utk urusan budaya
> menjadi sangat krusial. Bahkan kata "paten" itu sendiri menjadi persoalan,
> baik sebagai rujukan hukum maupun cakupannya.
>
> Saya membaca GP online (7-Sep-09), dan kata paten itu muncul dari pihak
> Dikpora provinsi. Dari sanalah saya merasa perlu utk memberi pandangan.
> Mengapa? karena ada "bahaya laten" yg harus kita cermati dari sekarang.
> Pencermatan oleh Bung Iqbal, Bung Del dan rekan Funco sdh lebih menjernihkan
> lagi utk langkah2 berikutnya.
>
> Kita harus mengelola kegelisahan kultural seperti ini, karena dengan begitu
> kita berarti tengah bergerak ke depan.
>
> Silahkan dilanjutkan, demi Gorontalo kita...
>
> Wass,
>
> Basri
>
> --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, Funco Tanipu <funcotan...@...>
> wrote:
>>
>> Saya kira persoalan paten-mematenkan adalah persoalan krusial. Jangan
>> sampai usaha mematenkan segala sesuatu bukan karena bagian dari siasat
>> kebudayaan. Tetapi, lebih karena pasar mendikte kita untuk senantiasa
>> melakukan legalisasi "hak milik". Problem tentang HAKI pernah menjadi
>> perdebatan serius, karena HAKI pada intinya adalah siasat untuk
>> melakukan indiviualisasi pengetahuan.
>>
>> Untuk produk kebudayaan seperti kesenian, ritual bahkan pegelaran
>> sekalipun saya kira tidak mesti gegabah dan bahkan paranoid
>> memandangnya. Karena kemudian klaim Malaysia atas beberapa aset
>> kebudayaan lalu serta merta kita menjadi gagap dalam memperlakukan
>> kebudayaan kita, misalnya dengan buru-buru mendaftarkan HAKI dan
>> segala model hukumnya.
>>
>> Siasat kebudayaan yang baik adalah bagaimana meletakkan kebudayaan
>> beserta segala perangkatnya dalam sebuah "dinamika" yang hidup, dalam
>> "ruang" yang senantiasa bisa diakses secara penuh oleh publik, tanpa
>> ada hirarki sosial disitu.
>>
>> Pada intinya kan hanya untuk menjaga dan kemudian mewariskan
>> kebudayaan tersebut, lalu kemudian dijadikan inspirasi peradaban dalam
>> bentuk yang lebih transformatif. Maka, pola "berkebudayaan" yang
>> diperagakan oleh elit-elit di Lembaga Adat dan perangkatnya bagi saya
>> mesti diformat kembali.
>>
>> Jangan sampai, urusan "memelihara" kebudayaan hanya berakhir pada
>> paten-mematenkan itu. Negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi telah
>> berusaha dengan baik untuk itu, namun usaha-usaha yang lebih kreatif
>> dan inovatif semestinya juga dimaksimalkan.
>>
>>
>> Thanks..
>>
>>
>> Salemba Tengah 29, Jakarta Pusat
>>
>>
>> Funco Tanipu
>>
>> _...@...> menulis:
>> >
>> >
>> > setuju bangat bung Iqbal...uu 14 tahun 2001 mengatur tentang hak paten,
>> > terutama berupa hasil rekayasa teknologi tapi bukan copy paste, atau
>> > penemuan baru dll....munkinĀ  tenunan krawang boleh, tapi kalo g salah
>> > ada
>> > juga yg mirip2 karawang di jawa sini....musik bambu itu sdh jelas...dulu
>> > musik ini paling top di suwawa pencetusnya sdh almarhum (guru Kebu),
>> > ...kalo
>> > tari pendet bs dipatenkan, kalo digorontalo munkin tari motidi? Kalo
>> > bela
>> > diri langga ada kemiripan dgn kuntau....jadi ada campuran dr
>> > luar........tumbilo tohe....sopasti... cuman kalo dicantolin ke uu 14
>> > kayaknya ga nyambung.....
>> > ok slmat menjalankan ibadah puasa....eh ada nasi goreng enak disinjuku
>> > di
>> > restoran indonesia, tapi lumayan mahale.....dulu wkt puasa disana beli
>> > ikan
>> > sandiri dan bakar sandiri soalnya dadata boy teto ma'o
>> > salam DI
>> >
>> > ________________________________
>> > From: Iqbal <kaizen...@...>
>> > To: "gorontalomaju2020@yahoogroups.com"
>> > <gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
>> > Sent: Tuesday, September 8, 2009 2:05:06 PM
>> > Subject: Re: [GM2020] Catatan: Jalan panjang budaya Gorontalo
>> >
>> >
>> >
>> > Bung Basri dan teman2 ysh..
>> > Bagi saya tulisan ini sangat menarik dan mencerahkan namun ada sedikit
>> > pemikiran banding yang ingin saya sampaikan menyangkut istilah hak
>> > paten.
>> > Dalam uu no 14 thn 2001 disebutkan bahwa yang bisa dipatenkan itu adalah
>> > hasil teknologi baik itu berupa barang atau proses yang bersifat baru
>> > atau
>> > penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Undang2 yang senada
>> > juga
>> > berlaku di hampir semua negara, bahkan dituangkan dalam perjanjian
>> > dibawah
>> > WTO yang juga diikuti oleh anggotanya. Dari sini jelas bahwa produk
>> > budaya
>> > seperti tari2an, artefak, peninggalan bersejarah dan sejenisnya tidak
>> > masuk
>> > dalam kategori ini.
>> > Argumen lain yang bisa disampaikan mengenai gugurnya hak paten terhadap
>> > budaya adalah materinya yang sudah ada jauh sebelum adanya negara dan
>> > batas2
>> > teritorialnya.
>> > Demikian sekedar sumbang saran, semoga bisa didiskusikan lebih lanjut..
>> > Salam,
>> > Iqbal Makmur
>> >
>> > Sent from my iPhone
>> > On Sep 8, 2009, at 3:08 PM, "basriamin" <basria...@yahoo. com> wrote:
>> >
>> >
>> >
>> > Patenkan Budaya dan Bahaya Laten Identitas
>> >
>> > Basri Amin
>> > Penulis Lepas, Warga Hepuhulawa Limboto
>> >
>> > Tampaknya Dinas Dikpora Gorontalo sedang sibuk-sibuknya menginventarisir
>> > produk-produk budaya Gorontalo untuk kemudian dipatenkan oleh
>> > Dephum-HAM.
>> > Ini dilakukan untuk memberi "legitimasi/ kekuatan hukum...menghindari
>> > kasus
>> > pembajakan/klaim budaya oleh daerah lain maupun negara luar..." (GP,
>> > 7/9).
>> > Upaya ini pantas kita apresiasi. Ini adalah sebuah langkah positif,
>> > meskipun
>> > masih terkesan reaktif dan membenarkan kuatnya "sikap khawatir" kita
>> > dalam
>> > urusan budaya bangsa sendiri. Dalam jangka pendek, legitimasi hukum dan
>> > administrasi memang bisa memberi jawaban dan perlindungan (?). Tapi,
>> > dalam
>> > jangka panjang, yang lebih mendasar kita kerjakan adalah sebuah
>> > "strategi
>> > kebudayaan" yang lebih utuh, yang tidak lagi reaktif dan was-was,
>> > melainkan
>> > dalam bentuk strategi yang lebih menyentuh jati diri (identitas) kita
>> > yang
>> > sesungguhnya. Bagaimanapun, zaman sedang berubah dan generasi baru
>> > selalu
>> > lahir.
>> >
>> > Sudah tentu Pihak Dikpora dan banyak kalangan di Gorontalo sangat paham
>> > akan
>> > pentingnya dan kompleksnya urusan kebudayaan, sejak lapisan luarnya yang
>> > "kasar" (benda-benda, ritual-ritual, kesenian, tulisan-tulisan, dst)
>> > sampai
>> > ke dimensi yang lebih "halus" (bahasa, falsafah, sejarah, pengetahuan,
>> > nilai
>> > budaya, dan adat istiadat, dst). Dan hal-hal inilah semua yang
>> > menentukan
>> > wajah dan martabat sebuah bangsa. Setiap bangsa besar selalu topangannya
>> > adalah cita-cita besar, sejarah, keteladanan, pengetahuan dan budaya.
>> >
>> > Budaya menjadi dinamis karena ia berkembang seiring dengan kehidupan
>> > manusia. Ia terpaut dengan alam sekitarnya. Ia menjawab berbagai
>> > tantangan.
>> > Ia melahirkan identitas, mentalitas dan etos, hasil-hasil fisik dan
>> > non-fisik. Dalam perjalanannya, setiap budaya bangsa-bangsa mengalami
>> > pasang
>> > surut. Karena itu, budaya tidak bisa terlepas setidaknya dari tiga
>> > elemen
>> > kunci: penciptaan, pewarisan dan pengembangan. Setiap bentuk budaya
>> > manusia
>> > tak bisa menghindar dari aktor manusia penciptanya, serta
>> > perjumpaan-perjumpa annya dengan tradisi dan penciptaan lain yang bisa
>> > jadi
>> > berasal dari tempat-tempat berbeda. Ia juga tak bisa menghindar dari
>> > daya
>> > dukung lanskap alam dan struktur masyarakat yang melahirkannya. Tak
>> > heran
>> > kalau kita menjumpai banyak jenis ritual; banyak varian kesenian rakyat,
>> > banyak pula kesenian untuk ritual penguasa.
>> >
>> > Gorontalo tentu tidak ingin memelihara "mentalitas bangsa terlambat",
>> > dan
>> > membangun etos budayanya dengan tabiat lama yang reaktif dan
>> > paternalistik.
>> > Budaya tak akan bisa maju kalau dikerjakan dengan cara-cara instruksi,
>> > melainkan dengan edukasi. Jika kita hanya bermodalkan mentalitas ini,
>> > maka
>> > yang selalu kita saksikan adalah kebiasaan marah kepada pihak lain,
>> > bangsa
>> > atau negeri-negeri lain ketika mereka "memanfaatkan" harta budaya kita.
>> >
>> > Kini, ketika arus orang, gagasan, komunikasi, distribusi benda-benda dan
>> > gaya hidup demikian berjalan cepat, identitas lokal Gorontalo serta
>> > semua
>> > cita-cita dan ciptaan yang dimiliki masyarakatnya, baik yang pernah ada,
>> > yang sedang dikerjakan dan yang akan muncul, demikian mudah bisa diakses
>> > oleh siapa saja. Situasi ini membawa dilema dan tantangan besar: antara
>> > rasa
>> > memiliki di satu sisi, dan sikap kita dalam mengembangkan dan "membuka
>> > diri"
>> > di sisi lain.
>> >
>> > Budaya dalam kulit luarnya demikian terbuka untuk dipelajari, ditiru,
>> > dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan dikomersilkan (hukum pasar
>> > berlaku).
>> > Yang kita klaim sebagai milik kita, sebut saja bahasa, tari-tarian, olah
>> > raga tradisional, bentuk-bentuk arsitektur, makanan etnis, jenis
>> > pakaian,
>> > seni pentas, dan kerajinan tradisional misalnya, semuanya itu demikian
>> > mudah
>> > dipelajari oleh siapa saja. Lalu, di manakah batas-batas fungsional dari
>> > sebuah "hak paten?". Memang, yang paling realistis bisa dicapai adalah
>> > "pengakuan" dan "pembenaran" bahwa itu warisan kita. Tapi, "KITA" itu
>> > sendiri siapa?. Ini tentu saja sangat penting, tapi sekaligus
>> > menyuguhkan
>> > sebuah pembatasan. Pembenaran dan pengakuan barulah kulit luar dari
>> > rencana-rencana kebudayaan. Karena, ruh budaya dan jati diri (baca:
>> > identitas) adalah lapisan terdalam yang butuh kita hayati, pelajari dan
>> > kerjakan terus menerus, dari generasi ke generasi. Dan dalam konteks
>> > inilah
>> > ada beberapa bahaya laten yang harus dicermati sejak awal: krisis
>> > pewarisan
>> > daya cipta dan keteladanan. Selain itu lingkungan pendukung (teknis)
>> > kebudayaan nyaris tak pernah kita agendakan sungguh-sungguh sebagai
>> > prioritas (perpustakaan, museum, taman budaya, galeri-galeri,
>> > sanggar-sanggar, penerbitan-penerbit an, dst). Kita lebih bersemangat
>> > memproduksi ritual-ritual di mana budaya menjadi "pemanis" dan "asesori"
>> > buatan, dan belum pada dimensi-dimensi jiwa, etos, moralitas dan
>> > intelektualitas- nya. Kekayaan negeri kita masih memiskinkan jiwa
>> > bebas-mencipta, keteladanan, kejujuran dan dedikasi kerja.
>> >
>> > Semoga proses inventarisasi budaya Gorontalo berjalan sukses, dan pada
>> > saatnya nanti bisa memperoleh "hak paten". Harapan kita, bermula dari
>> > langkah yang baik ini, kiranya usaha-usaha lebih lanjut yang lebih
>> > mendasar
>> > bisa terus dikerjakan. Pengetahuan- pengetahuan perbandingan dengan
>> > budaya
>> > lain dan pendalaman-pendalam an atas kebudayaan Gorontalo tak bisa
>> > diabaikan
>> > karena dengan begitu kita bisa memastikan batas-batas ke-asli-an budaya
>> > Gorontalo kita. Sebuah "strategi kebudayaan Gorontalo" menanti di depan
>> > mata, ketika kita tepat berada di penghujung dasawarsa pertama abad
>> > ke-21.
>> > Semoga!
>> > ============ ========= ========= ========= ==
>> >
>> > { font-family: Verdana; font-size: 10px; font-weight: normal; }
>> > #ygrp-msg p
>> > a { font-family: Verdana; } #ygrp-mlmsg a { color: #1E66AE; }
>> > div.attach-table div div a { text-decoration: none; } div.attach-table {
>> > width: 400px; } -->
>> >
>> >
>>
>
> 

Kirim email ke