Di dalam waktu dua hari perjalanan lapangan di Jawa Tengah (28-29 Desember 
2009), sembilan geologist dan geophysicist BPMIGAS (Awang, Cepi Irawan, Cipi 
Armandita, Agung Gunawan, Arii Arjuna, Sumaryana, Andre, Irfan Taufik , 
Abdurrohim); tiga geologist UPN Veteran Yogyakarta (C. Prasetyadi, Vian Bonny, 
Adi Gunawan) dan seorang petroleum engineer (Jalu-BPMIGAS) melakukan perjalanan 
selama 75 juta tahun dalam skala waktu geologi. Kelancaran selama di lapangan 
dibantu oleh tiga staf dari Paramitha Tour Yogyakarta atas kerja sama dengan 
UPN.

Hal ini dimungkinkan dengan cara melakukan transect (lintasan memotong) dari 
selatan ke utara, dari wilayah Luk Ulo ke Kendal, dari batuan tertua ke batuan 
termuda, dari singkapan batuan berumur sekitar 80 juta tahun ke singkapan 
berumur sekitar 5 juta tahun, dari melange Luk Ulo ke batugamping Kapung di 
Lapangan Cipluk.

Divisi Eksplorasi BPMIGAS bersama beberapa divisi lainnya setiap tahun 
melakukan dua kali fieldtrip atau ekskursi geologi dengan berbagai tujuan. 
Setelah tujuh tahun dilakukan, atau sejak 2002, tinggal wilayah Maluku dan 
Papua yang belum dikunjungi. Maksud melakukan fieldtrip ini tentu banyak, 
misalnya : memberikan penyegaran geologi lapangan kepada para pekerja BPMIGAS, 
melakukan diskusi-diskusi dengan perguruan-perguruan tinggi atau 
lembaga-lembaga penelitian yang dilibatkan, melakukan kajian-kajian tertentu di 
wilayah-wilayah yang dinilai menarik secara geologi maupun geologi migas, dan 
memberikan pengenalan geologi lapangan kepada pekerja-pekerja BPMIGAS 
non-geologist yang diikutsertakan.

Menutup tahun 2009 ini, Eksplorasi BPMIGAS melakukan fieldtrip mengusung tema 
"geologic transect of Central Java" dengan fokus mempelajari aspek-aspek 
geologi migas Cekungan Serayu Utara. Fieldtrip dilakukan empat hari termasuk 
perjalanan dari dan kembali ke Jakarta. Dalam pelaksanaan fieldtrip ini, 
BPMIGAS bekerja sama dengan Jurusan Geologi UPN Veteran Yogyakarta (Pak 
Prasetyadi dan Tim). 

Fokus fieldtrip dipilih Cekungan Serayu Utara karena inilah salah satu wilayah 
di Jawa yang tertinggal tidak dieksplorasi secara serius oleh 
perusahaan-perusahaan minyak. Di sisi lain, wilayah ini kaya akan rembesan 
hidrokarbon dan mestinya memiliki semua elemen dan proses petroleum system. 

Kami berangkat dari kantor BPMIGAS di Patra Office Tower , Jakarta pada hari 
Minggu 27 Desember 2009 pukul 08.40 menggunakan bus carter "Big Bird" ukuran 
sedang. Tujuan kami adalah Purwokerto sebab perjalanan lapangan akan dimulai 
dari selatan, dari batuan tertua di Jawa Tengah (dan Jawa). Menuju Purwokerto, 
perjalanan diputuskan mengambil jalur selatan (via Tasikmalaya dan Majenang) 
agar mendapatkan panorama fisiografi yang lebih menarik. Mulai tengah hari, 
hujan gerimis-lebat mengguyur bus sepanjang perjalanan. Kami istirahat dua kali 
untuk makan siang di Limbangan, Garut dan minum kopi di sebuah warung kopi 
menjelang kota Majenang untuk mengurangi rasa penat, dingin dan kantuk. Sesuai 
yang diperkirakan, pukul 19.00 kami tiba di Purwokerto, bertemu dengan Tim UPN 
dan menginap di Hotel Dynasty. Setelah makan malam di Restoran "Asiatic", kami 
melakukan diskusi tentang geologi regional Jawa dan detail rute fieldtrip yang 
akan dilalui. Pukul 22.00 diskusi
 usai.

Senin 28 Desember 2009 setelah sarapan, kami memulai perjalanan lapangan 
menggunakan bus carter "Pegasus" ukuran menengah yang dibawa teman-teman UPN 
dari Yogyakarta. Bus ini sudah biasa digunakan teman-teman UPN dalam melakukan 
fieldtrip, sehingga Pak Sopirnya sudah biasa melakukan manuver-manuver di 
jalan-jalan sempit dan curam dekat lokasi-lokasi singkapan. Meskipun demikian, 
karena keamanan harus diutamakan, di jalanan yang terlalu berbahaya untuk bus, 
teman-teman UPN telah siap dengan pasukan motor ojeg dan L-300. Hari pertama di 
lapangan akan menempuh perjalanan yang cukup berat dan panjang. Tujuan 
pengamatan adalah melange Luk Ulo dan kompleks batuan pra-Karang Sambung di 
Serayu Selatan berumur pra-Tersier sampai Eosen Awal, dan kompleks batuan 
volkanoklastik Merawu, Penyatan, Halang di Serayu Utara berumur Miosen 
Awal-Miosen Atas.

Dari Purwokerto, kami melalui Sokaraja kemudian berbelok ke selatan menuju 
Banyumas. Dari Banyumas, kami berbelok ke timurlaut menuju Banjarnegara. Jalan 
ini sejajar dengan Pegunungan Serayu yang sesungguhnya merupakan tiga jalur 
antiklin besar yang sambung-menyambung berarah BBD-TTL : Antiklin Banyumas, 
Antiklin Gombong, Antiklin Karangsambung. Sebelum Banjarnegara, di sekitar 
Purwareja bus berbelok ke selatan masuk ke jalan sempit , inilah jalan menuju 
kompleks batuan dasar Luk Ulo. Akses ke Luk Ulo dari arah utara ini jarang 
dilakukan para geologist, kebanyakan geologist mencapai Luk Ulo dari arah 
selatan, dari Kebumen. Akhirnya, jalan terlalu sempit dan terjal untuk bus 
masuk terus. Maka, dengan lima motor ojeg kami bergantian diantar ke lokasi 
mendekati singkapan. Untuk mencapai singkapan melange Luk Ulo di dasar Sungai 
Sapi (anak Sungai Serayu), kami meneruskan berjalan kaki sekitar 400 meter 
termasuk melalui jembatan gantung tua di atas Sungai
 Sapi dengan beberapa papan hilang atau lapuk di beberapa tempat. Jembatan 
terlalu berbahaya untuk diseberangi beramai-ramai, maka kami berdua-dua 
bergantian menyeberang. Tinggi jembatan dari muka sungai sekitar 30 meter. 
Motor penduduk beberapa kali lewat jembatan dan selalu ngebut, rupanya memang 
harus ngebut agar goyangannya berkurang.

Di dasar Sungai Sapi di sekitar bawah jembatan tersingkap melange Luk Ulo : 
peridotit yang umumnya terserpentinisasi yang khas warnanya (hijau tua seperti 
ular, sesuai namanya 'serpent' -ular), rijang radiolaria yang juga khas 
warnanya : merah hati, marmer yang sangat keras berwarna coklat tua dan 
berdenting nyaring (tanda keras) ketika dihantam palu batuan beku dalam usaha 
mengambil sampel, basal yang bersatu dengan rijang ciri kompleks MOR 
(mid-oceanic ridge) dan endapan pelagos, dan kuarsa di antara serpih bersisik 
(scally clay) hasil dewatering saat deformasi melangisasi terjadi (quartz 
sweating). Sementara itu, tebing Sungai Sapi tersusun oleh fragmen-bongkah 
melange yang tertanam dalam massa dasar volkaniklastik. Kemungkinan besar ini 
adalah tebing dengan endapan molas pasca pengangkatan Luk Ulo sehabis Miosen 
Atas. 

Dari Sungai Sapi, kami kemudian masuk lebih dalam lagi ke arah selatan ke Kali 
Poh yang merupakan anak Sungai Sapi. Kami menyusuri Kali Poh sekitar 3 km dan 
menemukan dua kelompok batuan : melange Luk Ulo lanjutan dari Sungai Sapi, 
kemudian makin ke hulu adalah formasi batuan yang diusulkan oleh Pak Prasetyadi 
sebagai Formasi Bulukuning (Prasetyadi, 2007 -disertasi doktor; Prasetyadi, 
2008 -PIT IAGI Bandung). Berjalan hampir 3 km di Sungai Poh, kami menemukan 
variasi satuan-satuan batuan penyusun Formasi Bulukuning : batupasir yang 
sebagian termalihkan (metamorfisme), serpih yang sebagian termalihkan, 
konglomerat, dan batugamping yang mengandung fosil Nummulites berumur Eosen 
Awal (bukan spesies Nummulites yang sama seperti yang ditemukan di Bayat dan 
Formasi Karangsambung). Prasetyadi (2007, 2008) menafsirkan bahwa kompleks 
batuan Bulukuning merupakan hasil endapan laut dangkal di cekungan-cekungan 
kecil di atas prisma akresi melange Luk Ulo bagian
 utara, sementara di sebelah selatannya di lereng palung diendapkan 
sedimen-sedimen yang kemudian terkenal sebagai Formasi Karangsambung yang 
umurnya relatif lebih muda daripada Bulukuning.

Menjelang tengah hari karena perjalanan hari itu masih jauh dari akhir, kami 
kembali menghilir, naik jembatan gantung lagi, naik ojeg lagi dan kembali ke 
bus. Cukup melelahkan, tetapi menyenangkan. Bus lalu melanjutkan perjalanan 
menuju Banjarnegara. Di tepi kota Banjarnegara, bus berhenti di RM "Sari 
Rahayu". Berkat koordinasi yang baik dari Tim UPN, hidangan yang sangat nikmat 
telah menanti -makin terasa nikmat setelah menyusuri sungai. Hidangan khas 
berupa urap daun pepaya muda dan wader (ikan kecil), tetapi saya masih terkesan 
dengan nasi panasnya yang masih berasap, ayam goreng, dan tentu saja sambal. 

Karena perjalanan masih harus dilanjutkan ke Karangkobar, Plato Dieng dan 
berakhir di Wonosobo, kami tak bisa terlalu lama di Banjarnegara. Bus segera 
memacu lagi, menyeberangi jembatan Sungai Serayu bagian hulu, jembatan ini 
sekaligus menandai masuk ke wilayah geologi lain : Serayu Utara. Sebenarnya, 
dari Banjarnegara tinggal meneruskan jalan provinsi ke arah timur-timurlaut 
menuju Wonosobo tempat menginap malam kedua, tetapi kami mesti melambung dulu 
ke utara sampai Karangkobar dan Plato Dieng untuk mengamati beberapa singkapan 
volkanoklastik Cekungan Serayu Utara : Merawu, Penyatan dan Halang.

Kalau di Serayu Selatan sebelumnya kami bermain-main di skala waktu pra-Tersier 
sampai Eosen, di Serayu Utara berada di wilayah Miosen. Endapan Oligosen-Miosen 
Awal yang bersamaan dengan OAF (Old Andesite Formation) di Serayu Selatan 
berupa endapan-endapan volkanoklastik Totogan-Waturanda-Penosogan atau terkenal 
dengan seri tuff dan breccia horison 1-3 dari Harloff (1935) dan ekivalennya di 
Serayu Utara kami pelajari dalam diskusi-diskusi malam.

Stop pertama di Serayu Utara adalah pemandangan intrusi diorit Halang di 
Banjarmangu (5 km utara Banjarnegara) yang menyisakan fisiografi seperti 
volcanic neck. Tidak jauh darinya, kami berhenti lagi di dekat sebuah jembatan 
yang terkenal bernama Jembatan Komrat di dekat bagian hilir Sungai Merawu 
(Sungai Merawu adalah anak Sungai Serayu). Di sini ditemukan beberapa singkapan 
breksi dan lava Halang. Mengaitkan volcanic neck intrusi diorit, lava dan 
breksi volkanik yang merupakan fasies-fasies volkanik berbeda-beda, maka kita 
bisa merekonstruksi mana pusat erupsi, mana endapan volkanik proksimal dan mana 
endapan volkanik yang jauh (distal). 

Sebelum Karangkobar, kami berhenti di sebuah singkapan tebing yang cukup 
spektakular; lapisan-lapisan sedimen batulempung volkanik Merawu yang berumur 
Miosen Awal bagian atas dideformasi oleh intrusi tiang (dike) Halang yang 
berumur Miosen Atas. Efek pemanggangan (baking effect) masih jelas terlihat. 
Sehabis Karangkobar menjelang Pejawaran di sebelah selatan Plato Dieng, kami 
berhenti di sebuah singkapan kecil tepi jalan yang menyingkapkan batupasir 
tufan dan sedikit karbonatan -napal yang menunjukkan selang-seling seperti 
sekuen turbidit, itu diperkirakan bagian Formasi Penyatan yang secara regional 
bisa dikorelasikan dengan Third Marl Tuff (Harloff, 1935) di Serayu Selatan.

Tak banyak singkapan Merawu, Penyatan dan Halang yang bisa kami pelajari di 
rute Banjarnegara sampai Plato Dieng karena batuan volkaniklastik ini kini 
hampir seluruhnya telah tertutup oleh volkaniklastik terbaru (Kuarter) kompleks 
Pegunungan Serayu Utara atau Kompleks Rogojembangan di wilayah Dieng. Bila ada 
singkapan-singkapan Merawu-Penyatan-Halang di wilayah ini, itu berarti semacam 
inlier atau jendela singkapan tua yang dikelilingi singkapan muda di atasnya.

Stop terakhir hari Senin 28 Desember 2009 itu adalah melihat rembesan gas yang 
muncul di tengah ladang sayuran penduduk Dieng di Dusun Pancasan antara 
Pejawaran dan Batur. Saat itu hari sudah pukul 17.00 dan tentu saja berkabut 
tebal sebab kami sudah di wilayah Plato Dieng. Bus diparkir di tepi sebuah 
kampung, lalu kami berjalan sekitar 500 meter menuju ladang sayuran. Tim UPN 
yang sebelumnya sudah melakukan survei pendahuluan ke tempat ini memanggil 
seorang penduduk bernama Pak Setu (mungkin hari kelahirannya Sabtu) yang dengan 
bahasa isyaratnya (karena Pak Setu bisu dan mungkin tuli juga) dengan gembira 
menunjukkan bagaimana gas itu keluar. Ia membuka pipa paralon kecil penyalur 
gas dari tanah ladang dan menyalakan geretan, secara serta merta api pun yang 
berwarna kuning jingga dengan kelebatan warna biru menyala dengan ketinggian 
sekitar setengah meter. Gas ini ditampung pipa paralon dan dialirkan ke 
rumah-rumah penduduk sekitarnya dialirkan ke kompor
 -kompor yang telah dimodifikasi. 

Kami mendatangi dua rumah penduduk untuk melihat bagaimana gas dimanfaatkan. 
Wawancara tentang asal muasal gas dan pemanfaatannya dilakukan dalam bahasa 
Jawa di tengah suasana bau kemenyan yang berasal dari rokok-rokok khas yang 
diisap penduduk Dieng yang terbuat dari daun jagung dan tembakau. Asal gas ini 
diketahui ketika rumput-rumput dan sayuran di ladang tiba-tiba mati. Saat tanah 
digali karena ingin mencari penyebabnya, tiba-tiba gas mengalir dan bisa 
dibakar. Sejak itulah gas dimanfaatkan penduduk dengan ditampung. Itu terjadi 
tujuh tahun yang lalu. Apakah ini gas biogenik atau termogenik, belum 
diketahui, walaupun katanya pemerintah daerah setempat pernah menelitinya. Gas 
biogenik atau termogenik, hanya akan diketahui bila kita melakukan analisis 
isotop karbon-13, lebih bagus lagi bila sekaligus melakukan analisis isotop 
deuterium, dan akan makin bagus lagi bila melakukan analisis isotop karbon-13 
untuk fraksi metana, etana, propana, dan butana.
 Dari angka-angka rasio isotop ini, cerita yang dibangun bisa panjang sampai ke 
petroleum system.

Kembali ke bus di tepi kampung, hujan mengguyur di tengah kabut Plato Dieng 
yang semakin menebal. Pak Setu dengan sigap menyiapkan beberapa helai daun 
pisang pengganti payung. Hm, kapan lagi berpayung dengan daun pisang ? Rasanya 
sudah lama sekali saya tak berpayung dengan daun pisang. Jalan ke bus yang 
menanjak, di tengah guyuran hujan dan kabut tebal cukup membuat dada yang lama 
tak dilatih menjadi sesak...

Sisa perjalanan hari itu adalah kembali ke selatan menuju Wonosobo tempat 
menginap malam kedua. Gelap mulai menyelimuti Plato Dieng. Karena jalanan 
gelap, sempit dan terjal lagipula licin, diputuskan menggunakan sebuah mobil 
pick up mungkin punya pengusaha setempat untuk membimbing bus (seperti escort 
atau voor rijder) melalui punggung Plato Dieng. Kalau saja siang hari, tentu 
pemandangan sangat indah di sini. Malam hari tak terlihat apa-apa, selain hanya 
merasakan jalan menanjak, menurun, dan berputar. Sebagian dari kami lelap 
kecapaian. Akhirnya kami selamat sampai jalan besar menuju Wonosobo, pick up 
sang escort menyelesaikan tugasnya, bus meluncur lancar sampai Wonosobo. Kami 
sampai di Hotel Kresna, Wonosobo pukul 20.30 setelah sebelumnya mampir di rumah 
makan "Asia" dan menyantap habis semua hidangan karena perut kelaparan dan 
badan kedinginan.

Meskipun lelah, komitmen harus tetap berjalan. Kami berkumpul di sebuah ruang 
rapat Hotel Kresna sampai pukul 23.15 mendiskusikan apa yang kami lihat hari 
ini, mendikusikan geologi depresi Bogor-Serayu Utara-Kendeng dan kemungkinan 
hidrokarbonnya, mendiskusikan tektonik Jawa Tengah, mendiskusikan segmen kaya 
rembasan di wilayah antara Majalengka dan Banyumas, dan Halang yang terangkat 
di wilayah itu serta depresi-depresi yang mengapit di sebelah-sebelahnya 
(Citanduy di selatan dan Bobotsari-Purbalingga di utara) dan semua kesulitan 
operasi seismik dan bor di wilayah volkanik Jawa. Dalam geologi, kegiatan 
lapangan harus selalu berjalan bersama kegiatan analisis dan interpretasi serta 
diskusi-diskusi.

Hotel Kresna mungkin hotel terbesar di Wonosobo, sebuah hotel yang megah dengan 
arsitektur gaya gothic yang masih kental, peninggalan zaman Belanda, dengan 
patung-patung logam berwarna gelap tentara VOC Kompeni (Vereenigde 
Oost-Indische Compagnie) menghias di beberapa sudut hotel. Bagus meskipun tak 
bisa dipungkiri kesan seram masih ada... Sampai tengah malam, beberapa dari 
kami (Pak Prasetyadi, Cepi Irawan, Cipi Armandita, Arii Arjuna dan saya) masih 
ngobrol sambil menyeruput coklat hangat dan menyantap pisang keju di tengah 
hawa dingin Wonosobo.

Selasa 29 Desember 2009, pagi hari dari hotel masih terlihat dua saudara Gunung 
Sundoro dan Gunung Sumbing membentengi kota Wonosobo. Ke sebelah baratlaut, 
masih terlihat igir (punggungan) Plato Jampang dengan Gunung Prau (Perahu) 
sebagai puncak plato (2565 m). Namun tak sampai sejam kemudian, mereka lenyap 
ditutup awan mendung.

Perjalanan hari ketiga akan menempuh rute Wonosobo-Parakan-Patean (Kab. 
Kendal)-Semarang. Target utama adalah mengunjungi singkapan Formasi Banyak, 
Formasi Kapung, dan lapangan minyak tua Cipluk. Kami berangkat setelah sarapan, 
sekitar pukul 08.30. Perjalanan ke stop pertama cukup jauh (sekitar 2,5 jam), 
semuanya melalui fisiografi volkanik Kuarter Sundoro-Sumbing dan kaki Dieng. 

Di suatu tempat bernama Patean, jalan kecil belok ke timur dari jalan raya yang 
menghubungkan Parakan-Weleri, bus diparkir. Kami berganti kendaraan dengan dua 
mobil L-300 kepunyaan penduduk Patean untuk menuju Desa Kalices lalu Dusun 
Cipluk. Jalan sangat sempit, sebagian diaspal, sebagian beton, sebagian 
berbatu. 

Stop pertama adalah di dekat balai desa Kalices. Di sebuah tebing di dekatnya 
tersingkap batuan batupasir tufan yang berselingan dengan batulempung 
menunjukkan sekuen turbidit. Ini adalah bagian Formasi Banyak (Miosen Atas) 
yang merupakan salah satu reservoir di lapangan Cipluk. 

Lalu mobil L-300 melanjutkan perjalanannya ke Dusun Cipluk yang terletak di 
lembah. Mobil berhenti di ujung jalan batu. Selanjutnya, kami meneruskan dengan 
jalan kaki. Di dekat ujung jalan, kami menemukan singkapan batugamping koral 
Formasi Kapung (Pliosen) yang seumur dengan Formasi Karren di Jawa Timur. 
Sampel yang saya peroleh masih menunjukkan bentuk brain coral seperti bentuk 
umur moderennya.

Dari sopir L-300 kami mendapatkan informasi bahwa ada sumur di ladang jagung 
yang minyaknya suka ditimba penduduk Cipluk. Kami menuju ke sana, dan setelah 
berjalan menuruni lembah sejauh sekitar 500 meter dengan bantuan penduduk 
setempat maka ditemukanlah sebuah kepala sumur di antara ladang tanaman jagung. 
Kepala sumur berupa casing ukuran 7" yang ditutupi kayu bulat jati dan sebuah 
gembok. Menurut keterangan penduduk, setiap pagi sumur ditimba menggunakan busa 
atau spons, lalu spons diperas menghasilkan minyak sekitar 20 liter. Katanya, 
ada lima sumur tua Cipluk ditimba dengan cara demikian. Kami sebenarnya ingin 
melihat bagaimana penduduk menimba salah satu sumur tua Cipluk ini. Lalu atas 
keramahan penduduk, mereka mengusahakan memanggil si penimba. Setelah menunggu, 
si penimba ternyata sedang tidak di rumahnya, tetapi kami diberikan sebotol 
besar minyak Cipluk yang secara fisik terlihat seperti minyak ringan (derajat 
API tinggi), kandungan sulfur
 rendah. Sangat penting mengetahui asal minyak ini dan semua sejarah yang telah 
dilaluinya, bila kita ingin serius mengevaluasi Serayu Utara. Analisis geokimia 
bulk properties, isotop karbon-13 dan biomarker akan memberitahukan semua 
riwayat yang telah dilalui minyak ini.

Stop terakhir fieldtrip kami adalah di tengah guyuran hujan di pelataran sumur 
Cipluk yang lain yang telah dimodernisasi oleh sebuah perusahaan dengan 
memasang kepala sumur produksi era modern bertekanan 5000 psi. Posisi sumur ini 
diperkirakan di puncak antiklin Cipluk, yang kini telah tererosi paling dalam 
sehingga menjadi dataran lembah Cipluk.

Dari keterangan van Bemmelen (1949) di buku jilid keduanya dan beberapa 
informasi lain yang berhasil dikumpulkan, Lapangan Cipluk ditemukan tahun 1889, 
atau lapangan kedua yang ditemukan di Jawa setelah Kuti di dekat Surabaya 
(1888). Produksinya dimulai tahun 1903 sampai 1912, ditinggalkan tahun 1933. 
Ada 12 sumur dibor dengan kedalaman maksimum 537 meter. Reservoir utamanya 
batupasir tufan dan breksi volkanik Formasi Banyak dan Formasi Cipluk (Miosen 
Atas-Pliosen), tipe perangkap antiklin dan upthrust, penyekat batulempung 
intraformasi. Batuan induknya masih tanda tanya, hanya akan diketahui setelah 
melakukan analisis geokimia minyak Cipluk, termasuk pada kematangan berapa 
digenerasikan, jarak migrasi, dsb.

Meninggalkan Lapangan Cipluk, selesailah juga fieldtrip kami yang berawal di 
melange pra-Tersier Luk Ulo dan berakhir di Lapangan Cipluk berumur 
Mio-Pliosen. Perjalanan dua hari ini melintasi periode waktu selama 75 juta 
tahun dalam skala waktu geologi, mengamati berbagai batuan, melintasi 
wilayah-wilayah tektonik yang berlainan, mengkaji geologi dan aspek hidrokarbon 
Jawa Tengah yang langka dievaluasi industri perminyakan.
Semoga pengalaman di lapangan dan diskusi-diskusi malam cukup memberikan 
penyegaran dan inspirasi bagi semua peserta fieldtrip, baik peserta dari 
BPMIGAS maupun dari Geologi UPN Yogyakarta.

Dari Lapangan Cipluk, kami menuju Semarang , mampir di RM ayam goreng 
"Suharti", lalu menuju Hotel Santika tempat kami menginap di malam ketiga. Tim 
Geologi UPN kemudian kembali ke Yogyakarta. 

Rabu 30 Desember 2009 kami dari BPMIGAS kembali ke Jakarta. Dari balik jendela 
"Garuda", saya mengamati delta-delta Kuarter di pantai utara Jawa Tengah yang 
terindentasi itu : (1) Delta Tanjung Korowelang di utara Kendal tempat Sungai 
Bodri bermuara dan (2) Delta Ujung Pemalang di sebelah timurlaut Pemalang 
tempat Sungai Comal bermuara, melengkapi transect geologi Jawa Tengah dari 
pra-Tersier-Tersier-Kuarter yang telah kami lakukan. 

Demikian, sekadar berbagi cerita dan semoga bermanfaat menghidupkan eksplorasi 
migas Serayu Utara.

salam,
Awang (koordinator fieldtrip geologi BPMIGAS)

NB : -penyebutan nama armada bus, jasa tour, hotel dan restoran bukan bertujuan 
iklan atau rekomendasi, tetapi itu diperlukan untuk catatan perjalanan secara 
rinci.



      Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman. Tambahkan mereka 
dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke