Bung Bosman,

apakah memang secara hukum untuk memutuskan kompensasi yang dibayarkan ke
masyarakat yang menjadi korban lumpur lapindo harus menunggu penelitian
geoscience tentang penyebab lumpur lapindo ini ?
karena kalau menunggu keputusan geoscience mungkin masih butuh bertahun
tahun lagi ( ijin dan biaya shot 3  D seismic dan procesingnya, lalu siapa
yang boleh menginterpretasi, dan saya kira objective 3D seismic ini lebih ke
upaya pencegahan perluasan dari lumpur lapindo dan bukan menentukan
penyebab dari lumpur lapindo ini).

Saya setuju dengan anda bahwa pihak lapindo dan pemerintah harus segera
memberikan kompensasi atas lahan masyarakat dan bukan lari dari masalah
dengan alasan mencari sebabnya dulu apakah ini disebabkan gempa / drilling.
Dan saya kira dana untuk membayar kompensasi ini sangat rendah dibandingkan
kekayaan grup lapindo.

Karena kalau situasi ini tidak cepat ditangani oleh pemerintah secara bijak,
bukan tidak mungkin akan makin banyak saja penolakan masyarakat terhadap
proyek energi pemerintah ( baik migas, geothermal, batu bara, nuklir  dsb).
Saya kira masyarakat tidak akan peduli apakah penyebabnya karena gempa bumi/
drilling, yang pasti bahwa setelah drilling banjar panji, mereka kehilangan
rumah, pekerjaan dan seakan semua pihak tidak ada yang mau bertanggung
jawab.


2011/5/29 bosman batubara <bosman200...@yahoo.com>

>  tulisan berikut sayacopas dari note saya di FB:
>
> ***
>
> Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, meminta warga di 45 RT di sekitar lokasi
> Lumpur Lapindo untuk bersabar dan menerima uji seismik yang akan dilakukan
> oleh kementerian ESDM di kawasan mereka. Namun, warga menolak dengan alasan
> khawatir bahwa hasil uji seismik akan dipakai sebagai basis bagi pengambilan
> kebijakan sehubungan dengan daerah mereka (Tempointeraktif, 31 Maret 2011).
>
>
>
> Pada dasarnya uji seismik sangat penting dilakukan di Porong untuk
> mengetahui kondisi bawah permukaan. Melalui rekaman seismik para ahli akan
> dapat menginterpretasi struktur bawah permukaan di sekitar semburan.
> Struktur bawah permukaan ini, misalnya saja, berupa patahan-patahan yang ada
> di sana yang, kalau mengikuti kerangka berfikir geolog, pasti sudah sangat
> banyak, terutama karena terjadinya amblesan di beberapa tempat. Logika
> sederhananya, sebuah amblesan akan diikuti oleh patahan.
>
>
>
> Dalam kasus Lumpur Lapindo uji seismik menjadi sangat penting karena data
> ini termasuk langka terutama pasca semburan. Berdasarkan publikasi ilmiah
> tentang Lumpur Lapindo yang dapat saya ikuti, kondisi bawah permukaan ini
> menjadi salah satu lubang karena minimnya data seismik yang tersedia.
> Sementara, untuk menghasilkan model bawah permukaan yang bagus, data seismik
> adalah salah satu hal yang sangat dibutuhkan.
>
>
>
> Data seismik banyak digunakan oleh para geolog yang bekerja di industri
> minyak dan gas untuk memprediksi perangkap-perangkap hidrokarbon yang ada di
> bawah permukaan. Ini bukan berarti bahwa data seismik hanya dapat digunakan
> untuk mencari perangkap minyak dan gas, tetap bisa juga untuk hal yang lain.
> Salah satunya adalah untuk *modelling* bawah permukaan seperti yang
> dibutuhkan di Porong.
>
>
>
> Lantas, seperti apa kita harus memposisikan permintaan Pakdhe Karwo dan
> penolakan warga dalam kasus ini? Benar, dari perspektif sains, saya percaya
> setiap orang yang belajar geologi akan sangat mendukung dilakukannya survei
> seismik tersebut. Akan tetapi, perlu kita ingat juga bahwa kenyataan hidup
> ini bukanlah masalah sains belaka. Banyak hal lain yang juga perlu
> dipertimbangkan, apalagi dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut
> orang banyak seperti korban lumpur.
>
>
>
> Bagi saya penolakan yang dilakukan warga sangat masuk akal. Terutama
> mungkin karena mereka belajar dari pengalaman warga dari beberapa Desa yang
> sudah memiliki payung hukum sebelumnya. Dari tiga generasi Perpres yang
> sudah dikeluarkan sehubungan dengan Lumpur Lapindo, yaitu Perpres 14/2007,
> Perpres 48/2008, dan Perpres 49/2009, belum ada satu pun yang tuntas
> dilaksanakan.
>
>
>
> Untuk Perpres 14/2007, kondisi umum per Januari 2011, dari sekitar 13.000
> warga korban Lumpur Lapindo yang berada di bawah payung hukum ini, baru
> sekitar 55% yang sudah lunas dalam artian menerima dana kompensasi untuk
> jual beli aset mereka. Dengan catatan, mereka yang sudah dilunasi kebanyakan
> adalah bekas warga Perumtas yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang
> kecil kalau dibandingkan dengan mereka yang berasal dari desa
> (non-perumahan) yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang besar.
>
>
>
> Lebih jauh, karena adanya skema pembayaran cicilan yang diciptakan oleh PT
> Minarak Lapindo Jaya, ada korban Lumpur yang dana kompensasinya baru akan
> lunas dalam 38 tahun ke depan. Itupun dengan catatan pembayaran cicilan
> lancar setiap bulannya. Kalau pembayaran cicilan macet-macet seperti yang
> sering terjadi, maka jangka waktu pelunasan itu akan semakin lama. Padahal,
> dalam redaksi Perpres 14/2007 Pasal 15 Ayat (2) dinyatakan bahwa pembayaran
> dilakukan selambat-lambatnya sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun
> habis. Mengacu ke waktu pemberian uang kontrak rumah yang didapatkan oleh
> korban Lumpur Lapindo, maka seharusnya pembayaran ini sudah selesai pada
> sekitar akhir tahun 2008 yang lalu.
>
>
>
> Bagi warga yang berada di bawah payung hukum Perpres 48/2008 (Desa Besuki
> sebelah barat tol, Desa Pejarakan dan Desa Kedungcangkring) nasib mereka
> tidak jauh berbeda. Karena Pasal 15B ayat (5) Perpres 48/2008 mensyaratkan
> pelunasan dilakukan apabila PT Lapindo Brantas Inc., (LBI) telah melunasi
> tanggungjawabnya terhadap pembayaran dana kompensasi bagi korban Lumpur
> Lapindo yang tertera dalam Perpres 14/2007. Artinya, selama urusan dalam
> Perpres 14/2007 belum tuntas, maka urusan dalam Perpres 48/2008 juga akan
> ikut terbengkalai.
>
>
>
> Sementara bagi warga yang berada di bawah payung hukum Perpres 40/2009 (3
> RT di Desa Mindi, Desa Siring Barat dan Desa Jatirejo Barat), nasib mereka
> malah lebih buruk lagi. Karena pada saat ini tuntutan mereka baru pada tahap
> merealisasikan Perpres 40/2009. Sampai saat ini warga belum menerima dana
> kompensasi atas aset mereka.
>
>
>
> Berdasarkan rekam jejak penegakan hukum yang payah pada seputaran kasus
> Lumpur Lapindo ini, maka penolakan warga di 45 RT ini sangat dapat dipahami.
> Kekhawatiran mereka bahwa nantinya data seismik akan dipakai sebagai basis
> untuk membatalkan dikeluarkannya payung hukum yang mengatur pembayaran dana
> kompensasi untuk wilayah mereka, sangat berasalan.
>
>
>
> Selain penegakan hukum yang payah, kekhawatiran ini tampaknya diperparah
> oleh pengalaman adanya perdebatan yang sangat sengit di kalangan geosaintis
> tentang penyebab terjadinya semburan lumpur. Boleh dikata perdebatan ini
> sifatnya eksklusif dan detilnya hanya dapat diikuti oleh orang yang belajar
> geologi. Dan kita tahu, meskipun pada pemungutan suara di konferensi *American
> Association of Petroleum Geologists* (AAPG) para pakar yang meyakini bahwa
> semburan lumpur terjadi karena adanya pemboran pada sumur Banjar Panji-1
> milik PT LBI memenangkannya dengan mayoritas suara, tetapi kenyataan hukum
> berbicara lain. Pemerintah tidak pernah secara tegas menyatakan penyebab
> terjadinya semburan lumpur ini dalam salah satu produk hukumnya. Yang ada
> hanyalah pernyataan sepotong-sepotong di media. Dalam hal ini tentu saja
> warga pantas khawatir apabila rekaman seismik kelak menjadi objek perdebatan
> lagi.
>
>
>
> Apa yang dapat dilakukan selain mengutuki keadaan ini? Langkah terbaik yang
> dapat diterima oleh akal sehat dan mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah
> mengeluarkan dulu payung hukum bagi 45 RT yang menolak survei seismik
> tersebut, baru kemudian melakukan survei seismik. Karena, tampaknya ini
> adalah salah satu solusi yang untuk sementara dapat memberikan jawaban bagi
> kepentingan kedua belah pihak. Di satu sisi, pemerintah (dan juga kalangan
> sains) sangat membutuhkan data seismik untuk kepentingan *modelling* bawah
> permukaan, di sisi lain warga juga akan sedikit merasa tenang karena
> setidaknya area mereka telah memiliki payung hukum yang dapat mereka pegang.
>
>
>
> ***
>
> tulisan ini saya buat sekitar satu bulan yang lalu. sudah saya kirim ke
> salah satu media nasional, tetapi tidak ditanggapi, maka saya share saja di
> FB
>
>
>
> salam
>
> bosman
>
>
>

Kirim email ke