Lagi-lagi kalau aku lebih mementingkan penjelasan serta pendidikan ke 
"cowboy-cowboy" ini.
Mereka perlu diberitahukan bagaimana proses eksplorasi itu berjalan di 
Indonesia, termasuk didalamnya 'cost recovery'. Mereka mana tau adanya 
kerugian disemua pihak kalau sebuah project terbengkalai. 

Apakah hanya pendidikan ke rakyat ? ... tentunya tidak ... semua pihak 
(explorer, pemerintah pusat dan juga daerah) juga harus saling mengerti 
kepentingannya. Rakyat lokal sering "merasa" tidak mendapatkan "hak"nya. 
Walopun akau jg ga tau mana yg lebih ber"hak" atas kekayaan alam, karena 
mana yg disebut proporsional itu ya harus dirundingkan dan ada tata caranya. 
Entah dengan otonomi, perserikatan, ataupun terpusat semuanya mesti dengan 
perundingan. 

Temen-temen yg operasinya di darat tentunya lebih banyak tahu ttg konflik 
ini, terutama setelah ada otoda.

Nah lagi2 saya yakin proses perundingan yg merugikan semua pihak ini perlu 
penengah yg bener2 netral .... siapa ? 
LSM ? IAGI lagi ?
Berat juga rek ... 
Salah-salah 'gajah bertarung hebat, kucing ke-injek2 dibawahnya'.

RDP
'emang iagi kucing ?"

On 4/21/05, sugeng.hartono <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> 
> Artikel ini juga dimuat di koran lokal Jambi edisi kemarin.
> Apakah tidak ada cara yang lebih arif, misalnya pemboran tetap berjalan,
> tetapi perundingan juga berjalan sehingga tidak ada kerugian yang 
> semestinya
> tidak perlu.
> 
> Sugeng
> 
> ----- Original Message -----
> From: "Musakti, Oki" <[EMAIL PROTECTED]>
> 
> Maka, sudah hampir sebulan ini (larangan tersebut terhitung sejak 23
> Maret 2005), rig itu nganggur. Sewa rig tersebut sekitar USD 20.000
> (sekitar Rp 180 juta) per hari. Maka, kalau sebulan ini tidak ada
> pencabutan surat bupati tersebut, kerugian langsungnya saja sudah hampir
> Rp 3 miliar. Gelisahkah investor asing atas munculnya kerugian itu?
> 
> Tidak!



-- 
Education can't stop natural disasters from occurring, 
but it can help people prepare for the possibilities ---

Reply via email to