hahahahah.....ini baru luar biasa.Ok, saya akan berusaha meramu beberapa 
pandangan "berserakan" itu secara lebih praktis, sebagai berikut:

Konsep dasar
Peradaban kita hanya berputar-putar pada tiga sektor: public sector, academic 
sector, dan private sector yang semuanya menyatu menjadi apa yang disebut 
citizen policy. Public sector, berkutat pada aktivitas kebijakan pemerintah 
dengan kultur birokratik, academic sector dengan kultur ilmiahnya, dan private 
sector dengan kultur provitability-nya. Clearly, hanya universitas paling 
"ringan" kepentingan dan lebih bebas. Oleh karenanya, universitas sangat 
mungkin menjadi leader yang menjadi tolok ukur yang lain. 

Konsep universitas yang cocok jadi leader
1. Struktur organisasi
Struktur organisasi universitas di Indonesia sebagaimana yang diungkapkan oleh 
Bpk Ir. Ari Moch. Pedju, M.Arch, adalah struktur militer, dimana rektor adalah 
komandan tertinggi layaknya "panglima perang". Semua kebijakan berasal dari 
dia. Bayangkan bagaimana jadinya universitas jika rumusan kebijakannya berasal 
dari satu orang atau beberapa orang saja? Harusnya menurut beliau, universitas 
sifatnya Bottom-Up bukan Top-Down sebagaimana ada saat ini. Pendekatan 
kebijakan Bottom-Up ini memungkinkan dosen, mahasiswa, dan seluruh staf yang 
paling bawah mewujudkan apa yang dicita-citakannya, apa yang 
diinginkannya.karena mereka yang paling tahu apa yang harus dilakukan dan 
penting. Khusus UNG, ambil contoh MY (ahli fisika kita). Dari berbagai tulisan 
protes beliau yang saya pelajari, dikarenakan oleh kekecewaan beliau akibat 
adalah struktur semacam ini.Apa yang dia inginkan tidak pernah 
terakomodasi.Kesimpulannya: struktur harus diubah dan harus mampu mengakomodasi 
keinginan masyarakat universitas paling bawah (Baca: dosen dan mahasiswa).  

2. Dosen
Dosen harus memenuhi standar kompetensi tertentu.Harus ada dan dirumuskan 
secara bersama-sama. Dari sistem rekrutment sampai orientasi karir. Jadi, tidak 
hanya terpaku pada standar2 umum yang ditentukan DIKTI (IPK 2,75 dan lain2), 
namun harus ada standar khusus yang dirumuskan secara lebih maju dan 
proporsional.Khusus UNG, Saya menyarankan pada standar khusus ini, setiap calon 
dosen harus punya essay yang berisi rumusan2 dan pandangan2 dia tentang "apa 
itu universitas dan bagaimana dia mampu menjalankan konsep-konsep itu menjadi 
realita". Hal ini penting, karena sekali lagi menurut pak Ari, "banyak yang 
berbicara tentang universitas tapi tida mengerti apa itu universita". 
Selanjutnya, yang menjadi dosen "TIDAK HARUS" Orang Gorontalo. Tapi membuka 
peluang bagi lulusan2 yang lain dari berbagai tempat terbaik, sebagaimana yang 
dilakukan di MIT dan Indiana. 
3. Mahasiswa
Mahasiswa harus memiliki ruang rasional dan kreatifitas yang lebih luas. Harus 
ada kebijakan yang melindungi dan memfasilitasi ruang ekspresi ini. Khusus UNG, 
bikin sayembara tentang ide dan gagasan inovatif dari mahasiswa tentang unit2 
kegiatan yang "multidisciplinary Insight" yang akhirnya membentuk jiwa 
kebersamaan dan melatih mereka untuk merumuskan sebuah kebijakan yang 
integratif.  
4. Kurikulum
Kurikulum harus mampu didesain untuk mengakomodasi konsep universitas yang 
sesungguhnya. Universitas sesungguhnya tidak dibuat untuk terjebak pada 
dikotomi fakultas dan jurusan. Pada konteks ini, saya menyarakan agar mahasiswa 
diberikan kebebasan untuk mengontrak matakuliah2 tertentu yang berhubungan 
(mata kuliah pilihan) "tidak harus" dijurusan atau fakultasnya saja. Tapi 
diberi ruang untuk dapat mengontrak matakuliah difakultas lain.Hal ini 
memperkuat pandangan Drost yang manyatakan bahwa "universitas dibuat untuk 
menghasilkan lulusan yang universal (memiliki keahlian yang universal). Jadi, 
disini orang matematika dapat berinteraksi dengan matakuliah2 terapan antara 
lain mesin dan sipil. demikian juga dengan  yang lain. 
5. Insfrastruktur pendukung (Lab, tools, perpustakaan, dll)
Insrastruktur pendukung di atas sangat penting untuk keberlanjutan universitas 
yang berkualitas. kebijakan2 semacam ini didistribusikan kepada pihak jurusan 
atau fakultan dengan tetap berkoordinasi dengan rektor (top manajemen). Tapi 
harus tetap diberikan ruang yang seluas2nya kepada mereka (dosen), karena 
mereka yang lebih tahu.Khusus perpustakaan, akan ada dua perpustakaan, harus 
dibentuk sistem digital yang lebih kuat. pada konteks ini, perpustakaan akan 
menjadi pusat informasi yang sifatnya "open source". Ini penting, karena hal 
ini menjadi salah satu indikator ranking universitas versi webometrics.  
6. Manajemen (metode)
Manajemennya harus mampu mengakomodasi keinginan dan harapan sektor2 yang lain 
(private dan public). Pada konteks ini, khusus UNG, manajemennya mampu 
mempromosikan hasil2 temuan dosen dan mahasiswa yang kontekstual.Hal ini akan 
mampu mendorong kuat dosen dan mahasiswa untuk melahirkan karya2 yang baik, 
karena mereka dihargai. Akan ada paradigma entrepreneurship yang lebih cerdas 
(tumbuhnya Unit2 berbasis kepakaran) yang sifanya nirlaba atau komersil. 
7. Dana
Pada konteks ini, harus ada usaha membangun jaringan dengan dunia usaha 
(private sector) dan public sector dengan cara melahirkan karya2 kontekstual 
dan tepat guna. Selanjutnya, adanya hubungan dengan pemerintah (public sector) 
serta Lembaga2 donor yang proporsional. Ini akan tercipta jika dan hanya jika 6 
point sebelumnya tercapai.

Amin!!!

Terima Kasih
Tomy Ishak


--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, iqbal makmur <kaizen...@...> wrote:
>
> Buat Pak Funco, Pak Syam dan Pak Tomy..
> Tulisan bapak bertiga sangat normatif, teoritis dan idealis.. Bisa ditemukan 
> di banyak artikel yang tersebar di dunia maya.. :)
> Pertanyaannya adalah : Bagaimana caranya?
>  
> Iqbal
> 
> --- On Tue, 3/23/10, tomy <assa...@...> wrote:
> 
> 
> From: tomy <assa...@...>
> Subject: Re: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
> To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
> Date: Tuesday, March 23, 2010, 2:10 AM
> 
> 
>   
> 
> 
> 
> Setuju !!!.
> Universitas harus diposisikan sebagai leader dalam rangka membangun 
> peradaban. Hal ini menjadi sangat mungkin karna universitas memiliki tiga 
> karakteriktik dasar- sebagaimana yang diungkapkan oleh Bryant Kearl, sebagai 
> berikut:
> 
> 1. Pusat orang-orang kompeten yang memiliki basis keilmuan yang kuat, yang 
> dengan itu mampu merumuskan kebijakan-kebijakan penting yang sifatnya 
> "multidisciplinary insights".
> 
> 2. Pusat orang-orang yang beroperasi atau bekerja berdasarkan struktur dan 
> metode pendukung yang mampu memberi ruang rasional yang lebih luas sehingga 
> mereka leluasa untuk men-setting penelitian sesuai dengan prioritasnya.
> 
> 3. Pusat orang-orang yang bebas secara personal untuk mem-publish hasil2 
> penelitiannya dan berbicara terbuka.
> 
> Dengan ini mudah2an cita-cita "Magistrorum et Scholarium" tercapai. 
> 
> Terima Kasih
> Tomy Ishak 
> 
> --- In gorontalomaju2020@ yahoogroups. com, sqb_29@ wrote:
> >
> > 
> > Sangat menarik uraian yang dikemukakn bung Punco, dan kalau kita mau jujur, 
> > mmang dmikian kndisinya. Umar Khayam mengatakan, "universitas kita dikelola 
> > seperti jawatan pemerinth". Artinya, kehidupan universitas penuh dengan 
> > aroma birokrasi dan itulah salah satu "penyakit" universitas kita yang 
> > sudah akut. Salah satu dampk dari penyakit itu, "rutinitas", seperti kata 
> > Taufik Abdullah. Dalam kondisi "rutinitas" itu, kita jangan berharap tumbuh 
> > "diskusi ilmiah dan terobosan pemikiran dll.
> > Kembali ke "jati diri" universitas! !! 
> > Itulh mungkin yang hrs segera dilakukan. Univ beda dengan jawatan 
> > pemerintah atau institusi politik yang tujuan utamanya "kekuasaan". 
> > Universitas adlh "organisasi belajar" dan bukan menjadi "organisasi para 
> > pelajar". Univrstas adlh "almamatr", ibu yang melahirkan, membesarkan dan 
> > mengabadikan pengetahuan.
> > Kembali ke jati diri berarti menjadikan "produk ilmiah" sebagai "simbol 
> > univ". Suara univ ke masyarakat disuarakan oleh para ilmuan yang bekerja di 
> > lab dan pusat studi. Yang lebih dikenal masyarakt adlh para ilmuan dengan 
> > hasil penelitian dan kajian2nya. Karena itu, univ adlh "istana" para 
> > ilmuan, para inovator dan pengembang IPTEK. 
> > Kondisi saat ini sungguh sangat beda. Rektor dijadikan "simbol univ" yang 
> > powerfull, suara Rektor adlh suaru univ. Jangan heran, posisi Rektor 
> > menjadi rebutan, diidam2kan dan akan diraih dengan cara apapun. 
> > Kita harus "mengecilkan" posisi Rektor. Rektor jangan sampai "tergoda" 
> > untuk menjadi "bintang", menjadi figur yang terkenal dan dikenal, jika mau 
> > kembali ke jati diri. Tugas Rektor adalh mensuport para ilmuan kampus 
> > menjadi terkenal dan kompetitif. Tugas ini adlh tugas pengabdian yang 
> > memerlukn komitmen dan konsistensi yang sangat tinggi. 
> > 
> > Sekian dulu, nanti disambung di lain waktu, tks
> > SQB
> > 
> > Powered by Telkomsel BlackBerry®
> > 
> > -----Original Message-----
> > From: "Funco Tanipu" <funcotanipu@ ...>
> > Date: Tue, 23 Mar 2010 01:35:44 
> > To: Gorontalo Maju<gorontalomaju2020@ yahoogroups. com>
> > Subject: [GM2020] Universitas dan Harapan Magistrium ex Scholarium
> > 
> > 
> > 
> > Konteks kelahiran Universitas di dunia ini dikarenakan adanya harapan 
> > magistrium ex scholarium, yakni adanya tempat berdebatnya para ilmuan demi 
> > menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan. Universitas dengan 
> > spirit tersebut diharapkan menjadi tempat pengajaran, penelitian, diskusi, 
> > perdebatan, serta memproduksi pengetahuan. 
> > 
> > Namun, Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, telah 
> > berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. 
> > Sehingga tradisi intelektual -pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan 
> > demi melanggengkan posisi dan kedudukan.
> > 
> > Problem terbesar adalah di tingkat Universitas itu sendiri. Universitas 
> > sebagai motor utama peradaban, telah bergeser fungsinya menjadi arena 
> > pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena 
> > kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau 
> > sudah dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa.
> > 
> > Universitas yang semestinya menjadi tempat memproduksi pengetahuan semakin 
> > lepas dari konteks kelahirannya. Kebutuhan terhadap lahirnya pengetahuan 
> > baru bahkan mengalami kemandekan serius. Ini disebabkan karena Universitas 
> > mengalami krisis; Pertama, mahasiswa yang diharapkan mampu memberikan 
> > kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada 
> > identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, 
> > dosen tidak dijadikan sebagai "patner diskusi", tapi sebagai sumber dari 
> > segala sumber. Ketiga, banyak dosen yang  dipaksa/memaksakan diri 
> > membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.
> > 
> > Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan Direktorat Jenderal 
> > Pendidikan Tinggi sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan 
> > membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini 
> > memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih 
> > jauh, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan 
> > karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.
> > 
> > Ini diperparah oleh kaum intelektual atau cendekiawan yang seharusnya 
> > "berumah di atas angin" sekarang memilih "berumah di gedung beton". Mereka 
> > sulit memosisikan diri untuk menjaga keseimbangan sebagai intelektual. 
> > Professor, doktor, dan gelar akademik lainnya sekarang ini hanya sebatas 
> > status sosial seperti gelar sosial dengan karya akademik yang minimal. 
> > Kecenderungan ini adalah akibat dari komodifikasi dalam pendidikan tinggi.
> > Belakangan pula, tampak semakin marak fenomena intelektual hazart 
> > menggeliat di Universitas. Di Universitas, yang terbangun adalah pengejaran 
> > untuk dekat dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan 
> > sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar 
> > situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan 
> > mati perlahan seiring disorientasi para ilmuan. Heru Nugroho, sosiolog UGM 
> > Yogyakarta, memberikan perspektif yang solutif untuk hal ini : Pertama, 
> > pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff 
> > pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, 
> > dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan 
> > berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat 
> > moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat 
> > menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan 
> > penelitian-peneliti an demi
>  penemuan teori-teori baru. 
> > 
> > Jadi, Universitas selain menjadi pabrik pengetahuan juga menjadi ruang 
> > produksi intelektual organik sebagai mana yang diharapkan oleh Antonio 
> > Gramci, yakni menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas 
> > praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan 
> > ke arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari 
> > kedudukan.
> > 
> > 
> > *ditulis dalam rangka sirkulasi kepemimpinan di Universitas Negeri 
> > Gorontalo.
> > 
> > 
> > 
> > Terima Kasih
> > 
> > 
> > Funco Tanipu
> > 
> > ------------ --------- --------- ------
> > 
> > Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links
> >
>


Kirim email ke