Abah,
 
Tahun 1976 sampai 2009 berselang 33 tahun, waktu yang cukup lama untuk sebuah 
bongkah lenyap karena dimanfaatkan orang atau ditelan pelapukan dan erosi. Saya 
tak tahu pasti apakah bongkah di Karangkobar itu masih ada atau tidak, tetapi 
kami tak mengunjunginya pada kegiatan ekskursi kemarin.
 
Namun, keterangan Abah menguatkan pendapat van Bemmelen (1949) yang saya yakini 
benar bahwa di Serayu Utara, termasuk Karangkobar, bermain yang namanya gliding 
tectonics karena differential gravity movement ("geantiklin Serayu Selatan 
terangkat, membentuk "geosinklin" Serayu Utara). Di Serayu Utara juga sebuah 
contoh ideal bagaimana pola pikir van Bemmelen (1949) tentang geosinklin yang 
menjadi antiklinorium terwujud. Saya baru bisa memahaminya setelah dalam lima 
tahun ini merenungi hubungan antara Serayu Utara (Karangkobar) dan Serayu 
Selatan (Karangsambung).
 
Akan halnya bongkah Nummulites (Eosen, kemungkinan milik Karangsambung) dapat 
masuk ke Karangsambung itu adalah permainan gliding tectonics semata. Serayu 
Selatan terangkat pada saat Oligo-Miosen dan sepanjang Miosen mengikuti 
old-andesite volcanism dan beberapa periode tektonik berikutnya. Banyak formasi 
batuan tua terangkat dan menjadi provenance buat sedimen yang diendapkan di 
depresi Serayu Utara yang terbentuk akibat kompensasi isosatik pengangkatan 
Serayu Selatan. Sebagian batusedimen itu adalah batugamping Nummulites yang 
diendapkan sebagai bongkah di Serayu Utara. Saya yakin dulu di sekitar bongkah 
itu ada sedimen2 lain yang lebih halus sebagai sedimen pengisi Serayu Utara, 
hanya tererosi dan kemudian meninggalkan bongkah Nummulites.
 
Peter Lunt, mantan ahli geologi Lundin, saat masih aktif di Lundin Banyumas dan 
Lundin Blora, mau tak mau banyak meneliti wilayah Serayu Selatan dan Serayu 
Utara. Beberapa sedimen di Serayu Utara dikatakannya sebagai olistostrom dari 
provenace Serayu Selatan, misalnya Worawari di wilayah Bagelen. Saya 
meyakininya, begitu pula yang ditunjukkan van Bemmelen (1949). Apa yang bukan 
volkaniklastik di Serayu Utara, sebagian besar harus dicurigai sebagai sedimen 
eksternal yang dipasok dari Serayu Selatan dengan mekanisme pengendapan 
sebagian sebagai olistostrom. Maka bongkah Nummulites di Karangkobar itu bisa 
saja dulunya sebuah olistolith.
 
Di Serayu Selatan pun ada dua jenis Nummulites, Nummulites klasik yang seperti 
duit logam ketip atau koin, khas Eosen (Tengah) Bayat, kepunyaan Formasi Karang 
Sambung; dan ada Nummulites lain yang lebih primitif yang tak gampang dilihat 
kalau tak jeli, yang belum lama ditemukan oleh penelitian S3 Pak Prasetyadi 
(UPN) di Blok Luk Ulo yaitu Formasi Bulukuning, yang berumur sedikit lebih tua 
: Eosen Awal. Yang di Karangkobar saya yakin Nummulites Eosen Tengah 
Karangsambung.
 
Sumur2 Belanda di wilayah Karangkobar memang ada, tetapi dangkal saja dan 
merupakan sumur stratigrafi, lokasinya bisa dilihat di buku jilid II van 
Bemmelen (1949). Beberapa menemukan indikasi minyak/gas. Bila serius, maka 
semua rembesan minyak dan sumur minyak di Serayu Utara harus dianalisis asal 
minyaknya -ini penting untuk membangun analisis dan sintesis petroleum system 
wilayah ini.
 
Lapangan Cipluk di-KSO-kan (kerja sama operasi) Pertamina kepada pihak ketiga. 
Siapa operatornya, kawan2 dari Pertamina Jawa barangkali bisa menambahkan.
 
Serayu Utara dekat saja dari sini, tetapi dalam petroleum geology harus diakui 
bahwa ia merupakan "terra incognita" sebab kita telah mengabaikannya. Untuk 
meneliti Serayu Utara, saya membuka kembali publikasi2 lama tentang Jawa 
Tengah, misal dari Harloff (1935), dari ter Haar (1935), dari Hetzel (1936), 
van Bemmelen (1949), dan paper klasik tentang sedimentasi regional Jawa yang 
saya sukai tulisan FX Sujanto dan Abah sendiri (Sujanto dan Sumantri, 1977) : 
Preliminary study on the Tertiary depositional
patterns of Java, Proceedings Indonesian Petroleum Assoc., 6th Annu. Conv., p. 
183-
213.
 
salam,
Awang

--- Pada Sen, 4/1/10, yanto R.Sumantri <yrs...@rad.net.id> menulis:


Dari: yanto R.Sumantri <yrs...@rad.net.id>
Judul: Re: [iagi-net-l] "Geologic Transect of Central Java" (Fieldtrip BPMIGAS 
, 27-30 Desember 2009)
Kepada: "iagi-net" <iagi-net@iagi.or.id>
Tanggal: Senin, 4 Januari, 2010, 2:35 PM





> Awang

Perjalanan Anda mengingatkan saya ke tahun
1976 , waktu saya menjadi filed geologist, sangat indah memang hidup
sebagai fiield geologist itu. Sayang saat itu saya masih
"culun"  heheheh
Seingat saya waktu itu didaerah
Karang Kobar ( waktu itu kami menginap/base camp di kampungnya Ebiet G
Ade) , kami menemukan bongkahan besar batu gammping ditengah sawah 
dengan fosil nummulites didalamnya .Apakah Anda sempat kesana .

Kalau tidak salah  ada pemboran yang dilakukan pada zaman Belanda ,
yang juga mengeluarkan gas.

Seperti Anda katakan memang Serayu
ini merupakan misteri bagi pemburu migas.
Katanya ada rencaa
mengembangkan lapangan Cipluk , siapa operatornya ? Apakah Pertamina.

Si Abah.


   Di dalam waktu dua hari
perjalanan lapangan di Jawa Tengah (28-29 Desember
> 2009),
sembilan geologist dan geophysicist BPMIGAS (Awang, Cepi Irawan,
>
Cipi Armandita, Agung Gunawan, Arii Arjuna, Sumaryana, Andre, Irfan
Taufik
> , Abdurrohim); tiga geologist UPN Veteran Yogyakarta (C.
Prasetyadi, Vian
> Bonny, Adi Gunawan) dan seorang petroleum
engineer (Jalu-BPMIGAS)
> melakukan perjalanan selama 75 juta
tahun dalam skala waktu geologi.
> Kelancaran selama di lapangan
dibantu oleh tiga staf dari Paramitha Tour
> Yogyakarta atas kerja
sama dengan UPN.
> 
> Hal ini dimungkinkan dengan cara
melakukan transect (lintasan memotong)
> dari selatan ke utara,
dari wilayah Luk Ulo ke Kendal, dari batuan tertua
> ke batuan
termuda, dari singkapan batuan berumur sekitar 80 juta tahun ke
>
singkapan berumur sekitar 5 juta tahun, dari melange Luk Ulo ke
>
batugamping Kapung di Lapangan Cipluk.
> 
> Divisi
Eksplorasi BPMIGAS bersama beberapa divisi lainnya setiap tahun
>
melakukan dua kali fieldtrip atau ekskursi geologi dengan berbagai
tujuan.
> Setelah tujuh tahun dilakukan, atau sejak 2002, tinggal
wilayah Maluku dan
> Papua yang belum dikunjungi. Maksud melakukan
fieldtrip ini tentu banyak,
> misalnya : memberikan penyegaran
geologi lapangan kepada para pekerja
> BPMIGAS, melakukan
diskusi-diskusi dengan perguruan-perguruan tinggi atau
>
lembaga-lembaga penelitian yang dilibatkan, melakukan kajian-kajian
> tertentu di wilayah-wilayah yang dinilai menarik secara geologi
maupun
> geologi migas, dan memberikan pengenalan geologi lapangan
kepada
> pekerja-pekerja BPMIGAS non-geologist yang
diikutsertakan.
> 
> Menutup tahun 2009 ini, Eksplorasi
BPMIGAS melakukan fieldtrip mengusung
> tema "geologic
transect of Central Java" dengan fokus mempelajari
>
aspek-aspek geologi migas Cekungan Serayu Utara. Fieldtrip dilakukan
empat
> hari termasuk perjalanan dari dan kembali ke Jakarta.
Dalam pelaksanaan
> fieldtrip ini, BPMIGAS bekerja sama dengan
Jurusan Geologi UPN Veteran
> Yogyakarta (Pak Prasetyadi dan
Tim).
> 
> Fokus fieldtrip dipilih Cekungan Serayu Utara
karena inilah salah satu
> wilayah di Jawa yang tertinggal tidak
dieksplorasi secara serius oleh
> perusahaan-perusahaan minyak. Di
sisi lain, wilayah ini kaya akan rembesan
> hidrokarbon dan
mestinya memiliki semua elemen dan proses petroleum
> system.
> 
> Kami berangkat dari kantor BPMIGAS di Patra Office Tower
, Jakarta pada
> hari Minggu 27 Desember 2009 pukul 08.40
menggunakan bus carter "Big Bird"
> ukuran sedang.
Tujuan kami adalah Purwokerto sebab perjalanan lapangan
> akan
dimulai dari selatan, dari batuan tertua di Jawa Tengah (dan Jawa).
> Menuju Purwokerto, perjalanan diputuskan mengambil jalur selatan
(via
> Tasikmalaya dan Majenang) agar mendapatkan panorama
fisiografi yang lebih
> menarik. Mulai tengah hari, hujan
gerimis-lebat mengguyur bus sepanjang
> perjalanan. Kami istirahat
dua kali untuk makan siang di Limbangan, Garut
> dan minum kopi di
sebuah warung kopi menjelang kota Majenang untuk
> mengurangi rasa
penat, dingin dan kantuk. Sesuai yang diperkirakan, pukul
> 19.00
kami tiba di Purwokerto, bertemu dengan Tim UPN dan menginap di
>
Hotel Dynasty. Setelah makan malam di Restoran "Asiatic", kami
melakukan
> diskusi tentang geologi regional Jawa dan detail rute
fieldtrip yang akan
> dilalui. Pukul 22.00 diskusi
> 
usai.
> 
> Senin 28 Desember 2009 setelah sarapan, kami
memulai perjalanan lapangan
> menggunakan bus carter
"Pegasus" ukuran menengah yang dibawa teman-teman
> UPN
dari Yogyakarta. Bus ini sudah biasa digunakan teman-teman UPN dalam
> melakukan fieldtrip, sehingga Pak Sopirnya sudah biasa melakukan
> manuver-manuver di jalan-jalan sempit dan curam dekat
lokasi-lokasi
> singkapan. Meskipun demikian, karena keamanan
harus diutamakan, di jalanan
> yang terlalu berbahaya untuk bus,
teman-teman UPN telah siap dengan
> pasukan motor ojeg dan L-300.
Hari pertama di lapangan akan menempuh
> perjalanan yang cukup
berat dan panjang. Tujuan pengamatan adalah melange
> Luk Ulo dan
kompleks batuan pra-Karang Sambung di Serayu Selatan berumur
>
pra-Tersier sampai Eosen Awal, dan kompleks batuan volkanoklastik
Merawu,
> Penyatan, Halang di Serayu Utara berumur Miosen
Awal-Miosen Atas.
> 
> Dari Purwokerto, kami melalui
Sokaraja kemudian berbelok ke selatan menuju
> Banyumas. Dari
Banyumas, kami berbelok ke timurlaut menuju Banjarnegara.
> Jalan
ini sejajar dengan Pegunungan Serayu yang sesungguhnya merupakan
>
tiga jalur antiklin besar yang sambung-menyambung berarah BBD-TTL :
> Antiklin Banyumas, Antiklin Gombong, Antiklin Karangsambung.
Sebelum
> Banjarnegara, di sekitar Purwareja bus berbelok ke
selatan masuk ke jalan
> sempit , inilah jalan menuju kompleks
batuan dasar Luk Ulo. Akses ke Luk
> Ulo dari arah utara ini
jarang dilakukan para geologist, kebanyakan
> geologist mencapai
Luk Ulo dari arah selatan, dari Kebumen. Akhirnya,
> jalan terlalu
sempit dan terjal untuk bus masuk terus. Maka, dengan lima
> motor
ojeg kami bergantian diantar ke lokasi mendekati singkapan. Untuk
> mencapai singkapan melange Luk Ulo di dasar Sungai Sapi (anak
Sungai
> Serayu), kami meneruskan berjalan kaki sekitar 400 meter
termasuk melalui
> jembatan gantung tua di atas Sungai
> 
Sapi dengan beberapa papan hilang atau lapuk di beberapa tempat.
Jembatan
> terlalu berbahaya untuk diseberangi beramai-ramai, maka
kami berdua-dua
> bergantian menyeberang. Tinggi jembatan dari
muka sungai sekitar 30
> meter. Motor penduduk beberapa kali lewat
jembatan dan selalu ngebut,
> rupanya memang harus ngebut agar
goyangannya berkurang.
> 
> Di dasar Sungai Sapi di
sekitar bawah jembatan tersingkap melange Luk Ulo
> : peridotit
yang umumnya terserpentinisasi yang khas warnanya (hijau tua
>
seperti ular, sesuai namanya 'serpent' -ular), rijang radiolaria yang
juga
> khas warnanya : merah hati, marmer yang sangat keras
berwarna coklat tua
> dan berdenting nyaring (tanda keras) ketika
dihantam palu batuan beku
> dalam usaha mengambil sampel, basal
yang bersatu dengan rijang ciri
> kompleks MOR (mid-oceanic ridge)
dan endapan pelagos, dan kuarsa di antara
> serpih bersisik
(scally clay) hasil dewatering saat deformasi melangisasi
>
terjadi (quartz sweating). Sementara itu, tebing Sungai Sapi tersusun
oleh
> fragmen-bongkah melange yang tertanam dalam massa dasar
volkaniklastik.
> Kemungkinan besar ini adalah tebing dengan
endapan molas pasca
> pengangkatan Luk Ulo sehabis Miosen Atas.
> 
> Dari Sungai Sapi, kami kemudian masuk lebih dalam lagi
ke arah selatan ke
> Kali Poh yang merupakan anak Sungai Sapi.
Kami menyusuri Kali Poh sekitar
> 3 km dan menemukan dua kelompok
batuan : melange Luk Ulo lanjutan dari
> Sungai Sapi, kemudian
makin ke hulu adalah formasi batuan yang diusulkan
> oleh Pak
Prasetyadi sebagai Formasi Bulukuning (Prasetyadi, 2007
>
-disertasi doktor; Prasetyadi, 2008 -PIT IAGI Bandung). Berjalan hampir
3
> km di Sungai Poh, kami menemukan variasi satuan-satuan batuan
penyusun
> Formasi Bulukuning : batupasir yang sebagian
termalihkan (metamorfisme),
> serpih yang sebagian termalihkan,
konglomerat, dan batugamping yang
> mengandung fosil Nummulites
berumur Eosen Awal (bukan spesies Nummulites
> yang sama seperti
yang ditemukan di Bayat dan Formasi Karangsambung).
> Prasetyadi
(2007, 2008) menafsirkan bahwa kompleks batuan Bulukuning
>
merupakan hasil endapan laut dangkal di cekungan-cekungan kecil di atas
> prisma akresi melange Luk Ulo bagian
>  utara, sementara di
sebelah selatannya di lereng palung diendapkan
> sedimen-sedimen
yang kemudian terkenal sebagai Formasi Karangsambung yang
>
umurnya relatif lebih muda daripada Bulukuning.
> 
>
Menjelang tengah hari karena perjalanan hari itu masih jauh dari akhir,
> kami kembali menghilir, naik jembatan gantung lagi, naik ojeg lagi
dan
> kembali ke bus. Cukup melelahkan, tetapi menyenangkan. Bus
lalu
> melanjutkan perjalanan menuju Banjarnegara. Di tepi kota
Banjarnegara, bus
> berhenti di RM "Sari Rahayu". Berkat
koordinasi yang baik dari Tim UPN,
> hidangan yang sangat nikmat
telah menanti -makin terasa nikmat setelah
> menyusuri sungai.
Hidangan khas berupa urap daun pepaya muda dan wader
> (ikan
kecil), tetapi saya masih terkesan dengan nasi panasnya yang masih
> berasap, ayam goreng, dan tentu saja sambal.
> 
>
Karena perjalanan masih harus dilanjutkan ke Karangkobar, Plato Dieng
dan
> berakhir di Wonosobo, kami tak bisa terlalu lama di
Banjarnegara. Bus
> segera memacu lagi, menyeberangi jembatan
Sungai Serayu bagian hulu,
> jembatan ini sekaligus menandai masuk
ke wilayah geologi lain : Serayu
> Utara. Sebenarnya, dari
Banjarnegara tinggal meneruskan jalan provinsi ke
> arah
timur-timurlaut menuju Wonosobo tempat menginap malam kedua, tetapi
> kami mesti melambung dulu ke utara sampai Karangkobar dan Plato
Dieng
> untuk mengamati beberapa singkapan volkanoklastik Cekungan
Serayu Utara :
> Merawu, Penyatan dan Halang.
> 
>
Kalau di Serayu Selatan sebelumnya kami bermain-main di skala waktu
> pra-Tersier sampai Eosen, di Serayu Utara berada di wilayah
Miosen.
> Endapan Oligosen-Miosen Awal yang bersamaan dengan OAF
(Old Andesite
> Formation) di Serayu Selatan berupa
endapan-endapan volkanoklastik
> Totogan-Waturanda-Penosogan atau
terkenal dengan seri tuff dan breccia
> horison 1-3 dari Harloff
(1935) dan ekivalennya di Serayu Utara kami
> pelajari dalam
diskusi-diskusi malam.
> 
> Stop pertama di Serayu Utara
adalah pemandangan intrusi diorit Halang di
> Banjarmangu (5 km
utara Banjarnegara) yang menyisakan fisiografi seperti
> volcanic
neck. Tidak jauh darinya, kami berhenti lagi di dekat sebuah
>
jembatan yang terkenal bernama Jembatan Komrat di dekat bagian hilir
> Sungai Merawu (Sungai Merawu adalah anak Sungai Serayu). Di sini
ditemukan
> beberapa singkapan breksi dan lava Halang. Mengaitkan
volcanic neck
> intrusi diorit, lava dan breksi volkanik yang
merupakan fasies-fasies
> volkanik berbeda-beda, maka kita bisa
merekonstruksi mana pusat erupsi,
> mana endapan volkanik
proksimal dan mana endapan volkanik yang jauh
> (distal).
> 
> Sebelum Karangkobar, kami berhenti di sebuah singkapan
tebing yang cukup
> spektakular; lapisan-lapisan sedimen
batulempung volkanik Merawu yang
> berumur Miosen Awal bagian atas
dideformasi oleh intrusi tiang (dike)
> Halang yang berumur Miosen
Atas. Efek pemanggangan (baking effect) masih
> jelas terlihat.
Sehabis Karangkobar menjelang Pejawaran di sebelah selatan
> Plato
Dieng, kami berhenti di sebuah singkapan kecil tepi jalan yang
>
menyingkapkan batupasir tufan dan sedikit karbonatan -napal yang
>
menunjukkan selang-seling seperti sekuen turbidit, itu diperkirakan
bagian
> Formasi Penyatan yang secara regional bisa dikorelasikan
dengan Third Marl
> Tuff (Harloff, 1935) di Serayu Selatan.
> 
> Tak banyak singkapan Merawu, Penyatan dan Halang yang
bisa kami pelajari
> di rute Banjarnegara sampai Plato Dieng
karena batuan volkaniklastik ini
> kini hampir seluruhnya telah
tertutup oleh volkaniklastik terbaru
> (Kuarter) kompleks
Pegunungan Serayu Utara atau Kompleks Rogojembangan di
> wilayah
Dieng. Bila ada singkapan-singkapan Merawu-Penyatan-Halang di
>
wilayah ini, itu berarti semacam inlier atau jendela singkapan tua yang
> dikelilingi singkapan muda di atasnya.
> 
> Stop
terakhir hari Senin 28 Desember 2009 itu adalah melihat rembesan gas
> yang muncul di tengah ladang sayuran penduduk Dieng di Dusun
Pancasan
> antara Pejawaran dan Batur. Saat itu hari sudah pukul
17.00 dan tentu saja
> berkabut tebal sebab kami sudah di wilayah
Plato Dieng. Bus diparkir di
> tepi sebuah kampung, lalu kami
berjalan sekitar 500 meter menuju ladang
> sayuran. Tim UPN yang
sebelumnya sudah melakukan survei pendahuluan ke
> tempat ini
memanggil seorang penduduk bernama Pak Setu (mungkin hari
>
kelahirannya Sabtu) yang dengan bahasa isyaratnya (karena Pak Setu bisu
> dan mungkin tuli juga) dengan gembira menunjukkan bagaimana gas
itu
> keluar. Ia membuka pipa paralon kecil penyalur gas dari
tanah ladang dan
> menyalakan geretan, secara serta merta api pun
yang berwarna kuning jingga
> dengan kelebatan warna biru menyala
dengan ketinggian sekitar setengah
> meter. Gas ini ditampung pipa
paralon dan dialirkan ke rumah-rumah
> penduduk sekitarnya
dialirkan ke kompor
>  -kompor yang telah dimodifikasi.
>

> Kami mendatangi dua rumah penduduk untuk melihat bagaimana
gas
> dimanfaatkan. Wawancara tentang asal muasal gas dan
pemanfaatannya
> dilakukan dalam bahasa Jawa di tengah suasana bau
kemenyan yang berasal
> dari rokok-rokok khas yang diisap penduduk
Dieng yang terbuat dari daun
> jagung dan tembakau. Asal gas ini
diketahui ketika rumput-rumput dan
> sayuran di ladang tiba-tiba
mati. Saat tanah digali karena ingin mencari
> penyebabnya,
tiba-tiba gas mengalir dan bisa dibakar. Sejak itulah gas
>
dimanfaatkan penduduk dengan ditampung. Itu terjadi tujuh tahun yang
lalu.
> Apakah ini gas biogenik atau termogenik, belum diketahui,
walaupun katanya
> pemerintah daerah setempat pernah menelitinya.
Gas biogenik atau
> termogenik, hanya akan diketahui bila kita
melakukan analisis isotop
> karbon-13, lebih bagus lagi bila
sekaligus melakukan analisis isotop
> deuterium, dan akan makin
bagus lagi bila melakukan analisis isotop
> karbon-13 untuk fraksi
metana, etana, propana, dan butana.
>  Dari angka-angka rasio
isotop ini, cerita yang dibangun bisa panjang
> sampai ke
petroleum system.
> 
> Kembali ke bus di tepi kampung,
hujan mengguyur di tengah kabut Plato
> Dieng yang semakin
menebal. Pak Setu dengan sigap menyiapkan beberapa
> helai daun
pisang pengganti payung. Hm, kapan lagi berpayung dengan daun
>
pisang ? Rasanya sudah lama sekali saya tak berpayung dengan daun
pisang.
> Jalan ke bus yang menanjak, di tengah guyuran hujan dan
kabut tebal cukup
> membuat dada yang lama tak dilatih menjadi
sesak...
> 
> Sisa perjalanan hari itu adalah kembali ke
selatan menuju Wonosobo tempat
> menginap malam kedua. Gelap mulai
menyelimuti Plato Dieng. Karena jalanan
> gelap, sempit dan terjal
lagipula licin, diputuskan menggunakan sebuah
> mobil pick up
mungkin punya pengusaha setempat untuk membimbing bus
> (seperti
escort atau voor rijder) melalui punggung Plato Dieng. Kalau saja
> siang hari, tentu pemandangan sangat indah di sini. Malam hari
tak
> terlihat apa-apa, selain hanya merasakan jalan menanjak,
menurun, dan
> berputar. Sebagian dari kami lelap kecapaian.
Akhirnya kami selamat sampai
> jalan besar menuju Wonosobo, pick
up sang escort menyelesaikan tugasnya,
> bus meluncur lancar
sampai Wonosobo. Kami sampai di Hotel Kresna, Wonosobo
> pukul
20.30 setelah sebelumnya mampir di rumah makan "Asia" dan
menyantap
> habis semua hidangan karena perut kelaparan dan badan
kedinginan.
> 
> Meskipun lelah, komitmen harus tetap
berjalan. Kami berkumpul di sebuah
> ruang rapat Hotel Kresna
sampai pukul 23.15 mendiskusikan apa yang kami
> lihat hari ini,
mendikusikan geologi depresi Bogor-Serayu Utara-Kendeng
> dan
kemungkinan hidrokarbonnya, mendiskusikan tektonik Jawa Tengah,
>
mendiskusikan segmen kaya rembasan di wilayah antara Majalengka dan
> Banyumas, dan Halang yang terangkat di wilayah itu serta
depresi-depresi
> yang mengapit di sebelah-sebelahnya (Citanduy di
selatan dan
> Bobotsari-Purbalingga di utara) dan semua kesulitan
operasi seismik dan
> bor di wilayah volkanik Jawa. Dalam geologi,
kegiatan lapangan harus
> selalu berjalan bersama kegiatan
analisis dan interpretasi serta
> diskusi-diskusi.
> 
> Hotel Kresna mungkin hotel terbesar di Wonosobo, sebuah hotel yang
megah
> dengan arsitektur gaya gothic yang masih kental,
peninggalan zaman
> Belanda, dengan patung-patung logam berwarna
gelap tentara VOC Kompeni
> (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
menghias di beberapa sudut hotel.
> Bagus meskipun tak bisa
dipungkiri kesan seram masih ada... Sampai tengah
> malam,
beberapa dari kami (Pak Prasetyadi, Cepi Irawan, Cipi Armandita,
>
Arii Arjuna dan saya) masih ngobrol sambil menyeruput coklat hangat dan
> menyantap pisang keju di tengah hawa dingin Wonosobo.
> 
> Selasa 29 Desember 2009, pagi hari dari hotel masih terlihat dua
saudara
> Gunung Sundoro dan Gunung Sumbing membentengi kota
Wonosobo. Ke sebelah
> baratlaut, masih terlihat igir (punggungan)
Plato Jampang dengan Gunung
> Prau (Perahu) sebagai puncak plato
(2565 m). Namun tak sampai sejam
> kemudian, mereka lenyap ditutup
awan mendung.
> 
> Perjalanan hari ketiga akan menempuh
rute Wonosobo-Parakan-Patean (Kab.
> Kendal)-Semarang. Target
utama adalah mengunjungi singkapan Formasi
> Banyak, Formasi
Kapung, dan lapangan minyak tua Cipluk. Kami berangkat
> setelah
sarapan, sekitar pukul 08.30. Perjalanan ke stop pertama cukup
>
jauh (sekitar 2,5 jam), semuanya melalui fisiografi volkanik Kuarter
> Sundoro-Sumbing dan kaki Dieng.
> 
> Di suatu
tempat bernama Patean, jalan kecil belok ke timur dari jalan raya
> yang menghubungkan Parakan-Weleri, bus diparkir. Kami berganti
kendaraan
> dengan dua mobil L-300 kepunyaan penduduk Patean untuk
menuju Desa Kalices
> lalu Dusun Cipluk. Jalan sangat sempit,
sebagian diaspal, sebagian beton,
> sebagian berbatu.
>

> Stop pertama adalah di dekat balai desa Kalices. Di sebuah
tebing di
> dekatnya tersingkap batuan batupasir tufan yang
berselingan dengan
> batulempung menunjukkan sekuen turbidit. Ini
adalah bagian Formasi Banyak
> (Miosen Atas) yang merupakan salah
satu reservoir di lapangan Cipluk.
> 
> Lalu mobil L-300
melanjutkan perjalanannya ke Dusun Cipluk yang terletak
> di
lembah. Mobil berhenti di ujung jalan batu. Selanjutnya, kami
>
meneruskan dengan jalan kaki. Di dekat ujung jalan, kami menemukan
> singkapan batugamping koral Formasi Kapung (Pliosen) yang seumur
dengan
> Formasi Karren di Jawa Timur. Sampel yang saya peroleh
masih menunjukkan
> bentuk brain coral seperti bentuk umur
moderennya.
> 
> Dari sopir L-300 kami mendapatkan
informasi bahwa ada sumur di ladang
> jagung yang minyaknya suka
ditimba penduduk Cipluk. Kami menuju ke sana,
> dan setelah
berjalan menuruni lembah sejauh sekitar 500 meter dengan
> bantuan
penduduk setempat maka ditemukanlah sebuah kepala sumur di antara
> ladang tanaman jagung. Kepala sumur berupa casing ukuran 7"
yang ditutupi
> kayu bulat jati dan sebuah gembok. Menurut
keterangan penduduk, setiap
> pagi sumur ditimba menggunakan busa
atau spons, lalu spons diperas
> menghasilkan minyak sekitar 20
liter. Katanya, ada lima sumur tua Cipluk
> ditimba dengan cara
demikian. Kami sebenarnya ingin melihat bagaimana
> penduduk
menimba salah satu sumur tua Cipluk ini. Lalu atas keramahan
>
penduduk, mereka mengusahakan memanggil si penimba. Setelah menunggu,
si
> penimba ternyata sedang tidak di rumahnya, tetapi kami
diberikan sebotol
> besar minyak Cipluk yang secara fisik terlihat
seperti minyak ringan
> (derajat API tinggi), kandungan sulfur
>  rendah. Sangat penting mengetahui asal minyak ini dan semua
sejarah yang
> telah dilaluinya, bila kita ingin serius
mengevaluasi Serayu Utara.
> Analisis geokimia bulk properties,
isotop karbon-13 dan biomarker akan
> memberitahukan semua riwayat
yang telah dilalui minyak ini.
> 
> Stop terakhir
fieldtrip kami adalah di tengah guyuran hujan di pelataran
> sumur
Cipluk yang lain yang telah dimodernisasi oleh sebuah perusahaan
>
dengan memasang kepala sumur produksi era modern bertekanan 5000 psi.
> Posisi sumur ini diperkirakan di puncak antiklin Cipluk, yang kini
telah
> tererosi paling dalam sehingga menjadi dataran lembah
Cipluk.
> 
> Dari keterangan van Bemmelen (1949) di buku
jilid keduanya dan beberapa
> informasi lain yang berhasil
dikumpulkan, Lapangan Cipluk ditemukan tahun
> 1889, atau lapangan
kedua yang ditemukan di Jawa setelah Kuti di dekat
> Surabaya
(1888). Produksinya dimulai tahun 1903 sampai 1912, ditinggalkan
>
tahun 1933. Ada 12 sumur dibor dengan kedalaman maksimum 537 meter.
> Reservoir utamanya batupasir tufan dan breksi volkanik Formasi
Banyak dan
> Formasi Cipluk (Miosen Atas-Pliosen), tipe perangkap
antiklin dan
> upthrust, penyekat batulempung intraformasi. Batuan
induknya masih tanda
> tanya, hanya akan diketahui setelah
melakukan analisis geokimia minyak
> Cipluk, termasuk pada
kematangan berapa digenerasikan, jarak migrasi, dsb.
> 
>
Meninggalkan Lapangan Cipluk, selesailah juga fieldtrip kami yang
berawal
> di melange pra-Tersier Luk Ulo dan berakhir di Lapangan
Cipluk berumur
> Mio-Pliosen. Perjalanan dua hari ini melintasi
periode waktu selama 75
> juta tahun dalam skala waktu geologi,
mengamati berbagai batuan, melintasi
> wilayah-wilayah tektonik
yang berlainan, mengkaji geologi dan aspek
> hidrokarbon Jawa
Tengah yang langka dievaluasi industri perminyakan.
> Semoga
pengalaman di lapangan dan diskusi-diskusi malam cukup memberikan
> penyegaran dan inspirasi bagi semua peserta fieldtrip, baik peserta
dari
> BPMIGAS maupun dari Geologi UPN Yogyakarta.
> 
> Dari Lapangan Cipluk, kami menuju Semarang , mampir di RM ayam
goreng
> "Suharti", lalu menuju Hotel Santika tempat
kami menginap di malam ketiga.
> Tim Geologi UPN kemudian kembali
ke Yogyakarta.
> 
> Rabu 30 Desember 2009 kami dari
BPMIGAS kembali ke Jakarta. Dari balik
> jendela
"Garuda", saya mengamati delta-delta Kuarter di pantai utara
Jawa
> Tengah yang terindentasi itu : (1) Delta Tanjung Korowelang
di utara
> Kendal tempat Sungai Bodri bermuara dan (2) Delta Ujung
Pemalang di
> sebelah timurlaut Pemalang tempat Sungai Comal
bermuara, melengkapi
> transect geologi Jawa Tengah dari
pra-Tersier-Tersier-Kuarter yang telah
> kami lakukan.
>

> Demikian, sekadar berbagi cerita dan semoga bermanfaat
menghidupkan
> eksplorasi migas Serayu Utara.
> 
>
salam,
> Awang (koordinator fieldtrip geologi BPMIGAS)
>

> NB : -penyebutan nama armada bus, jasa tour, hotel dan restoran
bukan
> bertujuan iklan atau rekomendasi, tetapi itu diperlukan
untuk catatan
> perjalanan secara rinci.
> 
> 
> 
>       Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua
teman. Tambahkan
> mereka dari email atau jaringan sosial Anda
sekarang!
> http://id.messenger.yahoo.com/invite/


-- 
_______________________________________________
Nganyerikeun hate batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun hate
jalma hirupna pada ngupama , Elmu tungtut dunya siar Ibadah kudu lakonan.



      Akses email lebih cepat. Yahoo! menyarankan Anda meng-upgrade browser ke 
Internet Explorer 8 baru yang dioptimalkan untuk Yahoo! Dapatkan di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

Kirim email ke