Rekan IAGI

Menyambung e-mail saya kemarin , terlampir dilampirkan betapa
"mengerikan" kerugian RI sebagai pemilik sumberdaya alam  pasir laut
dalam "perdagangan" dengan negara tetangga kita Singapura .(Kompas 18
Oktober 2002).Mudah mudahan kita tergugah untuk turut memikirkannya.

1. Pemegang proyek reklamasi adalh Pemerintah Singapura yang
mengharapkan perluasan daerah teritorialnya, untuk dipergunakan sebagai
tempat hidup mereka.
2.Pelaksana reklamasi adalah perusahaan (sebagian besar adalah non
Singapura) yang berkepentingan atau sangat mebutuhkan bahan berupa pasir
laut.
3. Perluasan Singapura ( yang dulunya hanya seluas 580 Km - persegi )
telah dimulai sejak tahun 1960 an (dus direncanakan secara terperinci)
dan tentunya dengan sudah mempersiapkan segala aspek , mungkin juga
aspek hukum internasionalnya)
Dengan demikian telah berlangsung lebih dari empat pulh tahun.
Sekarang luas teritorial Singapura telah menjadi 660 Km-persegi
pertambahan kl.25 % dari awal.
Ini dicapai dengan membeli pasir laut dari Indonesia dengan harga murah
dimana pengusaha Indonesia tidak mempunyai posisi tawar yang kuat (atau
bahkan tidak punya kekuatan sama sekali).
5. Jumlah pasir laut yang telah diekspor diperkirakan mencapai 7- 8
milyar meter kubik.Kemana uang hasil "penjualan yanah air " ini ?
Saat ini harga pasir laut adalah Sin $ 3.00/meter kubik.
Sebagian besar pasir laut ini dengan berbagai cara diselundupkan ke
Singapura, sehingga Pemerintah (Pusat maupun daerah) kehilangan
pendapatan yang sangat besar.
Menurut Kompas kehilangan pendapatan pertahun (berdasarkan "produksi"
thn 2001dan kontrak 2002-2006 ) adalah sebesar :(pertahun)
Pajak ekspor  -   Rp.483 milyard
Royality (Pusat dan daerah - RP. 1.000.000.000.000,- (kl 1 triliun).
7. Mengingat posisi tawar Pengusaha "nasional" Indonesia (yang sudah
menjadi kartel) sangat lemah dihadapan pembeli dari Singapura, sudah
waktunya Pemerintah campur tangan dengan melakukan G to G agreement
mengenai penjualan pasir laut , kelihatannya ini akan memberikan suatu
cara penambangan yang lebih baik , dan dapat menghindarkan kerusaan yang
akan timbul dilaut.

Disamping itu tentunya peraturan yang lebih tegas dengan hukuman yang
lebih keras bagi pelanggar penambangan terlepas apakah itu WNI atau WNA.

Menurut saya jumlah pasir laut yang akan ditambang harus ditentukan
berdasarkan kepentingan Indonesia dengan memperhatikan segala dampak
yang akan timbul bagi rakyat Kepulauan Riau seperti nelayan , biota 
atau lingkungan biologi laut.
Saya tidak apriori bahwa penambangan pasir laut harus dihentikan , akan
tetapi haruslah dilakukan dengan mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan
bagi rakyat Indonesia , bukankah itu sudah merupakan komitmen kita dalam
UUD ???

Apakah kita akan melakukan tindakan seperti Malaysia yang menjual "air"
dan menuntut secara wajar , atau kita menjadi penjual "tanah" yang tidak
bermartabat?

Si Abah

---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
=====================================================================

Reply via email to