PERANAN
AKIDAH DALAM MEMBINA MANUSIA 2
PEMBINAAN
PEMIKIRAN

Membebaskan
Akal Manusia

Akidah Islam memandang manusia sebagai makhluk yang mulia. “Dan sesungguhnya
telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami 
ciptakan”.[1]

Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi yang memiliki kelayakan untuk
mencapai derajat yang tinggi. Allah berfirman: “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhya Aku hendak menjadikan khalifah di
muka bumi’. Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan
membuat kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi, sedangkan kami senantiasa
bertasbih dengan memuji dan mensucikan-Mu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.[2]

Di samping manusia memiliki kelayakan di atas, ia juga bisa menyamai kedudukan
binatang. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia
dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya, ia mengulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia
mengulurkan lidahnya (juga)”.[3]

Lebih dari itu, ia bisa sejajar dengan benda mati. Allah berfirman: “Kemudian
setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi”.[4]

Atas dasar itu, akidah Islam memperhatikan kedua faktor kelemahan dan kekuatan
yang dimiliki oleh manusia itu.

Alquran memandang manusia sebagai makhluk yang lemah, gelisah (keluh kesah), 
tergesa-gesa,
condong melampaui batas, lalim dan bodoh.[5]

Atas dasar itu, Islam tidak memaksanya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
berat yang melampui batas kemampuannya, baik secara lahiriah mapun batiniah.
Allah berfirman:
لاَيُكَـلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

(Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya).[6]

Rasulullah saww bersabda : “Ada sembilan perkara yang dimaafkan atas umatku:
kesalahan (yang tidak disengaja), kelupaan, sesuatu yang dipaksakan kepada 
mereka
(untuk mengerjakannya), sesuatu yang mereka tidak tahu, sesuatu yang tidak
mampu mereka lakukan, sesuatu yang mereka terpaksa melakukannya, hasud,
kegegabahan (kurang hati-hati) dan merenungkan ciptaan semesta dengan disertai
keraguan selama mereka belum mengungkapkannya dengan perkataan”.[7]

Dalam hadis yang lain beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ
الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

(Tiga orang terbebaskan dari kewajiban: orang gila hingga ia sembuh, orang
tidur hingga ia bangun dan anak kecil hingga ia dewasa).[8]

Dengan demikian akidah Islam menganggap bahwa faktor-faktor kelemahan yang
terdapat dalam dalam diri manusia adalah satu hal yang lumrah dan muncul
bersama penciptaannya sebagai manusia, bukan satu realita yang dapat membasmi
kebebasan memilih dan kemampuannya untuk membentuk diri dan bergerak leluasa.

Oleh sebab itu, karena akidah Islam ingin membina manusia yang sempurna, maka
ia berusaha untuk menfokuskan perhatian manusia terhadap sisi positif dari 
keberadaannya
(dan melupakannya dari faktor kelemahan yang dimilikinya).

__________________________________________________
Anda Ber-Yahoo!?
Bosan dengan spam?  Mel Yahoo! mempunyai perlindungan spam yang paling baik
http://my.mail.yahoo.com 

Kirim email ke