sependek yang dapat saya ikuti, tidak ada ketentuan secara hukum bahwa dana 
kompensasi dibayar menurut penelitian geoscience. hanya saja, penelitian 
geoscience menjadi bagian penting dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait 
dengan lumpur lapindo. 


 
tabik
bosman batubara




________________________________
From: kartiko samodro <kartiko.samo...@gmail.com>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Sun, May 29, 2011 8:14:09 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Solusi bagi Penolakan Terhadap Survei Seismik di 
Porong


Bung Bosman, 
 
apakah memang secara hukum untuk memutuskan kompensasi yang dibayarkan ke 
masyarakat yang menjadi korban lumpur lapindo harus menunggu penelitian 
geoscience tentang penyebab lumpur lapindo ini ? 

karena kalau menunggu keputusan geoscience mungkin masih butuh bertahun tahun 
lagi ( ijin dan biaya shot 3  D seismic dan procesingnya, lalu siapa yang boleh 
menginterpretasi, dan saya kira objective 3D seismic ini lebih ke upaya 
pencegahan perluasan dari lumpur lapindo dan bukan menentukan penyebab dari 
lumpur lapindo ini). 

 
Saya setuju dengan anda bahwa pihak lapindo dan pemerintah harus segera 
memberikan kompensasi atas lahan masyarakat dan bukan lari dari masalah dengan 
alasan mencari sebabnya dulu apakah ini disebabkan gempa / drilling. 

Dan saya kira dana untuk membayar kompensasi ini sangat rendah dibandingkan 
kekayaan grup lapindo. 

 
Karena kalau situasi ini tidak cepat ditangani oleh pemerintah secara bijak, 
bukan tidak mungkin akan makin banyak saja penolakan masyarakat terhadap proyek 
energi pemerintah ( baik migas, geothermal, batu bara, nuklir  dsb).
Saya kira masyarakat tidak akan peduli apakah penyebabnya karena gempa bumi/ 
drilling, yang pasti bahwa setelah drilling banjar panji, mereka kehilangan 
rumah, pekerjaan dan seakan semua pihak tidak ada yang mau bertanggung jawab.

 
2011/5/29 bosman batubara <bosman200...@yahoo.com>

tulisan berikut sayacopas dari note saya di FB:
>
>***
>
>Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, meminta warga di 45 RT di sekitar lokasi Lumpur 
>Lapindo untuk bersabar dan menerima uji seismik yang akan dilakukan oleh 
>kementerian ESDM di kawasan mereka. Namun, warga menolak dengan alasan 
>khawatir 
>bahwa hasil uji seismik akan dipakai sebagai basis bagi pengambilan kebijakan 
>sehubungan dengan daerah mereka (Tempointeraktif, 31 Maret 2011).
> 
>Pada dasarnya uji seismik sangat penting dilakukan di Porong untuk mengetahui 
>kondisi bawah permukaan. Melalui rekaman seismik para ahli akan dapat 
>menginterpretasi struktur bawah permukaan di sekitar semburan. Struktur bawah 
>permukaan ini, misalnya saja, berupa patahan-patahan yang ada di sana yang, 
>kalau mengikuti kerangka berfikir geolog, pasti sudah sangat banyak, terutama 
>karena terjadinya amblesan di beberapa tempat. Logika sederhananya, sebuah 
>amblesan akan diikuti oleh patahan.
> 
>Dalam kasus Lumpur Lapindo uji seismik menjadi sangat penting karena data ini 
>termasuk langka terutama pasca semburan. Berdasarkan publikasi ilmiah tentang 
>Lumpur Lapindo yang dapat saya ikuti, kondisi bawah permukaan ini menjadi 
>salah 
>satu lubang karena minimnya data seismik yang tersedia. Sementara, untuk 
>menghasilkan model bawah permukaan yang bagus, data seismik adalah salah satu 
>hal yang sangat dibutuhkan.
> 
>Data seismik banyak digunakan oleh para geolog yang bekerja di industri minyak 
>dan gas untuk memprediksi perangkap-perangkap hidrokarbon yang ada di bawah 
>permukaan. Ini bukan berarti bahwa data seismik hanya dapat digunakan untuk 
>mencari perangkap minyak dan gas, tetap bisa juga untuk hal yang lain. Salah 
>satunya adalah untuk modelling bawah permukaan seperti yang dibutuhkan di 
>Porong.
> 
>Lantas, seperti apa kita harus memposisikan permintaan Pakdhe Karwo dan 
>penolakan warga dalam kasus ini? Benar, dari perspektif sains, saya percaya 
>setiap orang yang belajar geologi akan sangat mendukung dilakukannya survei 
>seismik tersebut. Akan tetapi, perlu kita ingat juga bahwa kenyataan hidup ini 
>bukanlah masalah sains belaka. Banyak hal lain yang juga perlu 
>dipertimbangkan, 
>apalagi dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut orang banyak seperti 
>korban lumpur.
> 
>Bagi saya penolakan yang dilakukan warga sangat masuk akal. Terutama mungkin 
>karena mereka belajar dari pengalaman warga dari beberapa Desa yang sudah 
>memiliki payung hukum sebelumnya. Dari tiga generasi Perpres yang sudah 
>dikeluarkan sehubungan dengan Lumpur Lapindo, yaitu Perpres 14/2007, Perpres 
>48/2008, dan Perpres 49/2009, belum ada satu pun yang tuntas dilaksanakan.
> 
>Untuk Perpres 14/2007, kondisi umum per Januari 2011, dari sekitar 13.000 
>warga 
>korban Lumpur Lapindo yang berada di bawah payung hukum ini, baru sekitar 55% 
>yang sudah lunas dalam artian menerima dana kompensasi untuk jual beli aset 
>mereka. Dengan catatan, mereka yang sudah dilunasi kebanyakan adalah bekas 
>warga 
>Perumtas yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang kecil kalau 
>dibandingkan 
>dengan mereka yang berasal dari desa (non-perumahan) yang rata-rata memiliki 
>kapitalisasi aset yang besar.
> 
>Lebih jauh, karena adanya skema pembayaran cicilan yang diciptakan oleh PT 
>Minarak Lapindo Jaya, ada korban Lumpur yang dana kompensasinya baru akan 
>lunas 
>dalam 38 tahun ke depan. Itupun dengan catatan pembayaran cicilan lancar 
>setiap 
>bulannya. Kalau pembayaran cicilan macet-macet seperti yang sering terjadi, 
>maka 
>jangka waktu pelunasan itu akan semakin lama. Padahal, dalam redaksi Perpres 
>14/2007 Pasal 15 Ayat (2) dinyatakan bahwa pembayaran dilakukan 
>selambat-lambatnya sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Mengacu 
>ke waktu pemberian uang kontrak rumah yang didapatkan oleh korban Lumpur 
>Lapindo, maka seharusnya pembayaran ini sudah selesai pada sekitar akhir tahun 
>2008 yang lalu.
> 
>Bagi warga yang berada di bawah payung hukum Perpres 48/2008 (Desa Besuki 
>sebelah barat tol, Desa Pejarakan dan Desa Kedungcangkring) nasib mereka tidak 
>jauh berbeda. Karena Pasal 15B ayat (5) Perpres 48/2008 mensyaratkan pelunasan 
>dilakukan apabila PT Lapindo Brantas Inc., (LBI) telah melunasi  
>tanggungjawabnya terhadap pembayaran dana kompensasi bagi korban Lumpur 
>Lapindo 
>yang tertera dalam Perpres 14/2007. Artinya, selama urusan dalam Perpres 
>14/2007 
>belum tuntas, maka urusan dalam Perpres 48/2008 juga akan ikut terbengkalai.
> 
>Sementara bagi warga yang berada di bawah payung hukum Perpres 40/2009 (3 RT 
>di 
>Desa Mindi, Desa Siring Barat dan Desa Jatirejo Barat), nasib mereka malah 
>lebih 
>buruk lagi. Karena pada saat ini tuntutan mereka baru pada tahap 
>merealisasikan 
>Perpres 40/2009. Sampai saat ini warga belum menerima dana kompensasi atas 
>aset 
>mereka.
> 
>Berdasarkan rekam jejak penegakan hukum yang payah pada seputaran kasus Lumpur 
>Lapindo ini, maka penolakan warga di 45 RT ini sangat dapat dipahami. 
>Kekhawatiran mereka bahwa nantinya data seismik akan dipakai sebagai basis 
>untuk 
>membatalkan dikeluarkannya payung hukum yang mengatur pembayaran dana 
>kompensasi 
>untuk wilayah mereka, sangat berasalan.
> 
>Selain penegakan hukum yang payah, kekhawatiran ini tampaknya diperparah oleh 
>pengalaman adanya perdebatan yang sangat sengit di kalangan geosaintis tentang 
>penyebab terjadinya semburan lumpur. Boleh dikata perdebatan ini sifatnya 
>eksklusif dan detilnya hanya dapat diikuti oleh orang yang belajar geologi. 
>Dan 
>kita tahu, meskipun pada pemungutan suara di konferensi American Association 
>of 
>Petroleum Geologists (AAPG) para pakar yang meyakini bahwa semburan lumpur 
>terjadi karena adanya pemboran pada sumur Banjar Panji-1 milik PT LBI 
>memenangkannya dengan mayoritas suara, tetapi kenyataan hukum berbicara lain. 
>Pemerintah tidak pernah secara tegas menyatakan penyebab terjadinya semburan 
>lumpur ini dalam salah satu produk hukumnya. Yang ada hanyalah pernyataan 
>sepotong-sepotong di media. Dalam hal ini tentu saja warga pantas khawatir 
>apabila rekaman seismik kelak menjadi objek perdebatan lagi.
> 
>Apa yang dapat dilakukan selain mengutuki keadaan ini? Langkah terbaik yang 
>dapat diterima oleh akal sehat dan mungkin dilakukan oleh pemerintah adalah 
>mengeluarkan dulu payung hukum bagi 45 RT yang menolak survei seismik 
>tersebut, 
>baru kemudian melakukan survei seismik. Karena, tampaknya ini adalah salah 
>satu 
>solusi yang untuk sementara dapat memberikan jawaban bagi kepentingan kedua 
>belah pihak. Di satu sisi, pemerintah (dan juga kalangan sains) sangat 
>membutuhkan data seismik untuk kepentingan modelling bawah permukaan, di sisi 
>lain warga juga akan sedikit merasa tenang karena setidaknya area mereka telah 
>memiliki payung hukum yang dapat mereka pegang.
> 
>***
>tulisan ini saya buat sekitar satu bulan yang lalu. sudah saya kirim ke salah 
>satu media nasional, tetapi tidak ditanggapi, maka saya share saja di FB
> 
>salam
>bosman
>
>

Kirim email ke