Menurut saya belum tentu :) Pak MY, apa alasan yang membuat anda begitu yakin? Iqbal
--- On Tue, 3/23/10, m...@teoritik.fisika.net <m...@teoritik.fisika.net> wrote: From: m...@teoritik.fisika.net <m...@teoritik.fisika.net> Subject: Re:Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Cc: sar...@ung.ac.id, ted...@ung.ac.id Date: Tuesday, March 23, 2010, 5:18 AM Pak Aqub, saya optimis bahwa rektor UNG adalah Dr. H. Syamsu Qamar Badu, M.Pd. NIP 19600603 198603 1 003 Secara jujur saya dukung Dr SQB, karena saya optimis beliau akan bisa memperjuangkan jaminan mutu akademik UNG dan jurnal akreditasi di UNG dengan caranya jurnal dan IT di satukan. bila beliau telah di lantik jadi rektor kita akan saksikan kemanjuan2 yang akan di capai dengan kabinet2nya membangun UNG dan melanjutkan cita2 Para Pendahulu terutama Prof Nani, Prof Nelson, karena jasa2 merekalah ung menjadi pt yang sampai saat ini sudah sampai tingkat prostgraduate. ... --- akub...@yahoo. co.id wrote: From: akub zainal <akub...@yahoo. co.id> To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Subject: Re:Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium Date: Tue, 23 Mar 2010 17:27:08 +0800 (SGT) Perdebatan panjang sering mewarnai konsep pemikiran Jati Diri sebuah Universitas sebagai Lembaga yang konsen terhadap profesi akademik………..Falsafah dasar lahirnya sebuah PT, bisa kita lihat dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional dan dalam PP No.60 thn 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dimana dapat disimpulkan bahwa PT (Universitas) merupakan sebuah Lembaga Akademik yang diharapkan menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan yg lebih tinggi (Tri Dharma PT). Saya sependapat dengan pemikiran dari Pa’ Sam Q.Badu (Kandidat Rektor)....Tugas Rektor adalah mensuport para ilmuan kampus menjadi terkenal dan kompetitif. Tugas ini adalah tugas pengabdian yang memerlukan komitmen dan konsistensi yang sangat tinggi. Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, jabatan rektor bukanlah dikatagorikan sebagai pejabat politik maupun pejabat Negara atau Birokrat pemerintah, meskipun jabatan Rektor itu sendiri dipilih oleh senat universitas. Kedepan utk UNG kita berharap dgn kepemimpinan Rektor baru nanti atau sekiranya Pa’ Sam Q.Baru diberikan kesempatan utk memimpin Lembaga ini…...semoga dapat memberikan perubahan kearah yang lebih baik pd kampus kita UNG. Amien Bolo Maapu…… Akub_zsb --- Pada Sel, 23/3/10, sqb...@yahoo. co.id <sqb...@yahoo. co.id> menulis: Dari: sqb...@yahoo. co.id <sqb...@yahoo. co.id> Judul: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium Kepada: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Tanggal: Selasa, 23 Maret, 2010, 10:54 PM Sangat menarik uraian yang dikemukakn bung Punco, dan kalau kita mau jujur, mmang dmikian kndisinya. Umar Khayam mengatakan, "universitas kita dikelola seperti jawatan pemerinth". Artinya, kehidupan universitas penuh dengan aroma birokrasi dan itulah salah satu "penyakit" universitas kita yang sudah akut. Salah satu dampk dari penyakit itu, "rutinitas", seperti kata Taufik Abdullah. Dalam kondisi "rutinitas" itu, kita jangan berharap tumbuh "diskusi ilmiah dan terobosan pemikiran dll. Kembali ke "jati diri" universitas! !! Itulh mungkin yang hrs segera dilakukan. Univ beda dengan jawatan pemerintah atau institusi politik yang tujuan utamanya "kekuasaan". Universitas adlh "organisasi belajar" dan bukan menjadi "organisasi para pelajar". Univrstas adlh "almamatr", ibu yang melahirkan, membesarkan dan mengabadikan pengetahuan. Kembali ke jati diri berarti menjadikan "produk ilmiah" sebagai "simbol univ". Suara univ ke masyarakat disuarakan oleh para ilmuan yang bekerja di lab dan pusat studi. Yang lebih dikenal masyarakt adlh para ilmuan dengan hasil penelitian dan kajian2nya. Karena itu, univ adlh "istana" para ilmuan, para inovator dan pengembang IPTEK. Kondisi saat ini sungguh sangat beda. Rektor dijadikan "simbol univ" yang powerfull, suara Rektor adlh suaru univ. Jangan heran, posisi Rektor menjadi rebutan, diidam2kan dan akan diraih dengan cara apapun. Kita harus "mengecilkan" posisi Rektor. Rektor jangan sampai "tergoda" untuk menjadi "bintang", menjadi figur yang terkenal dan dikenal, jika mau kembali ke jati diri. Tugas Rektor adalh mensuport para ilmuan kampus menjadi terkenal dan kompetitif. Tugas ini adlh tugas pengabdian yang memerlukn komitmen dan konsistensi yang sangat tinggi. Sekian dulu, nanti disambung di lain waktu, tks SQB Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: "Funco Tanipu" <funcotanipu@ gmail.com> Date: Tue, 23 Mar 2010 01:35:44 To: Gorontalo Maju<gorontalomaju2020@ yahoogroups. com> Subject: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium Konteks kelahiran Universitas di dunia ini dikarenakan adanya harapan magistrium ex scholarium, yakni adanya tempat berdebatnya para ilmuan demi menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan. Universitas dengan spirit tersebut diharapkan menjadi tempat pengajaran, penelitian, diskusi, perdebatan, serta memproduksi pengetahuan. Namun, Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, telah berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Sehingga tradisi intelektual -pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan demi melanggengkan posisi dan kedudukan. Problem terbesar adalah di tingkat Universitas itu sendiri. Universitas sebagai motor utama peradaban, telah bergeser fungsinya menjadi arena pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau sudah dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa. Universitas yang semestinya menjadi tempat memproduksi pengetahuan semakin lepas dari konteks kelahirannya. Kebutuhan terhadap lahirnya pengetahuan baru bahkan mengalami kemandekan serius. Ini disebabkan karena Universitas mengalami krisis; Pertama, mahasiswa yang diharapkan mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak dosen yang dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan masalah secara monolog. Ini diperparah oleh kaum intelektual atau cendekiawan yang seharusnya “berumah di atas angin” sekarang memilih “berumah di gedung beton”. Mereka sulit memosisikan diri untuk menjaga keseimbangan sebagai intelektual. Professor, doktor, dan gelar akademik lainnya sekarang ini hanya sebatas status sosial seperti gelar sosial dengan karya akademik yang minimal. Kecenderungan ini adalah akibat dari komodifikasi dalam pendidikan tinggi. Belakangan pula, tampak semakin marak fenomena intelektual hazart menggeliat di Universitas. Di Universitas, yang terbangun adalah pengejaran untuk dekat dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan seiring disorientasi para ilmuan. Heru Nugroho, sosiolog UGM Yogyakarta, memberikan perspektif yang solutif untuk hal ini : Pertama, pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan penelitian-peneliti an demi penemuan teori-teori baru. Jadi, Universitas selain menjadi pabrik pengetahuan juga menjadi ruang produksi intelektual organik sebagai mana yang diharapkan oleh Antonio Gramci, yakni menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan ke arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari kedudukan. *ditulis dalam rangka sirkulasi kepemimpinan di Universitas Negeri Gorontalo. Terima Kasih Funco Tanipu ------------ --------- --------- ------ Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links ------------ --------- --------- ------ Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links Coba Yahoo! Mail baru yang LEBIH CEPAT. Rasakan bedanya sekarang! referensi fisika utama - http://www.fisika. net