Menghentikan Semburan Lumpur Lapindo
Senin, 31 Mei 2010 19:20 WIB
 Kebocoran dari pipa minyak bawah laut milik British Petroleum (BP) telah
memasuki minggu ketujuh. Meskipun sulit, ahli-ahli di BP berjuang menutup
kebocoran sumur bawah laut di Teluk Meksiko itu. Tak ingin reputasinya
merosot, BP mengerahkan aneka upaya dan berbagai macam teknologi. Mereka
optimistis kebocoran bisa dihentikan agar pesisir pantai Amerika Serikat
tidak tercemar berat oleh tumpahan minyak.

Semburan ini menjadi sorotan dunia, terutama terkait keselamatan migas.
Maklum, dengan semburan 3.000-5.000 barrel minyak per hari, insiden ini
merupakan pencemaran terburuk dalam sejarah AS, melampaui bencana tumpahan
minyak dari kapal tanker Exxon Valdez pada 1989 yang menebarkan minyak di
laut lebih dari 245.000 barrel. Pemerintah AS memperkirakan, 18 juta sampai
40 juta galon minyak mentah telah mencemari Teluk Meksiko.

Akibat kejadian ini, Pemerintah Barack Obama mendapatkan tekanan berat dari
oposisi, pencinta lingkungan, dan warga AS. Pemerintah Obama menekan BP agar
terus berupaya menghentikan kebocoran. Obama tidak mau tahu, bahkan dengan
tegas mengatakan penanganan kebocoran dan penanggulangan kerusakan
lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung jawab BP. Obama juga menebarkan
optimisme: ”Kami tidak akan menyerah sampai kebocoran bisa dihentikan,
hingga air dan pantai-pantai dibersihkan, hingga orang-orang yang jadi
korban bencana buatan manusia mendapatkan hidupnya kembali.”

Kondisi kontras terjadi di Indonesia. Sejak empat tahun lalu, persisnya per
29 Mei 2006, kita dihadapkan kepada semburan lumpur panas yang terus terjadi
di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sekitar 600 hektare kawasan terkena dampak
semburan lumpur panas tersebut. Ribuan keluarga terpaksa dipindahkan dari
lokasi bencana, termasuk pabrik. Infrastruktur publik, seperti jalan dan rel
kereta api, rusak. Tak terhitung kerugian sosial dan ekonomi yang diderita
oleh rakyat Jawa Timur akibat petaka lumpur panas itu.

Jika BP berjuang keras menghentikan kebocoran, sebaliknya semburan lumpur
panas di Sidoarjo cenderung dibiarkan. Kita menyerah dan menganggap sebagai
fenomena alam, seperti putusan Mahkamah Agung bahwa lumpur Lapindo adalah
bencana alam. Bahkan, muncul ide dari Presiden Yudhoyono untuk menjadikan
pusat semburan lumpur sebagai kawasan wisata. Bencana lumpur dianggap
sebagai sesuatu yang layak jadi tontonan.

Untuk mematikan semburan membutuhkan tekad dan kesungguhan dari pelaksana.
Karena itu, kasus semacam ini sering melahirkan "pahlawan" sejati, seperti
yang dilakukan Wang Jin Xi tahun 1960 saat menanggulangi semburan di
lapangan Daqing, China utara. Karena spirit dan inisiatifnya yang sangat
kuat itu Jin Xi diberi gelar "*Iron Man*". Berkat “pahlawan-pahlawan” itu
pula kecelakaan serupa di Selat Timor, Utara Australia, September 2009,
berhasil dihentikan. Hampir semua negara di dunia yang memiliki lapangan
migas, puluhan kali terjadi kasus serupa, baik di Indonesia, di AS, Afrika,
Eropa, maupun Asia. Semua semburan tersebut berhasil dijinakkan.

Semburan migas yang tidak terkontrol dikenal dengan istilah "*blow out*". Di
Indonesia, ini pernah terjadi di kawasan laut, seperti di pantai Kalimatan
Timur, pesisir Sumatra, dan pesisir Jawa. Semburan migas di Indonesia dan
Selat Timor terjadi pada kedalaman laut hanya beberapa puluh meter air laut.
Sebaliknya, semburan di Teluk Meksiko berada pada kedalaman sekitar 1500
meter. Jadi, penangannya lebih sulit dan lebih mahal.

Karena air laut yang harus ditembus begitu dalam, maka teknologi selubung
menggunakan "Riser", yaitu pipa yang menghubungkan dasar laut dengan
permukaan yang memisahkan tercampurnya lumpur pemboran dari air laut.
BOP (*blow
out preventer*) atau alat pencegah semburan ditempatkan di dasar laut yang
pengontrolannya dilakukan dari permukaan. Semburan dalam kasus di Teluk
Meksiko ini sampai membuat Riser terputus dan lepas, sementara BOP tidak
sempat mampu menahan tekanan yang datang dari bawah, sehingga semburan
terjadi mulai dari dasar laut.

Untuk menutupnya dimulai dengan langkah "pendek", yaitu melokalisasi
semburan dengan cara menurunkan Kubah yang besar dan berat, dan di puncaknya
dihubungkan dengan pipa sebagai penyalur minyak sampai ke permukaan. Ini
memungkinkan minyak dapat dialirkan ke tanker dan tidak tersebar ke segala
arah dan mencemari laut. Analogi serupa dilakukan untuk menghentikan
semburan lumpur di Sidoarjo, yaitu semburan diarahkan ke Sungai Porong
dengan tanggul untuk sementara waktu.

Untuk mematikan semburan secara permanen dilakukan tahap berikutnya dengan
teknologi "*Dynamic Killing*". Teknologi ini membutuhkan beberapa sumur
miring yang dikenal dengan "*Relief Well*" untuk saluran menginjeksikan
lumpur berat ke sumur sumber semburan. Lumpur berat tersebut akan memiliki
tekanan hidrostatis yang cukup besar, sehingga mampu menahan tekanan yang
datang dari bawah yang mendorong fluida ke permukaan. Di Teluk Meksiko,
kegiatan lokalisasi semburan sudah berhasil dilakukan. Kini memasuki tahap
mematikan semburan dengan teknologi *dynamic killing*.

Dengan metoda serupa, semburan di Selat Timor bisa dimatikan dalam waktu
lebih dari empat bulan. Di Subang, Jawa Barat dan Randu-Blatung, Jawa Timur,
memakan waktu sekitar lima bulan. Waktu tiga hingga enam bulan jadi pegangan
para pelaksana dalam menanggulangi semburan pada kegiatan pengeboran migas.
Di Teluk Meksiko, dua *relief well* sudah berjalan sejak 4 dan 26 Mei 2010.
Di Sidoarjo telah disiapkan dua *relief well*. Sayangnya, kegiatan baru
berjalan sekitar 20 persen harus terhenti karena biaya terbatas.

Lokalisasi semburan lumpur di Sidoarjo tidak perlu dengan kubah besar karena
terjadi di darat. Lokalisasi cukup dengan mengalirkan ke Sungai Porong. Di
Teluk Meksiko, lokalisasi juga dibantu dengan menebar bahan kimia "*
surfactant*" yang memungkinkan minyak bersatu dengan air laut dan membuat
minyak jatuh ke dasar laut tidak menyebar di permukaan. Di Sidoarjo tidak
memerlukan *surfactant* karena semburan tidak mengeluarkan minyak secara
signifikan, hanya air-panas-asin yang mengandung tanah liar serta gas
hidrokarbon sedikit yang tentunya akan menguap sendiri ke permukaan.

Untuk mematikan semburan lumpur di Sidoarjo bisa dilakukan dengan
metoda *dynamic
killing* menggunakan *relief well*. Teknologi *dynamic killing* dengan
bantuan *relief well* menjadi pilihan standar dalam setiap usaha mematikan
semburan pada kegiatan migas, terutama yang memiliki semburan sangat kuat.
Teknologi ini sudah dikuasai ahli-ahli migas anak negeri. Jadi, tidak perlu
harus mengimpor ahli dan teknologi dari luar negeri.

Sebagai contoh, tahun 1984 di Subang, Jawa Barat, pada 1997 di lepas pantai
Kalimantan, dan tahun 2001 di Randu-Blatung, Jawa Timur, semuanya ditangani
oleh tenaga ahli dari Indonesia. Begitu pula setelah semburan lumpur di
Sidoarjo, pada Desember 2008 semburan lumpur di Gresik, Jawa Timur, April
2009, dan semburan lumpur dan gas di Merbau, Sumatera Selatan, juga dapat
dimatikan oleh tenaga ahli dari Indonesia Sendiri.

Untuk semburan yang ringan, *dynamic killing* bisa dilakukan pada sumur yang
sedang menyembur dengan menggunakan bantuan pipa yang dimasukan ke dalam
lubang yang sedang menyembur. Kemudian semburan dialirkan ke dalam pipa
tersebut setelah di bagian bawah ada alat penyekat, disebut "*Packer*",
diaktifkan. Metoda ini dipakai pada kasus ratusan sumur di Irak, dekat
perbatan Kuwait, yang diledakan saat perang Irak-Kuwait sepuluh tahun lalu.

Metoda ini, diberi nama *Top Kill*, pernah dicoba di Teluk Meksiko. Namun,
metoda ini tidak berhasil karena aliran semburan cukup kuat. Metoda ini juga
pernah diaplikasikan di Sumur Banjarpanji, Jawa Timur, dikenal dengan metoda
"*Snubbing Unit*" dan "*Side Tracking*". Namun, metoda ini tidak berhasil
karena kualitas sumurnya sudah permanen tersemen dan pipa selubung
casing-nya sudah penyok dan rusak.

Kecepatan dalam mengambil keputusan, seperti dilakukan "*Iron Man*" di China
dan Obama di AS, untuk mematikan semburan adalah sebuah kebutuhan. Kegiatan
tersebut didukung sepenuhnya oleh segenap kemampuan peralatan dan teknologi
yang dimiliki manusia saat ini. Sejarah mencatat, dengan langkah *all out*,
tidak ada satupun kejadian semburan *blow out* yang tidak bisa dimatikan.
Ironisnya, semburan lumpur di Sidoarjo empat tahun dibiarkan merana tanpa
disentuh teknologi apapun.

Jika semburan lumpur di Sidoarjo tidak dihentikan, diperkirakan radius
retakan yang diikuti semburan gas dan air tawar akan sampai sejauh tiga
kilometer dari pusat semburan. Perkiraan itu muncul karena pusat semburan
air di kedalaman tiga kilometer dari permukaan tanah. Oleh karena itu,
sebaiknya warga yang berada di sekitar tiga kilometer atau kurang dari pusat
semburan segera dievakuasi atau menjauhkan diri. Karena, cepat atau lambat,
area tersebut akan turun atau ambles (*subsidance*) dan tanahnya retak.
Hasilnya, di retakan-retakan tersebut akan timbul semburan gas baru.

Sampai saat ini jumlah semburan baru mencapai 182 buah. Semburan baru itu
terjadi karena retakan di permukaan tanah yang mengakibatkan air bercampur
gas metan keluar. Jika semburan terus terjadi, tanah di bawah menjadi
berlubang dan membuat area sekitarnya tertarik turun. Akibatnya, retakan
akan semakin banyak terjadi. Begitu pula semburan yang muncul akan kian
banyak. Bentuk turunnya tanah akan seperti corong atau seperti gelas es
krim. Jadi, di tengah amblesnya akan paling dalam.

Saat ini amblesan tanah permukaan di dekat semburan sudah mencapai lebih
dari 14 meter. Jika dibiarkan, amblesan tersebut akan semakin dalam. Area
yang terdampak amblesan saat ini mencapai 1000 meter lebih. Karena itu, area
tiga kilometer dari pusat semburan sebaiknya tidak dibangun infrastruktur
baru karena wilayah tersebut daerah yang berbahaya.

Menurut analisa sejumlah pihak, semburan lumpur di Sidoarjo bisa sepuluh
tahun, atau bahkan 100 tahun lamanya. Ini tidak penting, yang paling penting
justru jangan pasif menunggu berhenti, tapi harus dihentikan. Sebab, yang
menyembur di lokasi lumpur Lapindo saat ini adalah air asin panas dari bawah
tanah. Air itu tidak akan cepat habis dan tak ada yang tahu kapan habisnya.

Biaya yang dibutuhkan untuk menutup semburan lumpur di Sidoarjo diperkirakan
hanya sekitar 100 juta dollar Amerika. Biaya ini tergolong murah
dibandingkan dengan biaya menghentikan semburan di Teluk Meksiko yang makan
miliaran dolar AS, 500 juta dollar di antaranya untuk penelitian lingkungan.
Biaya 100 juta dolar AS ini juga termasuk kecil dibandingkan dengan
pendapatan tahunan dari usaha migas di Indonesia yang sekitar 25 miliar
dolar AS, dan belanja industri migas mencapai 10 miliar dolar AS. Diperlukan
keseriusan dan keberanian, seperti halnya Wang Jin Xi dan Obama, dari para
pemimpin negeri ini untuk memutuskan penutupan semburan lumpur Sidoarjo.

Rudi Rubiandini R.S.
Pakar Migas dari ITB


-- 
Sent from my Computer®

Kirim email ke