Mas Vick, thanks ya. Ini link langsungnya, silakan berkomentar di blognya langsung: http://parvita.wordpress.com/2010/04/02/creativity-of-the-next-generation/
Lb Parvita H. Siregar Chief Geologist Salamander Energy Indonesia Please consider the environment before you print Disclamer: This email (including any attachments to it) is confidential and is sent for the personal attention of the intended recipient only and may contain information that is priviledged, confidential or exempt from disclosure. If you have received this email in error, please advise us immediately and delete it. You are notified that using, disclosing, copying, distributing or taking any action in reliance on the contents of this information is strictly prohibited. -----Original Message----- From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:rovi...@gmail.com] Sent: Sunday, April 04, 2010 10:54 AM To: IAGI; geologi...@googlegroups.com Subject: [iagi-net-l] Generation Y: Lebih tidak punya Nalar Geologi? PErcaya ngga ? ..... Ah masa sih ?RDP Generation Y: Lebih tidak punya Nalar Geologi? <goog_1582993258> by Parvita S*(Saya tulis blog ini dengan bahasa Indonesia juga, agar bisa dibaca oleh rekan2 mahasiswa Jurusan Geologi maupun mahasiswa2 di Indonesia).* <http://parvita.files.wordpress.com/2010/04/dsc02501.jpg> True geologist appreciate geology, however they are Saya mulai merasa sedikit khawatir dengan generasi muda sekarang. Apakah mereka benar *passionate *tentang geologi? Apakah mereka hanya sekedar operator software? Saya cerita sedikit mengenai pekerjaan seorang geologist maupun geoscientist di perusahaan minyak (tentunya applicable di perusahaan2 lain yang membutuhkan interpretasi bawah permukaan juga). Pekerjaan seorang geologist di perusahaan minyak mencakup mengumpulkan data bawah permukaan, membuat peta, membuat rekonstruksi paleo-depositional environment, dan interpretasi. Interpretasi inilah yang menentukan apakah seorang geologist itu geologist yang baik atau bukan, dengan kemampuan mempertahankan hipotesanya atas kesimpulan yang diambil. <http://parvita.files.wordpress.com/2010/04/imac.jpg> Gen Y: Gadget and software operator generation? Sekarang banyak sekali *software* yang mempermudah pekerjaan seorang geologist. Mulai dari perangkat lunak pemetaan yang membantu seorang geologist untuk membuat peta permukaan, modeling bentuk reservoir, modeling bentuk cekungan untuk interpretasi regional dan juga *software *untuk mengetahui sifat fisik batuan yang dibor, untuk mengetahui kadar hydrocarbon dari sekuen batuan yang telah dibor. Sepertinya tinggal pencet, sudah, keluar semua parameter. Zaman saya dulu, taruhlah pemetaan. Semua dilakukan dengan tangan. Sembari menarik garis, kami dipaksa untuk memikirkan geologi bawah permukaannya. Apakah mungkin garis ini saya tarik ke utara? Bagaimana struktur regionalnya? Kalau saya buat penyebaran batuannya seperti ini, apakah konsisten dengan geologi regional yang sudah ada? Sehingga peta yang dihasilkan adalah hasil dari pemikiran matang dari seorang ilmuwan. Sekarang, dengan kemudahan pemetaan dengan segala *software, *orang2 seakan lupa dengan konsep pemetaan. Masukkan data interpretasi horizon, atau isochron/isopach, masukkan ke program pemetaan, *voila*, peta jadi. Padahal, pemetaan bawah permukaan harus selalu diteliti kembali dengan data yang kita punya. Kenapa tiba2 di sini ada tinggian? Kenapa di sini kecepatannya lebih cepat? Proses pemetaan adalah proses interpretasi kembali, yang membutuhkan kegiatan kembali melihat data, modifikasi, dan lain-lain. Bukan hanya sekedar pencet tombol, lalu keluar peta dan presentasikan di depan management. Sama seperti attribute yang digunakan di program2 geofisika. “Bright Amplitude” adalah salah satu, sekali lagi, *hanya salah satu* petunjuk bahwa di sekuen itu terdapat beda impedance. Bukan karena ada hidrokarbon saja. Amplitude anomaly, hanya menunjukkan perbedaan sifat fisik batuan. Hanya menunjukkan beda akustik impedance. Tetapi banyak, terutama geophysicist, yang tidak berpikir lebih jauh, *bagaimana menerjemahkan hal tersebut sebagai geologi? Bagaimana memasukkan hydrocarbon ke dalam system tersebut? Apakah itu benar channel yang berisi pasir? * <http://parvita.files.wordpress.com/2010/04/dsc02602.jpg> Small scale reversed fault. Scale is important when interpreting. Ini yang kadang mengecewakan saya. Dengan arogannya, seorang lulusan geologi menulis di CV sudah pernah memakai software ini itu. Padalah kalau interview dengan saya, fresh graduate ini saya sodorkan batu. Dan begitu deskripsi batuan, atau saya beri contoh soal mengenai singkapan di lapangan, mereka gelagapan. Berkali-kali saya ungkapkan, pemakaian software itu bisa dilatih. Hanya yang perlu adalah, *basic understanding of the philosophy of the geology* dan apakah mereka tahu apa yang dilakukan oleh komputer tersebut. Kenapa ada *bulls eyes *dalam peta? Apakah itu real? <http://parvita.files.wordpress.com/2010/04/chinese-geologist-marking_swt1039.jpg> Mapping. Are you really mapping? Saya ingat pengalaman berdebat dengan seorang expat yang menghasilkan peta dan kami sedang meeting di depan boss kami. Ketika saya perhatikan petanya, semua yang di ujung2 line seismik memberikan fenomena yang aneh, sehingga bentuk peta yang dihasilkan menjadi aneh pula, dan tidak menunjukkan kondisi geologi yang real. Begitu ditanya, dia hanya gelagapan. Satu skor buat saya. Peta saya malah tidak pakai rumus ini itu, tetapi lebih ke arah melihat trend, kombinasi antara batuan yang ada, dan tarik tangan alias manual. Dan herannya, generasi2 muda ini malas untuk kontur tangan. Malas untuk kalkulasi cadangan dengan memakai kertas grafik. Apakah karena di era serba cepat dan komputer ini semua ingin serba mudah tanpa menggunakan otak dan nalar geologi mereka lagi? Karena kalau hanya pencet tombol, anak LPK Tarakanita juga bisa. Kalau hanya tarik horizon di seismik mengikuti amplitude yang anomali tanpa memikirkan implikasi geologi atas interpretasi, keponakan saya yang SD juga bisa. Sebagaimana menarik horison sea bottom. Dan jangan kira ini hanya fresh graduate saja. Kadang2 yang berpengalama 5-7 tahun juga demikian. Kalau sudah begini, saya lihat petanya, saya QC kembali, lihat *throw* di sesar2, wah, saya bisa suruh mereka untuk ulang mapping lagi. Apakah Gen Y sekarang memang lebih canggih dengan software dan gadget2 teknologi tetapi lebih lemah dalam memakai nalar dan otaknya? Memang *passion *terhadap ilmu geologi tidak dimiliki semua geologist. Itu akan tercermin dari hasil interpretasinya, hasil kerjanya dan buah karyanya. Dan tentunya ini juga tercermin dari produk hasil pekerjaannya. <http://parvita.files.wordpress.com/2010/04/dsc03324.jpg> Me, interpreting the rocks, East Kalimantan Seorang geologist atau geoscientist harus bisa menerjemahkan data menjadi sebuat konstruksi batuan. Seorang geoscientist yang baik tidak akan hanya menyerahkan data untuk diolah semata-mata oleh sebuah perangkat mati. Seorang geoscientist tidak hanya berhenti pada deskripsi batuan dan pengumpulan data, tetapi juga rasa keingin tahuan terhadap fenomena geologinya akan membuat ia tidak tidur semalam suntuk memikirkan proses2 alam, yang berakhir kepada pensyukuran dan pengakuan penuh terhadap kebesaran Tuhan sang Maha Pencipta. Lets look at the rocks, think about the process and just let computers be computers, to make our job easier. Not to think for us.