Mencermati headline
media massa
nasional dan lokal terkini, makin jelas bahwa persoalan korupsi benar-benar
telah menjadi penyakit akut dan kronis. Penanganannya pun menjadi semakin rumit
seperti mengurai benang kusut_tak tahu dimana ujung pangkalnya. Setelah
Walikota dan Wakil Walikota Manado resmi ditahan, menyusul Walikota Tomohon dan
Bupati Kepulauan Talaud ditetapkan menjadi tersangka. Tidak ketinggalan beberapa
figur elit eksekutif maupun legislatif hingga stafnya di Kabupaten Kota dan
Provinsi Gorontalo-pun ikut-ikutan terjerat masalah korupsi. Liputan tentang
korupsi di beberapa koran lokal memang menjadi berita utama yang paling “panas”
akhir-akhir ini. Dan sebagai tenaga edukasi, secara pribadi terbersit keinginan
dan harapan kami untuk memberi warna baru dalam pembelajaran dan kurikulum
yang baik langsung maupun tidak langsung memberi jawaban atas
keprihatinan pada makin tingginya kasus-kasus korupsi di daerah ini. Sebagai
salah satu solusi akademis adalah perlu adanya pendidikan anti-korupsi pada
perguruan tinggi di Gorontalo.

Semangat menjadikan pendidikan sebagai alat ampuh untuk
mengasah kepekaan masyarakat terhadap korupsi dan menimbulkan keberanian untuk
menuntut transparansi dan integritas penyelenggaraan negara, tampak seperti
virus yang menyebar cepat ke seluruh penjuru dunia. Dalam berbagai model,
pendidikan anti-korupsi merentang sejak moral individu tumbuh dalam asuhan
keluarga hingga menjadi anggota masyarakat dewasa yang mandiri. Maka itu,
optimisme akan peran kunci pendidikan dalam menumbuhkan dan memelihara moral
anti-korupsi pada diri individu patut terus dibangun. Dan dukungan penuh
semestinya diberikan kepada pihak manapun yang terus berupaya mengembangkan
model dan program pendidikan anti-korupsi diberbagai tempat dan situasi.

Upaya pemberantasan korupsi dewasa ini rasanya tidak cukup
lagi hanya dengan upaya penegakkan hukum. Dalam beberapa tahun terakhir mulai
menguat perhatian banyak pihak terhadap perlunya upaya preventif yang lebih
menyentuh masyarakat akar rumput sekaligus melahirkan generasi bersih korupsi,
salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan dalam arti luas pada hakikatnya
akan selalu eksis sepanjang kehidupan manusia dan simultan memperbaiki kualitas
kemanusiaan melalui perbaikan akal dan budi. Persoalannya adalah tidak semua
nilai-nilai dan skill dapat
ditransfer melalui pendidikan di kelas-kelas. Ketika berbicara tentang 
hardskill, barangkali kelas merupakan wahana
yang tepat, tetapi ketika dalam lingkup softskill
dan attitude, efektivitasnya masih
belum teruji.

Dalam kenyataannya, praktik korupsi melibatkan berbagai aktor
yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Mengandaikan struktur korupsi
dengan sebuah piramida, maka di puncak piramida adalah pemerintah yang sering
berperan sebagai juru kunci pembuka pintu-pintu korupsi. Dibagian tengah
piramida adalah sektor swasta yang merupakan arena luas bagi permainan kasus
korupsi. Dan didasar piramida terdapat masyarakat sebagai mayoritas yang banyak
menanggung akibat dari aksi korupsi dalam bentuk hilangnya hak sosial dan
ekonomi mereka.

Menyikapi kondisi saat masyarakat rentan menjadi korban
korupsi karena kurangnya pemahaman mengenai korupsi itu sendiri, amat
diperlukan program penyadaran masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat pada beragam bentuk, aspek dan bahaya korupsi. Program ini
dapat berupa penyebaran informasi tentang korupsi dan antikorupsi melalui
berbagai media meliputi kampanye antikorupsi lewat deklarasi, konser musik,
penyuluhan, training, leaflet, buku saku, spanduk, stiker dan
lainnya. Pemahaman tentang korupsi ini akan menjadikan masyarakat sadar ketika
haknya dirampas, ketika dirinya menjadi korban tindakan korupsi. Responnya,
mereka akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwenang. Semakin tinggi 
public awareness, semakin sempit ruang
gerak kegiatan para aktor korupsi.

Namun upaya pencegahan korupsi tidak bisa berhenti pada
tahap kepedulian publik (public awareness)
saja. Perlu tuas yang lebih kuat yang bisa menggerakkan masyarakat untuk
terlibat aktif dalam memberantas korupsi. Salah satunya adalah pendidikan 
anti-korupsi.
Pendidikan anti-korupsi yang gelombangnya mulai mengalir deras memasuki ranah
pendidikan (dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi), seharusnya 
bercermin
pada ketimpangan fungsi dan sistem pendidikan umum yang berlangsung di negeri
ini. Harapannya adalah agar output
dari pendidikan anti-korupsi tidak terjerumus dalam lubang yang sama. Fungsi
pembangun karakter harus mendapatkan porsi cukup untuk memungkinkan
internalisasi nilai-nilai luhur dan nilai-nilai moral yang berperan sebagai
penyeimbang antara kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Jika fungsi
internalisasi nilai-nilai moral ini tidak terasah, dikhawatirkan peserta didik
pendidikan anti-korupsi hanya mampu memahami konsep anti-korupsi, bahaya
korupsi dan hukum yang berkaitan dengan korupsi sebatas pengetahuan semata dan
tidak menjadikan mereka sebagai agen-agen anti-korupsi dan pemberantasan
korupsi.

Tujuan pendidikan anti-korupsi lebih dari sekedar menghadang
terjadinya korupsi tetapi bertindak lebih cepat dalam menyentuh sisi moral
manusia dengan menumbuhkan dan memperkuat nilai-nilai anti-korupsi. Hasilnya
tidak segera (instant), bahkan bisa
jadi baru akan terlihat dalam 10 sampai 15 tahun mendatang ketika generasi
sekarang sudah digantikan oleh generasi baru yang anti-korupsi.

Pendidikan Antikorupsi: Sebuah Perspektif

Diwilayah manakah pendidikan anti-korupsi berada? Apakah
pendidikan anti-korupsi bisa berdiri sendiri dalam menghadapi masalah bangsa?
Pendidikan anti-korupsi sebagai penamaan baru sebuah bidang keilmuan ternyata
merupakan pembidangan yang independen. Korupsi terkait erat dengan Hak Asasi
Manusia (HAM), karena korupsi adalah penyebab dan inti dari sejumlah
pelanggaran HAM. Bahkan dinegara-negara berkembang terdapat kecenderungan bahwa
korupsi sistemik berdampingan dengan kegagalan negara menjamin dan memenuhi
hak-hak warganya. Korupsi (kecil atau besar) menghalangi akses masyarakat
memperoleh pelayanan negara di sektor publik (pendidikan, kesehatan, air bersih
dan infrastruktur). Artinya korupsi melanggar hak ekonomi, sosial dan budaya,
sehingga mengurangi korupsi berarti meningkatkan akses masyarakat terhadap 
pelayanan
publik terutama bagi kaum miskin. Sementara itu gerakan HAM mengejar kepastian
akan terjadinya perlindungan dan pemenuhan berbagai hak asasi berdasarkan 
Universal Declaration on Human Rights.

Dengan adanya korelasi masalah dan tujuan tersebut, pendidikan
anti-korupsi dan pendidikan HAM sebenarnya berjalan pada koridor yang hampir
sama meskipun dikemukakan dalam bahasa yang berbeda. Istilah gerakan 
anti-korupsi
seperti “membasmi korupsi politik dan peradilan, menghapuskan marginalisasi dan
pengecualian serta menjamin pelayanan publik” dibahasakan oleh gerakan HAM
sebagai “menjamin hak politik dan sipil, melindungi hak nondiskriminasi dan
persamaan hak serta menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya”.

Model Pendidikan Antikorupsi

Turunnya standar nilai moral dikalangan anak muda tampaknya
telah menjadi fenomena diberbagai negara. Booming
ekonomi selama lebih sepuluh tahun telah menciptakan kultur materialistik
terutama dikalangan generasi muda, saat moral mereka sangat dipengaruhi oleh
media, tren sosial dan peer pressure.
Survei menunjukkan adanya kecenderungan yang mencemaskan terkait dengan makin
besarnya toleransi generasi muda terhadap tindakan korupsi. Karena itu penting
bagi kita untuk meningkatkan budaya jujur, menularkan nilai-nilai positif dan 
memastikan
generasi muda kita memiliki zero-tolerance
terhadap kejahatan korupsi (Tony Kwok
Man-wai, Former Head of Operations,
ICAC, Hongkong on the Anticorruption Semiar, Seoul Institute of Transparency,
2003).

Mengapa generasi muda? Generasi muda adalah kepada siapa
setiap bangsa kelak akan dititipkan. Mereka yang akan menjadi pemimpin masa
depan, menempati posisi pengambil keputusan bagi bangsa dan negaranya. Maka
pendidikan adalah komponen penting bagi strategi anti-korupsi. Sekolah (dan
universitas) sebagai institusi pendidikan formal seharusnya bisa memanfaatkan
peluang dan otoritasnya untuk menjadi tempat persemaian manusia baru yang 
anti-korupsi
dan pengajar anti-korupsi tentu harus merepresentasikan nilai-nilai yang mereka
ajarkan. Pendidikan dasar dan menengah merupakan jenjang awal yang sangat tepat
untuk penanaman nilai anti-korupsi kepada anak dan remaja. Pendidikan tinggi
adalah tempat mencetak calon-calon konseptor dan agen perubahan bagi bangsa dan
negara.

Penerapan pendidikan anti-korupsi di lembaga pendidikan
tinggi Indonesia sudah dijalankan oleh beberapa perguruan tinggi terkemuka.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah mendirikan Pusat Kajian Antikorupsi.
Dalam rangkaian program Mainstreaming Pendidikan
Antikorupsi di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia (PTII), Center for the Study 
of Religion and Culture (CSRC) Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menggagas pengajaran pendidikan
antikorupsi dan telah menerbitkan beberapa buku ajar bagi micro teaching di 
sejumlah UIN/IAIN di Indonesia. Pada tahun 2008,
Universitas Paramadina Jakarta memprakarsai matakuliah Pendidikan Antikorupsi
yang bersifat independen dan wajib bagi seluruh mahasiswa. Tahun 2009,
Universitas Taman Siswa Padang memperkuat kompetensi mahasiswa Fakultas Hukumnya
dengan mendirikan Program Studi Hukum Antikorupsi, demikian halnya dengan
Institut Teknologi Bandung. (Widjajanto & Zachrie, 2009)

Bagaimana dengan penerapan pendidikan anti-korupsi di
Gorontalo? Saat ini kita punya beberapa perguruan tinggi yang cukup
berreputasi_minimal di regional Sulawesi. Sebut saja Universitas Negeri
Gorontalo, Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai, Universitas Gorontalo,
Universitas Muhammadiyah Gorontalo dan Universitas Ichsan Gorontalo. Pada tahap
awal, pendidikan anti-korupsi ini dapat diintegrasikan ke dalam kurikum melalui
dua model: Pertama, dengan menyisipkan materi anti-korupsi kedalam satu
atau beberapa mata kuliah tertentu seperti Kewarganegaraan, Etika Bisnis, Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Pendidikan Agama atau mata kuliah lain yang berorientasi
pada nilai/moral. Kedua, adalah menjadikan pendidikan anti-korupsi sebagai satu
mata kuliah wajib universitas. Disebut mata kuliah wajib universitas berarti
setiap mahasiswa jenjang Diploma, Sarjana maupun Pascasarjana pada berbagai
Fakultas dan Program Studi di perguruan tinggi itu wajib mengontrak mata kuliah
tersebut.

Langkah ini cenderung lebih tegas dan berani. Karena perlu
upaya besar bagi lembaga-lembaga diatas untuk mempersiapkan secara matang
seluruh perangkat komplit bagi pelaksanaan suatu mata kuliah mulai dari
silabus, materi, referensi, metode pembelajaran, sumber daya manusia (pengajar)
serta ragam aktivitas mahasiswa bagi perkuliahan pendidikan anti-korupsi selama
satu semester. Diluar pertimbangan praktis tersebut, terdapat kemungkinan
adanya pertimbangan beban moral: berani mengajarkan materi anti-korupsi (yang
independen) berarti berani menyatakan lembaga pendidikan ini sudah bersih dari
praktik korupsi. Padahal fakta membuktikan demikian banyak dan ragamnya bentuk
korupsi di sektor pendidikan, sektor yang seharusnya menjadi garda depan negara
bagi pembentukan generasi muda baru yang siap melaksanakan good and clean 
governance untuk membawa bangsanya menuju
kesejahteraan sosial ekonomi.(Pendapat pribadi, mohon maaf bila ada kekeliruan)








Kirim email ke