Perdebatan panjang sering
mewarnai konsep pemikiran Jati Diri sebuah Universitas sebagai Lembaga yang
konsen terhadap profesi akademik………..Falsafah dasar lahirnya sebuah PT, bisa 
kita
lihat dalam penjelasan UU No. 20 tahun 2003 ttg Sistem Pendidikan Nasional dan
dalam PP No.60 thn 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dimana dapat disimpulkan
bahwa PT (Universitas) merupakan sebuah Lembaga Akademik yang diharapkan
menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan yg lebih tinggi (Tri
Dharma PT). 

Saya sependapat dengan pemikiran
dari Pa’ Sam Q.Badu (Kandidat Rektor)....Tugas Rektor adalah mensuport para
ilmuan kampus menjadi terkenal dan kompetitif. Tugas ini adalah tugas
pengabdian yang memerlukan komitmen dan konsistensi yang sangat tinggi. 

Dalam Perspektif Hukum Administrasi
Negara, jabatan rektor bukanlah dikatagorikan sebagai pejabat politik maupun
pejabat Negara atau Birokrat pemerintah, meskipun jabatan Rektor itu sendiri
dipilih oleh senat universitas.

Kedepan utk UNG kita berharap dgn
kepemimpinan Rektor baru nanti atau sekiranya Pa’ Sam Q.Baru diberikan
kesempatan utk memimpin Lembaga ini…...semoga dapat memberikan perubahan kearah
yang lebih baik pd kampus kita UNG. Amien

 

 

Bolo Maapu……

Akub_zsb 



--- Pada Sel, 23/3/10, sqb...@yahoo.co.id <sqb...@yahoo.co.id> menulis:

Dari: sqb...@yahoo.co.id <sqb...@yahoo.co.id>
Judul: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Tanggal: Selasa, 23 Maret, 2010, 10:54 PM


Sangat menarik uraian yang dikemukakn bung Punco, dan kalau kita mau jujur, 
mmang dmikian kndisinya. Umar Khayam mengatakan, "universitas kita dikelola 
seperti jawatan pemerinth". Artinya, kehidupan universitas penuh dengan aroma 
birokrasi dan itulah salah satu "penyakit" universitas kita yang sudah akut. 
Salah satu dampk dari penyakit itu, "rutinitas", seperti kata Taufik Abdullah. 
Dalam kondisi "rutinitas" itu, kita jangan berharap tumbuh "diskusi ilmiah dan 
terobosan pemikiran dll.
Kembali ke "jati diri" universitas!!! 
Itulh mungkin yang hrs segera dilakukan. Univ beda dengan jawatan pemerintah 
atau institusi politik yang tujuan utamanya "kekuasaan". Universitas adlh 
"organisasi belajar" dan bukan menjadi "organisasi para pelajar". Univrstas 
adlh "almamatr", ibu yang melahirkan, membesarkan dan mengabadikan pengetahuan.
Kembali ke jati diri berarti menjadikan "produk ilmiah" sebagai "simbol univ". 
Suara univ ke masyarakat disuarakan oleh para ilmuan yang bekerja di lab dan 
pusat studi. Yang lebih dikenal masyarakt adlh para ilmuan dengan hasil 
penelitian dan kajian2nya. Karena itu, univ adlh "istana" para ilmuan, para 
inovator dan pengembang IPTEK. 
Kondisi saat ini sungguh sangat beda. Rektor dijadikan "simbol univ" yang 
powerfull, suara Rektor adlh suaru univ. Jangan heran, posisi Rektor menjadi 
rebutan, diidam2kan dan akan diraih dengan cara apapun. 
Kita harus "mengecilkan" posisi Rektor. Rektor jangan sampai "tergoda" untuk 
menjadi "bintang", menjadi figur yang terkenal dan dikenal, jika mau kembali ke 
jati diri. Tugas Rektor adalh mensuport para ilmuan kampus menjadi terkenal dan 
kompetitif. Tugas ini adlh tugas pengabdian yang memerlukn komitmen dan 
konsistensi yang sangat tinggi. 

Sekian dulu, nanti disambung di lain waktu, tks
SQB

Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Funco Tanipu" <funcotan...@gmail.com>
Date: Tue, 23 Mar 2010 01:35:44 
To: Gorontalo Maju<gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
Subject: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium



Konteks kelahiran Universitas di dunia ini dikarenakan adanya harapan 
magistrium ex scholarium, yakni adanya tempat berdebatnya para ilmuan demi 
menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan. Universitas dengan 
spirit tersebut diharapkan menjadi tempat pengajaran, penelitian, diskusi, 
perdebatan, serta memproduksi pengetahuan. 

Namun, Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, telah 
berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. 
Sehingga tradisi intelektual -pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan 
demi melanggengkan posisi dan kedudukan.

Problem terbesar adalah di tingkat Universitas itu sendiri. Universitas sebagai 
motor utama peradaban, telah bergeser fungsinya menjadi arena pertarungan 
kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena kekritisan akademisi 
hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau sudah dipinang berubah arah 
menjadi pembela utama kebijakan penguasa.

Universitas yang semestinya menjadi tempat memproduksi pengetahuan semakin 
lepas dari konteks kelahirannya. Kebutuhan terhadap lahirnya pengetahuan baru 
bahkan mengalami kemandekan serius. Ini disebabkan karena Universitas mengalami 
krisis; Pertama, mahasiswa yang diharapkan mampu memberikan kritik pada teori 
dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan 
mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai 
“patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak dosen 
yang  dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak 
dikuasainya.

Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan 
Tinggi sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan 
pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah 
pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh, kebijakan ini 
menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan 
masalah secara monolog.

Ini diperparah oleh kaum intelektual atau cendekiawan yang seharusnya “berumah 
di atas angin” sekarang memilih “berumah di gedung beton”. Mereka sulit 
memosisikan diri untuk menjaga keseimbangan sebagai intelektual. Professor, 
doktor, dan gelar akademik lainnya sekarang ini hanya sebatas status sosial 
seperti gelar sosial dengan karya akademik yang minimal. Kecenderungan ini 
adalah akibat dari komodifikasi dalam pendidikan tinggi.
Belakangan pula, tampak semakin marak fenomena intelektual hazart  menggeliat 
di Universitas. Di Universitas, yang terbangun adalah pengejaran untuk dekat 
dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan sebagaimana 
mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak 
terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan seiring 
disorientasi para ilmuan. Heru Nugroho, sosiolog UGM Yogyakarta, memberikan 
perspektif yang solutif untuk hal ini : Pertama, pembangunan dan penguatan 
kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian fasilitas 
yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi yang ketat 
sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan kerja-kerja yang 
dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis 
yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus 
tekun melakukan penelitian-penelitian demi
 penemuan teori-teori baru. 

Jadi, Universitas selain menjadi pabrik pengetahuan juga menjadi ruang produksi 
intelektual organik sebagai mana yang diharapkan oleh Antonio Gramci, yakni 
menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas praktis agar tak 
menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan ke arah kebaikan, 
bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari kedudukan.


*ditulis dalam rangka sirkulasi kepemimpinan di Universitas Negeri Gorontalo.



Terima Kasih


Funco Tanipu

------------------------------------

Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links





------------------------------------

Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links






      Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat - Rasakan Yahoo! Mail baru yang 
Lebih Cepat hari ini! http://id.mail.yahoo.com

Kirim email ke