*Publish or perish*

Sayang sekali, pendapat dari sisi yang berkeyakinan bahwa Lumpur Lapindo
disebabkan oleh pengeboran sangat jarang menuliskan secara ilmiah yang
dipublikasikan dalam publikasi "resmi". Dalam dunia ilmu, segala yang
dianggap ilmiah harus ada dalam sebuah journal yang dapat disitir secara
benar. Ini memang tidak berarti bahwa yang dipublikasikan merupakan sebuah
kebenaran, tetapi yang dipublikasikan inilah yang akan menjadi tersimpan,
dalam bahasa geologi *terfosilkan*. atau *preserved*. Artinya keberadaanya
teruji dan terbukti serta dapat dipertanggungjawabkan.
Termasuk tulisan dalam mailist, koran, blog atau website, bukanlah sebuah
tulisan ilmiah, dan tidak dapat disitir sebagai rujukan (referensi). Karena
ini mirip koran yang tidak ada reviewnya. Davies dan Mazzini keduanya beradu
karena tulisannya masuk dalam jurnal ilmiah. Walaupun isinya sama dengan
tulisan di Dongeng Geologi sekalipun ! hihihihi. Tapi yg diakui tetep saja
mereka-mereka ini.
Ini mirip dalam dunia poltik dimana politik yang diakui adalah percaturan
politik di dalam parlemen, walaupun sebobrok apapun, tetapi legitimasi ada
disana. Obrolan dalam televisi maupun demo bisa saja dianggap parlemen
jalanan.

Jadi kalau ingin "terdengar" tuliskan saja pendapat itu dalam sebuah jurnal
ilmiah. Diterbitkan. Dan lebih baik lagi kalau naskah publikasinya mendapat
ISSN atau ISBN.

Salam

RDP
--------------------------------

Menunggu Jaringan Ilmuwan Gunung Lumpur
Senin, 30 Mei 2011 | 22:36 WIB

TEMPO Interaktif, Surabaya -  Adriano Mazzini, ahli geologi dari Oslo
University, akhirnya angkat bicara pada sesi terakhir Humanitus Symposium on
Indonesia's Mud Volcano, yang berlangsung di Surabaya. "Saya tidak mau
berpendapat karena Richard Davies sudah tidak ada di sini," katanya. Davies,
ahli ilmu kebumian dari Durham University, memang meninggalkan tempat itu
lebih dulu untuk mengejar pesawat.

Pada sesi terakhir simposium yang berlangsung Kamis (26/5) petang lalu di
Hotel Mercure, 14 pembicara dari dalam dan luar negeri tampil bersama di
panggung. Sekitar satu jam, peserta dan wartawan diberi kesempatan bertanya
kepada pembicara yang sejak pagi masing-masing mempresentasikan risetnya.

Sebelum sesi berakhir, Davies dan Mark Tingay dari Adelaide University pamit
lebih dulu karena ada acara lain di negaranya. Saat itu baru muncul
pertanyaan dari seorang wartawan tentang asal penyebab semburan lumpur panas
di Desa Renokenongo, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 dan sampai sekarang belum
berhenti. "Apakah karena kesalahan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas atau
karena gempa bumi di Yogyakarta?"

Faktor penyebab semburan lumpur panas itu memang memicu kontroversi
berkepanjangan hingga saat ini. Sejumlah ilmuwan kebumian dan perminyakan
terbelah dua pendapatnya. Tidak terkecuali di lingkungan Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI). Prof R. P. Koesoemadinata, mantan ketua organisasi ini,
pernah membuat surat protes terbuka terhadap penyelenggaraan Lokakarya
Lumpur Sidoarjo oleh BPPT pada 2007. Koesoemadinata menilai pembicara
lokakarya tersebut lebih didominasi ahli-ahli yang pro-gempa Yogyakarta.

Dalam forum internasional, Richard Davies dan Mark Tingay, dalam tulisannya
di jurnal ilmiah, termasuk yang berpendapat faktor pengeboran sebagai
penyebab munculnya semburan lumpur panas yang telah menenggelamkan beberapa
desa di Sidoarjo. Sementara Adriano Mazzini--dalam jurnal
ilmiah--berpendapat sebaliknya, yakni gempa Yogyakarta mengaktifkan patahan
Watukosek yang melintasi Sidoarjo dan meletuskan <I>mud volcano<I>.

Untuk memperingati lima tahun semburan, Humanitus Foundation--lembaga
swadaya masyarakat non-politik dan non-agama yang berpusat di Australia--dan
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyelenggarakan simposium
internasional pada 25-26 Mei 2011. Pada hari pertama, 10 pembicara dari luar
negeri dan empat pembicara dari dalam negeri serta para peserta meninjau
lokasi kawah semburan dan muara Kali Porong.

Di sekitar kawah, panitia memasang bendera negara-negara yang pernah
melakukan penelitian di kawasan lumpur Sidoarjo, antara lain Inggris,
Australia, Amerika, Rusia, Jepang, dan Norwegia. Pembicara dan panitia
melakukan foto bersama di lokasi semburan dan arena simposium itu.

Akan tetapi, simposium ini tak lepas dari kecaman. Andang Bachtiar, mantan
Ketua IAGI dan kini menjadi Ketua Dewan Penasihat IAGI, membuat surat protes
terbuka. Dia menuduh panitia tidak berimbang dalam memilih pembicara. Selain
itu, mereka lebih menonjolkan ilmuwan asing. "Jadi marilah kita sama-sama ke
Porong, Sidoarjo, pada 25-26 Mei ini untuk menyerahkan harga diri keilmuan
kita ke para ahli asing dan menyediakan diri dimanfaatkan pihak tertentu
untuk bersih-bersih," katanya.

Direktur Eksekutif Humanitus Foundation Jeffrey Richards menolak tuduhan
bahwa pihaknya sengaja mengundang pakar yang pro kepada Lapindo Brantas.
"Lupakanlah soal pemicu, jauh lebih penting saat ini menangani para korban,"
katanya. Bantahan serupa disampaikan oleh Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya.
Menurut Hardi, pembicara yang diundang adalah ilmuwan yang pernah melakukan
penelitian dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah. "Ada dalam Lusi
Library kami," kata guru besar ilmu geologi itu. Kami, kata Hardi, tidak
bisa menyetir pendapat para ilmuwan mancanegara yang telah memiliki
reputasi.

Panitia simposium terkesan menghindari diskusi soal penyebab semburan. Namun
ada saja wartawan yang menanyakan hal itu kepada para ilmuwan. Richard
Davies, yang masih tetap berpendapat bahwa pengeboran oleh Lapindo Brantas
sebagai pemicu semburan lumpur panas, juga tidak mau berpolemik lebih jauh
soal ini. Dalam paparannya dan kepada wartawan, dia lebih berfokus berbicara
tentang berapa lama lumpur itu akan keluar.

Sayang, Davies dan Tingay harus kembali ke negaranya, sehingga tidak
mengikuti secara penuh sesi terakhir. Jawaban atas pertanyaan wartawan soal
penyebab semburan lumpur panas di Sidoarjo akhirnya menggantung. Adriano
Mazzini tak ingin menjawab karena Davies dan Tingay tidak berada dalam
ruangan. Dia ingin menunjukkan sikap adil.

Memang, tidak seperti sikap sekelompok ilmuwan di Tanah Air, para ahli
mancanegara yang berbeda pendapat tersebut rukun-rukun saja selama tiga hari
di Sidoarjo. Davies, Tingay, Mazzini, dan ahli lainnya makan dalam satu
meja. Mereka pun berada dalam satu mobil saat menuju lokasi lumpur Lapindo
dan asyik berdiskusi satu sama lain.

Jeffrey Richards menjelaskan, pihaknya hanya mengganti tiket dan
memfasilitasi akomodasi para pembicara. "Mereka mau datang ke sini tanpa
dibayar karena (punya) keinginan besar untuk meneliti semburan lumpur ini,"
katanya.

Memang, obyek kajian ahli ilmu kebumian kebanyakan produk yang terjadi sejak
ribuan hingga miliaran tahun lalu. "Dari lumpur Sidoarjo ini kita mengamati
kelahiran dan evolusi serta dinamika obyek ini," kata Loyc Vanderkluysen,
dari Arizona State University.

Hardi Prasetya dan Sofyan Hadi dari BPLS menawarkan kantor lembaganya
menjadi tempat penelitian para ahli. Sedangkan Jeffrey Richards berencana
membentuk jaringan ilmuwan tentang lumpur Sidoarjo.

Agar tidak menimbulkan kontroversi, seyogianya mereka melibatkan lembaga
lain di Tanah Air, seperti LIPI, IAGI, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia,
serta perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain. Selain demi kemaslahatan
ilmu pengetahuan, riset tersebut harus bermanfaat untuk membantu warga yang
menjadi korban lumpur panas di Sidoarjo.

UNTUNG WIDYANTO

http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2011/05/30/brk,20110530-337778,id.html

-- 
*"Everybody is safety leader, You can stop any unsafe operation !"*

Kirim email ke