Apa yang disampaikan pak Aga ini cukup kuat analisis dan pengalamannya. Pasar, 
dengan transaksi ekonomi yang tidak menguntungkan orang kebanyakan. Di sisi 
lain, untuk membuat penerang tradisional ternyata cukup mudah. bahan-bahannya 
masih tersedia dan murah.

Terdapat "eksploitasi" yang tidak disadari akibat pembelokan makna dan esensi 
dari tumbilotohe itu sendiri. Ada "hura-hura" berkedok "religi". Separuh saja 
biaya yang dihabiskan untuk tumbilotohe diberikan untuk rakyat yang kurang 
mampu, mungkin ini bisa mengurangi beban mereka. Minyak tanah yang dipakai 
separuhnya disubsidi buat nelayan miskin, akan memperlancar aktivitas mencari 
ikan.

Kembali ke pertanyaan Iing,"para pemimpin, wakil rakyat, media massa, guru, 
harusnya berlomba untuk menyadarkan mereka kembali. atau memang sengaja 
membiarkan utk menarik wisatawan??" 


salam,

verri

Info: EKSPLORASI audio visual Tumbilotohe akan dilaksanakan mahasiswa jurusan 
Sendratasik UNG, Senin, 6 September 2010, pukul 18.30 Wita di halaman jurusan 
sendratasik..



--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, Rahman Dako <rahman_d...@...> wrote:
>
> 
> 
> 
> 
> Pak Verry, Syam, dan
> teman-teman,
> 
> 
> 
> Saya sepakat dengan pendapat Syam bahwa telah ada pembelokan makna dan esensi
> dari Tumbilotohe itu sendiri.  Telah ada 'hura-hura' berkedok religi dalam
> tradisi pasang lampu saat ini dan ini yang sering digunakan oleh pasar untuk
> meraup keuntungan sebesar-besarnya, sebagaimana kita berbelanja untuk Lebaran,
> Natal/Tahun Baru, dll.  Transaksi ekonomi in malah lebih menguntungkan 
> pemerintah
> (perusahaan negara) karena jual beli minyak tanah dan listrik dipegang oleh 
> mereka.  Coba hitung berapa
> pemakaian energi minyak tanah dan listrik kali ini.  Sedikit sekali
> keuntungan yang bisa didapat oleh rakyat kecil yang hanya sekedar menjual 
> lampu
> botol Rp. 5,000 per 7 buah lampu botol, dll.
> 
>  
> 
> Peluang politik untuk pencitraan bagi para politisi sudah pasti.  
> Coba lihatlah dimana-mana, ada lapangan Maju Pak, ada tempat le Teruskan,
> Bekerja Nyata, dll.  Ada nama-nama di tiap tempat/lapangan penyelenggara
> TT, ada lapangan li Pak Gusnar, Pak Rusli, Pak Adhan, dll.  Ada olo Trans
> TV, he... he....
> 
> 
> 
> Dari sisi lingkungan, ini memang sangat boros dan tidak berkelanjutan.  Asap
> karbon hasil pembakaran minyak tanah, listrik dan energi yang dibuang
> "percuma" masih bisa digunakan berbulan2 kedepan.
> 
> 
> 
> Tahun 1998, saya pernah buat lomba Tumbilotohe Tradisional, dimana lampu yang
> digunakan adalah lampu2 asli yang dipake oleh orang2 tua kita dulu. Ada Tohe
> Tutu (getah damar), lampu popaya berminyak kelapa, dan hiasan2nya kental 
> dengan
> alam: ada bambu kuning, patodu, pisang, tabongo, dll.  Sayang sekali, saya
> hanya bisa mempengaruhi kurang lebih 6 desa di Kecamatan Batudaa waktu itu
> (sekarang sdh menjadi Kecamatan Bongomeme).  Mereka juga antusias waktu
> itu, karena bahannya banyak tersedia dan sangat murah (dibandingkan dengan
> sulitnya mencari minyak tanah saat ini).  Sayang sekali pemerintah daerah 
> tidak
> banyak mensupport waktu itu.  Saya juga sempat membuat Film Dokumenter
> tentang Tumbilotohe Tradisional ini bekerjasama dengan TVRI, karena waktu itu
> blum ada te Izam, te Onal, te Syam Pana, dan teman-teman TV swasta
> lainnya.  Oh iya, waktu itu saya didukung oleh Yayasan Keanekaragaman
> Hayati (KEHATI Jakarta).
> 
> 
> 
> Saya pikir, ini akan sangat tergantung pada kemauan politik dari Gubernur,
> Bupati dan Walikota.  Kalau mereka mau menghimbau masyarakat untuk kembali
> ke 'keaslian' tumbilotohe dan mereka mendukung lomba seperti ini, masyarakat
> pasti akan terangsang dan mereka mau.
> 
> 
> 
> Salam,
> 
> Rahman 'AGA' Dako
> 
> 
> 
> --- On Sun, 9/5/10, Syam Sdp <syam...@...> wrote:
> 
> From: Syam Sdp <syam...@...>
> Subject: Bls: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’
> To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
> Date: Sunday, September 5, 2010, 8:08 AM
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
>  
> 
> 
> 
>   
> 
> 
>     
>       
>       
>       
> ada yang menggelitik:
> 
> Saat bang verri menulis artikel ini, saya masihlah anak EsDe, sebagai bocah 
> ketika itu, Tumbilotohe pada tiga hari jelang lebaran meninggalkan kesan 
> mendalam bagi saya: jalan beramai-ramai keliling kampung sambil memegang 
> obor, berselendang sarung, ditambah keisengan mencari "belea" (sarang burung) 
> di pepohonan. lalu gema bunggo, petasan (zaman saya lebih banyak pakai busi), 
> seru pokoknya 
> 
> hampir setiap rumah ketika itu, memasang arkus dengan poluhungo. indah, 
> syahdu, bahkan mungkin lebih terasa religius,- setidaknya untuk ukuran bocah 
> yang belum lama menghirup dunia. 
> 
> menariknya lagi, artikel dari masa lalu ini,  menggambarkan bagaimana  
> peristiwa hura-hura di sekitar perayaan Tumbilotohe: ingar musik, lampu 
> kelap-kelip, dan situasi ini tidak jauh berbeda dengan perayaan tumbilotohe 
> tahun ini. materi dan
>  cara kita merayakan, sekaligus memperlakukan Tumbilotohe, tetap saja jalan 
> di tempat, tidak ada lagi pasal  kualitas nilai yang terkandung di dalamnya 
> , tapi kuantitas, bagaimana setiap orang  berlomba membuat arsitektur lampu 
> botol yang paling heboh, siapa yang paling yahud bunyi petasannya.    
> 
> dan "chemistry" Tumbilotohe yang sempat saya rasakan saat kanak dulu, 
> barangkali, hanya  ilusi semata. 
> 
> jangan-jangan, setiap tahun, "Tumbilotohe" , tanpa disadari hanyalah 
> menyodorkan kembali pada kita , kenaifan  berhura-hura yang berkedok 
> "religi"(?).  
> 
>  
> salam
> 
> 
> syam sdp terrajana 
> 
> 
> 
> --- Pada Ming, 5/9/10, v_madjowa <v_madj...@...> menulis:
> 
> Dari: v_madjowa <v_madj...@...>
> Judul: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul
>  Qadar’
> Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
> Tanggal: Minggu, 5 September, 2010, 5:25 PM
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
>  
> 
> 
> 
>     
>       
>       
>       Harian Republika, Sabtu 3 April 1993
> 
> 
> 
> Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar'
> 
> 
> 
> Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya 
> Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah 
> berlangsung ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di 
> Gorontalo sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang 
> berharga ini, masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam "tumbilo 
> tohe" atau "pasang lampu".
> 
> 
> 
> Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang 
> lampu di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang 
> harum, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa 
> disebut "tohe tutu" ini mampu bertahan beberapa jam.
> 
> 
> 
> "Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku 
> dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini 
> (kapas). Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa," tandas Usman 
> yang juga Lurah di Limba ini. 
> 
> 
> 
> Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat 
> penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan 
> bahan bakar minyak kelapa bercampur air.
> 
> 
> 
> Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang 
> tumbilo tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di 
> Gorontalo. "27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo," 
> katanya. 
> 
> 
> 
> Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. 
> Tidak hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu 
> melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun 
> Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan 
> variasi warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat 
> dari berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu 
> melambangkan kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang 
> dipasang sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
> 
> 
> 
> Amay dan Putri Palasa
> 
> 
> 
> Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay 
> menjadi raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango 
> di Palasa (Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, 
> ketika Raja Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja 
> Amay harus masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga 
> Gorontalo. Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama 
> seluruh warganya.
> 
> 
> 
> Selain lampu, masyarakat juga membuat "alikusu" atau gapura adat. Alikusu 
> mempunyai dua bentuk â€" satu atau dua tingkatâ€"yang menandakan strata 
> sosial seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, 
> dihiasi lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua 
> tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan 
> pembantunya. Sedangkan yang satu susun untuk rakyat.
> 
> 
> 
> Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya 
> merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat 
> fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, 
> rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. 
> Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu 
> penerang jalan.
> 
> 
> 
> Hura-hura
> 
> 
> 
> Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang 
> Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di 
> Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam 
> pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. 
> Sementara di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di 
> Gorontalo. Misalnya, di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang.
> 
> 
> 
> Di Gorontalo â€" yang dikenal dengan kerajinan kerawang â€" aktivitas malam 
> tumbilo tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus 
> bermunculan dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai 
> ratusan per rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa.
> 
> 
> 
> Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, 
> tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di 
> "alikusu". Jika dibandingkan dengan tahun lalu, sekarang ini variasi malam 
> pasang lampu bertambah lagi dengan pembuatan jembatan penyeberangan yang 
> dihiasi dengan warna-warni lampu listrik.
> 
> 
> 
> "Sangat sulit menemukan bahan penerangan seperti yang dilakukan orang-orang 
> tua dulu," tandas Usman. Kecuali, katanya, di desa-desa yang belum dialiri 
> listrik, kalau di Kotamadya Gorontalo model semacam itu jarang sekali 
> ditemukan.
> 
> 
> 
> Dan pada bulan Ramadhan tahun ini, sejak Sabtu malam (20/3) sampai malam 
> takbiran, berbagai variasi lampu dapat ditemui. Dari sekian banyak kelurahan 
> yang ada di Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, tampak keunggulan 
> atau memberikan ciri khas tersendiri. Di Kelurahan Heledulaa, misalnya, ada 
> sepeda yang sengaja digantung di depan halaman rumah. Sepeda itu lantas 
> dihiasi dengan warna-warni lampu. Tak lupa juga ada patung di sepeda tersebut.
> 
> 
> 
> Sementara di kelurahan lainnya, yang paling menonjol adalah gapura adat dan 
> jembatan penyeberangan. Untuk jembatan penyeberangan memang baru kali ini 
> dibuat. Di sana mereka yang tinggal di sekitar tempat itu, atau darang dari 
> kampung lain bisa menikmati berbagai lampu di sepanjang jalan. Juga ada musik 
> dangdut atau irama lainnya.
> 
> 
> 
> "Inilah yang sangat disayangkan sekarang ini. Tradisi tumbilo tohe yang 
> secara turun-temurun dilakukan mulai condong ke makna hura-hura," tandas 
> Soeleman Kakoe, tokoh masyarakat di daerah itu. Memang, diakuinya tradisi ini 
> sangat menarik, terutama bagi pendatang. Atau untuk melihat aktivitas 
> generasi muda antarkampung.
> 
> 
> 
> Pasalnya, generasi sekarang mendekati malam tumbilo tohe lebih terfokus 
> fisiknya, bukan mencari makna spritualnya. Sampai-sampai ada yang tidak lagi 
> berpuasa hanya karena ingin membuat model lampu yang unik dan lain dari yang 
> lain, dengan berbagai corak dan variasinya. Apalagi, pasang lampu ini 
> dipertandingkan antarkampung. Sementara untuk menarik supaya pendatang 
> melihat sebuah tempat, ada juga yang sampai joget, antara lain di atas 
> jembatan penyeberangan.
> 
> 
> 
> Padahal, pada waktu dulu, saat pertama memasang lampu saja, ada yang harus 
> dibaca. Yakni, surat At Qadr: Inna anzalnaahu fii lailatul qadr. Wa maa 
> adraaka maa lailatul qadr. Lailatul qadri khairum min alfisyahr. Tanazzalul 
> malaaikatu war ruuhu fiiha bi idzni rabbihim min kulli amr. Salaamun hiya 
> hattaa mathla'il fajr. verrianto madjowa
>


Kirim email ke