Semua orang sekarang gampang beringas dan lupa diri. Yang menyiksa copet dengan 
copetnya sendiri sama-sama bersalah. Kalau yang disiksa itu bukan copet, 
bagaimana urusannya, tentu di Atas yang akan membalas orang-orang yang menyiksa 
itu. 
 
Penegak hukum pun menyiksa dulu sebelum menanyai si tersangka. Dibawa ke pos 
polisi, PM, AURI memang aman dari amukan masyarakat tetapi belum tentu aman 
dari siksaan aparat keamanan.
 
Orang-orang terpelajar pun sudah biasa tawuran, dari anak SD-mahasiswa tawuran, 
beringas dan lupa diri. 
 
Penonton bola Persita vs Persija tawuran karena kesebelasan pujaannya dihina 
supporter lawan. Beringas dan lupa diri, stadion dibakar, diawut-awut, lupa 
bahwa lalu tak bisa dipakai lagi untuk pertandingan sepak bola.
 
Orang-orang terhormat yang duduk di lembaga pemerintah pun beringas dan lupa 
diri, sudah berapa kali kejadian kan sidang-sidang mereka lebih mirip adu debat 
kusir dan adu otot. 
 
Ah, susah sekali memperbaikinya. Moralitas, ramah tamah, sopan santun, jujur 
adalah barang2 langka di Indonesia. Atas nama agama pun mereka menyiksa dan 
membakar..., apalagi kalau bukan atas nama itu ...?!
 
salam prihatin,
awang
 
 
 


sujatmiko <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
MASYARAKAT YANG BERINGAS DAN LUPA DIRI




Rekan-rekan Ahli Geologi yang budiman,

Beberapa hari yang lalu, sesaat setelah adzan magrib, terdengar suara ribut di 
depan rumah di Jl.Pajajaran Bandung. 

Seorang gadis pelajar SLTA tampak menangis histeris : "Handphone saya 
dicopet!". Serombongan orang berlari ke arah timur sambil berteriak : "Kejar, 
kejar!". Suasana kemudian hening dan saya pikir pasti si pencopet sudah 
berhasil kabur. Tetapi, tak sampai sepuluh menit kemudian, suara ribut kembali 
memecah keheningan : "Copetnya tertangkap, temannya yang dua kabur!" Seorang 
remaja umur dua puluh tahunan tampak digiring beramai-ramai ke arah barat. Saya 
mengajak Marwan, staff saya untuk mengikuti rombongan tersebut. Sekitar dua 
puluh meteran dari rumah, beberapa orang mulai unjuk kekuatan. Mereka 
bergantian menghantam rusuk si pencopet, meninju mukanya dan menendang dadanya. 



Darah mulai menetes dari mulut dan pipi si pencopet. Tak berapa lama, tubuhnya 
rubuh di aspal. Beberapa orang masih tega menendang kepala dan bagian tubuh 
lainnya. Saya tak tahan melihat pemandangan yang mengerikan itu. Dengan setelan 
jas yang masih saya pakai (baru pulang pertemuan Rotary) dan bekal Basmallah, 
saya berkeyakinan insyaallah dapat menjinakkan orang-orang yang sudah kemasukan 
setan tersebut. Saya langsung maju dan memegang serta mengangkat leher baju si 
pencopet. Satu dua tendangan dan pukulan masih mendarat. 



Saya berteriak mengingatkan mereka untuk tidak lagi menyiksa orang yang sudah 
tidak berdaya. Mereka mulai gentar dan saya memanfaatkan kesempatan tersebut 
untuk membawa si pencopet ke pos AURI yang letaknya tidak berapa jauh. Satu dua 
orang masih berani memukul. Sekitar dua puluh meteran sebelum pos AURI, si 
pencopet memeluk saya : "Terima kasih Pak, saya diselamatkan, tolong saya Pak, 
saya tidak mencopet !" 

Mendekati pos AURI, saya menjadi ragu karena tidak satupun dari orang-orang 
yang beringas tadi yang mengikuti saya. Saya mencoba meyakinkan hati saya bahwa 
dengan jas yang saya pakai insyaallah petugas provost tak akan bertingkah 
sembarangan. Allah Maha Besar, salah seorang dari dua petugas provost mendekat 
: "Ada apa Pak ?" Saya jawab : "Saya serahkan orang ini Pak, katanya nyopet 
handphone, tapi saya tak punya bukti. Saya hanya mencoba menolong dia karena 
kalau tidak, mungkin bisa mati dipukuli massa !" Seseorang datang ke pos AURI 
dan memberikan penjelasan : "Ya Pak, kalau tidak ada Bapak ini, pasti sudah 
mati !" 

Si pencopet kemudian dibawa masuk, dan langsung diperiksa. Ternyata dia tak 
membawa surat keterangan atau KTP. Petugas bilang : "Biar kau tidak mencopet, 
tetapi harus ditahan karena tidak bawa KTP !"



Ketika saya siap-siap pergi, terlihat ada mobil angkutan kota yang berhenti. 
Seorang gadis berseragam SLTA yang ternyata pemilik handphone yang dicopet 
tampak meloncat keluar dari pintu mobil. Ketika melihat si pencopet, dia 
langsung menangis dan berteriak histeris : "Betul Pak, dia pencopetnya. Ayo 
kembalikan handphone saya !" Kedua petugas provost yang badannya besar-besar 
dan ukuran tangannya hampir sebesar betis saya, langsung memukul bergantian 
muka si pencopet yang masih meneteskan darah segar. Saya merasa tak berdaya 
untuk menghentikan amukan kedua petugas provost tersebut dan saya segera 
bergegas meninggalkan pos AURI karena tidak tega menyaksikan pemandangan yang 
begitu menyesakkan dada.



Rekan-rekan Ahli Geologi yang budiman,

Saya tidak tahu lagi, bagaimana nasib selanjutnya dari si pencopet, masih 
hidupkah atau sudah matikah akibat gegar otak atau luka dalam. Saya hanya bisa 
merenung, mengapa masyarakat kita termasuk mahasiswanya (sampai tega menyiksa 
secara fisik salah satu Pembantu Rektor di Surabaya) menjadi sedemikian lupa 
diri? Siapakah yang salah dan berapa generasikah diperlukan untuk 
menyembuhkannya? Bukankah kata Aa Gym : hati adalah lentera dan sekaligus 
cahaya Ilahi?



Semoga pengalaman pribadi di atas ada manfaatnya untuk direnungkan agar kita 
tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang lupa diri. Semoga !



Hormat, Sujatmiko


                
---------------------------------
 Start your day with Yahoo! - make it your home page 

Kirim email ke