ada yang menggelitik: Saat bang verri menulis artikel ini, saya masihlah anak EsDe, sebagai bocah ketika itu, Tumbilotohe pada tiga hari jelang lebaran meninggalkan kesan mendalam bagi saya: jalan beramai-ramai keliling kampung sambil memegang obor, berselendang sarung, ditambah keisengan mencari "belea" (sarang burung) di pepohonan. lalu gema bunggo, petasan (zaman saya lebih banyak pakai busi), seru pokoknya
hampir setiap rumah ketika itu, memasang arkus dengan poluhungo. indah, syahdu, bahkan mungkin lebih terasa religius,- setidaknya untuk ukuran bocah yang belum lama menghirup dunia. menariknya lagi, artikel dari masa lalu ini, menggambarkan bagaimana peristiwa hura-hura di sekitar perayaan Tumbilotohe: ingar musik, lampu kelap-kelip, dan situasi ini tidak jauh berbeda dengan perayaan tumbilotohe tahun ini. materi dan cara kita merayakan, sekaligus memperlakukan Tumbilotohe, tetap saja jalan di tempat, tidak ada lagi pasal kualitas nilai yang terkandung di dalamnya , tapi kuantitas, bagaimana setiap orang berlomba membuat arsitektur lampu botol yang paling heboh, siapa yang paling yahud bunyi petasannya. dan "chemistry" Tumbilotohe yang sempat saya rasakan saat kanak dulu, barangkali, hanya ilusi semata. jangan-jangan, setiap tahun, "Tumbilotohe" , tanpa disadari hanyalah menyodorkan kembali pada kita , kenaifan berhura-hura yang berkedok "religi"(?). salam syam sdp terrajana --- Pada Ming, 5/9/10, v_madjowa <v_madj...@yahoo.com> menulis: Dari: v_madjowa <v_madj...@yahoo.com> Judul: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’ Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Tanggal: Minggu, 5 September, 2010, 5:25 PM Harian Republika, Sabtu 3 April 1993 Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar' Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam "tumbilo tohe" atau "pasang lampu". Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut "tohe tutu" ini mampu bertahan beberapa jam. "Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa," tandas Usman yang juga Lurah di Limba ini. Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan bahan bakar minyak kelapa bercampur air. Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. "27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo," katanya. Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Amay dan Putri Palasa Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa (Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya. Selain lampu, masyarakat juga membuat "alikusu" atau gapura adat. Alikusu mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. Sedangkan yang satu susun untuk rakyat. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu penerang jalan. Hura-hura Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. Sementara di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di Gorontalo. Misalnya, di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang. Di Gorontalo – yang dikenal dengan kerajinan kerawang – aktivitas malam tumbilo tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus bermunculan dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai ratusan per rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa. Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di "alikusu". Jika dibandingkan dengan tahun lalu, sekarang ini variasi malam pasang lampu bertambah lagi dengan pembuatan jembatan penyeberangan yang dihiasi dengan warna-warni lampu listrik. "Sangat sulit menemukan bahan penerangan seperti yang dilakukan orang-orang tua dulu," tandas Usman. Kecuali, katanya, di desa-desa yang belum dialiri listrik, kalau di Kotamadya Gorontalo model semacam itu jarang sekali ditemukan. Dan pada bulan Ramadhan tahun ini, sejak Sabtu malam (20/3) sampai malam takbiran, berbagai variasi lampu dapat ditemui. Dari sekian banyak kelurahan yang ada di Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, tampak keunggulan atau memberikan ciri khas tersendiri. Di Kelurahan Heledulaa, misalnya, ada sepeda yang sengaja digantung di depan halaman rumah. Sepeda itu lantas dihiasi dengan warna-warni lampu. Tak lupa juga ada patung di sepeda tersebut. Sementara di kelurahan lainnya, yang paling menonjol adalah gapura adat dan jembatan penyeberangan. Untuk jembatan penyeberangan memang baru kali ini dibuat. Di sana mereka yang tinggal di sekitar tempat itu, atau darang dari kampung lain bisa menikmati berbagai lampu di sepanjang jalan. Juga ada musik dangdut atau irama lainnya. "Inilah yang sangat disayangkan sekarang ini. Tradisi tumbilo tohe yang secara turun-temurun dilakukan mulai condong ke makna hura-hura," tandas Soeleman Kakoe, tokoh masyarakat di daerah itu. Memang, diakuinya tradisi ini sangat menarik, terutama bagi pendatang. Atau untuk melihat aktivitas generasi muda antarkampung. Pasalnya, generasi sekarang mendekati malam tumbilo tohe lebih terfokus fisiknya, bukan mencari makna spritualnya. Sampai-sampai ada yang tidak lagi berpuasa hanya karena ingin membuat model lampu yang unik dan lain dari yang lain, dengan berbagai corak dan variasinya. Apalagi, pasang lampu ini dipertandingkan antarkampung. Sementara untuk menarik supaya pendatang melihat sebuah tempat, ada juga yang sampai joget, antara lain di atas jembatan penyeberangan. Padahal, pada waktu dulu, saat pertama memasang lampu saja, ada yang harus dibaca. Yakni, surat At Qadr: Inna anzalnaahu fii lailatul qadr. Wa maa adraaka maa lailatul qadr. Lailatul qadri khairum min alfisyahr. Tanazzalul malaaikatu war ruuhu fiiha bi idzni rabbihim min kulli amr. Salaamun hiya hattaa mathla'il fajr. verrianto madjowa