Sampai ketemu di Jogjakarta bulan Mei nanti, ________________________________
TEMPO Interaktif, Jakarta - Patung Garuda bertengger di ujung atap rumah di Desa Siring Barat, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Wujudnya kusam dan tak terawat karena rumah itu tak lagi berpenghuni akibat rusak terkena luapan lumpur Lapindo. Bahkan kedua kaki yang mencengkeram pita bertulisan “Bhinneka Tunggal Ika” itu hanya tinggal rangka besi. Lehernya secara tak sengaja berkalung kabel listrik, terlihat seperti tercekik. Patung itu tertangkap kamera Budi, seorang pemuda penduduk Desa Siring Barat. Ia bersama sepuluh anak muda lainnya berusaha memotret apa yang terjadi di lingkungan mereka, beberapa desa di seputar bencana lumpur Lapindo, Porong. Karya foto mereka ditampilkan dalam sebuah pameran dengan judul Memori Bawah Tanah: Mengingat dan Memotret Hak-hak Dasar Korban Lumpur Lapindo. Pameran berlangsung sepanjang 5-7 Januari kemarin di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selanjutnya, pameran akan berlangsung di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta, 23-27 Mei mendatang. Bagi para pemuda itu, foto tak hanya memperlihatkan sesuatu, tapi juga menyampaikan banyak kata. "Porong dibidik dari kacamata korban untuk diperlihatkan kepada publik agar mereka tidak lupa terhadap bencana lumpur Lapindo ini," ujar Heru Prasetia, Koordinator Lafadl Initiatives, lembaga yang memprakarsai pameran foto komunitas korban lumpur Lapindo, Porong, itu. Pameran itu bermula dari sebuah workshop sepanjang enam pekan. Sepuluh anak muda dari empat desa--Siring, Ketapang, Jatirejo, dan Renokenongo--diberi materi teknik fotografi dasar. Mereka juga dilatih untuk memahami soal hak asasi manusia sebagai hak dasar. Sepuluh peserta itu dibekali kamera digital pocket untuk memotret fenomena apa pun di sekitar kehidupan mereka. Hasilnya, mereka mengabadikan kegiatan sehari-hari korban yang tetap menggeliat menata hidupnya, meski rumah, pekerjaan, dan pendidikannya terenggut karena bencana lumpur itu. Seperti foto seri yang dipotret oleh Intan, 17 tahun, warga Desa Ketapang, Sidoarjo. Dalam seri foto itu, Intan berkisah tentang keluarga Mbah Tamun yang tinggal di Desa Ketapang. Bagaimana Mbah Tamun, yang hanya bekerja sebagai petani dengan keadaan serba kekurangan, harus menghidupi sanak keluarga. Mbah Tamun harus menghidupi adiknya yang terkena gangguan jiwa. Di situ tinggal pula ibunya, Nyai Repi, yang telah renta, dan bibinya, Mbah Pik. Mereka kehilangan pekerjaan karena lumpur telah menenggelamkan area sawahnya. Lain halnya dengan Nizar, pemuda Desa Renokenongo. Ia justru menangkap obyek tembok kotor di Desa Mindi. Tembok ini penuh coretan sebagai ungkapan protes mereka terhadap PT Lapindo Brantas. "Bakrie gendeng", "Baris-berbaris melawan Bakrie", "Pusing karena Lapindo", dan "Bakrie penipu" banyak memenuhi tembok itu. Foto-foto lainnya merekam aktivitas sehari-hari para korban lumpur Lapindo. Kaminah, misalnya, memotret pekerjaan warga korban setelah lumpur Lapindo merenggut pekerjaan dan rezeki mereka. Penjaga portal, penjaja minuman dan makanan di seputar obyek lumpur, hingga seorang wanita yang menjadi tukang ojek semenjak suaminya meninggal. Sepuluh anak muda ini terlibat untuk merefleksikan hidup dan lingkungan sekitar mereka. Mereka tak hanya ingin berbagi cerita, tapi mengingatkan publik bahwa bencana lumpur Lapindo ini belum usai. Pada titik tertentu, mereka seolah ingin membicarakan kemungkinan baru untuk mencapai kualitas hidup yang lebih layak. Seperti patung Garuda yang tetap bertengger gagah di ujung atap rumah tak lagi berpenghuni itu. ________________________________ sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/fotografi/2011/01/08/brk,20110108-304698,id.html tabik bosman batubara weblog: http://usirsorikmasmining.wordpress.com/