Barangkali inilah saatnya PLN berhemat. Padamkan saja listrik dimalam 
tumbilotohe ganti dengan lampu2 alternative seperti lampu minyak dan lain2.
Nuansanya bisa lebih terasa seperti jaman2 dulu. Dengan demikian bisa menambah 
kualitas kita dalam memaknai tradisi tumbilotohe. Dan juga bisa mengkampanyekan 
budaya hemat listrik.

Sent from my BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Icky Polapa" <icky...@yahoo.com>
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sun, 5 Sep 2010 17:56:26 
To: <gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: Re: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

Trima kasih pak very atas informsi yang sangat menarik dan jujur banyak hal yg 
saya baru tahu dr tulisan pak very tersebut, sdh seharusnya tradisi budaya 
Tumbilatohe di kampanyekan kpd masyarakat luas gtlo mengenai gmn kondisi 
sejarah tumbilatohe sprti tulisan pak VM agar ke depan bisa menemukan apa 
sebenarnya makna malam tumbilatohe di kaitkan dengan malam laitul Qadar, thks 
pak very 
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "v_madjowa" <v_madj...@yahoo.com>
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sun, 05 Sep 2010 17:25:15 
To: <gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap ‘Lailatul Qadar’

Harian Republika, Sabtu 3 April 1993


Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar'

Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya 
Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah berlangsung 
ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo 
sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang berharga ini, 
masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam "tumbilo tohe" atau 
"pasang lampu".

Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang lampu 
di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang harum, 
lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa disebut "tohe 
tutu" ini mampu bertahan beberapa jam.

"Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku dari 
buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini (kapas). 
Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa," tandas Usman yang juga 
Lurah di Limba ini. 

Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat 
penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan 
bahan bakar minyak kelapa bercampur air.

Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang tumbilo 
tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di Gorontalo. 
"27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo," katanya. 

Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. Tidak 
hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu 
melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun 
Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan variasi 
warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat dari 
berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu melambangkan 
kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang dipasang sesuai 
dengan jumlah anggota keluarga.

Amay dan Putri Palasa

Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay menjadi 
raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango di Palasa 
(Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, ketika Raja 
Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja Amay harus 
masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga Gorontalo. 
Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama seluruh warganya.

Selain lampu, masyarakat juga membuat "alikusu" atau gapura adat. Alikusu 
mempunyai dua bentuk – satu atau dua tingkat—yang menandakan strata sosial 
seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, dihiasi 
lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua tingkat 
biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan pembantunya. 
Sedangkan yang satu susun untuk rakyat.

Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya 
merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat 
fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, 
rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. 
Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu 
penerang jalan.

Hura-hura

Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang 
Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di 
Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam 
pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. Sementara 
di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di Gorontalo. Misalnya, 
di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang.

Di Gorontalo – yang dikenal dengan kerajinan kerawang – aktivitas malam tumbilo 
tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus bermunculan 
dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai ratusan per 
rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa.

Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, 
tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di 
"alikusu". Jika dibandingkan dengan tahun lalu, sekarang ini variasi malam 
pasang lampu bertambah lagi dengan pembuatan jembatan penyeberangan yang 
dihiasi dengan warna-warni lampu listrik.

"Sangat sulit menemukan bahan penerangan seperti yang dilakukan orang-orang tua 
dulu," tandas Usman. Kecuali, katanya, di desa-desa yang belum dialiri listrik, 
kalau di Kotamadya Gorontalo model semacam itu jarang sekali ditemukan.

Dan pada bulan Ramadhan tahun ini, sejak Sabtu malam (20/3) sampai malam 
takbiran, berbagai variasi lampu dapat ditemui. Dari sekian banyak kelurahan 
yang ada di Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, tampak keunggulan atau 
memberikan ciri khas tersendiri. Di Kelurahan Heledulaa, misalnya, ada sepeda 
yang sengaja digantung di depan halaman rumah. Sepeda itu lantas dihiasi dengan 
warna-warni lampu. Tak lupa juga ada patung di sepeda tersebut.

Sementara di kelurahan lainnya, yang paling menonjol adalah gapura adat dan 
jembatan penyeberangan. Untuk jembatan penyeberangan memang baru kali ini 
dibuat. Di sana mereka yang tinggal di sekitar tempat itu, atau darang dari 
kampung lain bisa menikmati berbagai lampu di sepanjang jalan. Juga ada musik 
dangdut atau irama lainnya.

"Inilah yang sangat disayangkan sekarang ini. Tradisi tumbilo tohe yang secara 
turun-temurun dilakukan mulai condong ke makna hura-hura," tandas Soeleman 
Kakoe, tokoh masyarakat di daerah itu. Memang, diakuinya tradisi ini sangat 
menarik, terutama bagi pendatang. Atau untuk melihat aktivitas generasi muda 
antarkampung.

Pasalnya, generasi sekarang mendekati malam tumbilo tohe lebih terfokus 
fisiknya, bukan mencari makna spritualnya. Sampai-sampai ada yang tidak lagi 
berpuasa hanya karena ingin membuat model lampu yang unik dan lain dari yang 
lain, dengan berbagai corak dan variasinya. Apalagi, pasang lampu ini 
dipertandingkan antarkampung. Sementara untuk menarik supaya pendatang melihat 
sebuah tempat, ada juga yang sampai joget, antara lain di atas jembatan 
penyeberangan.

Padahal, pada waktu dulu, saat pertama memasang lampu saja, ada yang harus 
dibaca. Yakni, surat At Qadr: Inna anzalnaahu fii lailatul qadr. Wa maa adraaka 
maa lailatul qadr. Lailatul qadri khairum min alfisyahr. Tanazzalul malaaikatu 
war ruuhu fiiha bi idzni rabbihim min kulli amr. Salaamun hiya hattaa mathla'il 
fajr. verrianto madjowa





Kirim email ke