Pertamina masuk ke Semai II sebesar 15% kejadian yang dimaksud adalah Semai V salam Yusak --- On Thu, 2/2/12, basuki puspoputro <basuki...@yahoo.com> wrote:
From: basuki puspoputro <basuki...@yahoo.com> Subject: Re: [iagi-net-l] Dalam dua tahun terakhir, investasi hulu minyak dan gas (migas) di Indonesia 'menguap' sia-sia senilai US$ 1,24 miliar atau Rp 11,16 tri To: "iagi-net@iagi.or.id" <iagi-net@iagi.or.id> Date: Thursday, February 2, 2012, 8:45 PM Vick, Kalau menurut Yangkung pernyataan atau penjelasan itu lebih cenderung untuk non-explorationist, mudah-mudahan bukan supaya suasana heboh. Explorationists silahkan senyum-senyum saja. Salam, Yangkung From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com> To: iagi-net@iagi.or.id Sent: Thursday, 2 February 2012, 15:05 Subject: Re: [iagi-net-l] Dalam dua tahun terakhir, investasi hulu minyak dan gas (migas) di Indonesia 'menguap' sia-sia senilai US$ 1,24 miliar atau Rp 11,16 tri Wah kok ekspresinya agak tidak tepat, mungkin ekspresi wartawan yang mengutipnya. Semestinya disebutkan juga bahwa harga data bawah perlukaan berupa data geologi ini bukan yang sia-sia. Ini merupakan sebuah jalan setapak yang mungkin akan membawa ke mata air. Ini sebuah jalan yang akan membawa eksplorasionist ke suatu penemuan nantinya. Jelas "bukan pembelanjaan yang sia-sia". Dry-hole well will lead an explorationist to a discovery Semestinya dalam eksplorasi tidak ada usaha yang sia-sia kecuali waktu yang disia-siakan. Justru saat ini yang sering tersia-sia adalah waktu karena lambannya proses birokrasi. Kalau dalam keekonomian akan mengurangi nilai NPV ketika sebuah proyek terpaksa mundur waktu pengerjaannya. Sebenernya Indonesia pernah sukses melakukan komersialisasi sebuah penemuan. Diantaranya Arun, first shipment dapat dilakukan yang hanya memerlukan waktu 6 tahun (1971-1977) sejak penemuan (discovery to first shipment) Prestasi yang luar biasa. Demikian juga West Seno hanya memerlukan waktu sekitar 5 tahun (1998-2003), untuk deepwater lagi. Jadi sebenarnya secara tehnologi kita mampu mempercepat proses produksi sejak diketemukan (discovery). Justru kendala sistem manusianyalah yang memperlambat proses komersialisasi. Salam eksplorasi RDP 2012/2/2 ok.taufik <ok.tau...@gmail.com> Wahyu Daniel : detikFinance detikcom - Jakarta, Dalam dua tahun terakhir, investasi hulu minyak dan gas (migas) di Indonesia 'menguap' sia-sia senilai US$ 1,24 miliar atau Rp 11,16 triliun. Akibat kegiatan pengeboran sumur minyak yang ternyata tak menghasilkan apa-apa atau diistilahkan dry hole. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, hal tersebut menandakan tingginya risiko investasi di sektor hulu migas di Indonesia. Dikatakan Priyono, semua investasi tersebut ditanggung sepenuhnya oleh investor karena cost recovery hanya akan dibayarkan pemerintah apabila lapangan migas sudah berproduksi. Dry hole merupakan istilah yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi yang tidak berhasil menemukan cadangan migas yang cukup ekonomis untuk dikembangkan. "Tingginya resiko saat eksplorasi membuat banyak investor tidak berani, karena apabila tidak berhasil, mereka bisa kehilangan seluruh investasi. Disinilah kita melihat kita masih sangat membutuhkan investasi asing," ujar Priyono dikutip dari situs BP Migas, Kamis (2/2/2012). BP Migas mencatat, di 2010 terdapat kejadian dry hole di 30 sumur dengan kehilangan investasi mencapai US$ 776 juta. Sedangkan di 2011, jumlah sumur dry hole mencapai 12 sumuur dengan total investasi yang hilang mencapai US$ 461 juta. Dicontohkan Priyono, kejadian dry hole di Blok Semai 2 di Papua. Pertamina sempat memprotes saat kontraktor swasta terpilih sebagai operator blok tersebut beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, sekarang terbukti eksplorasi di sana tidak menemukan cadangan yang komersial. "Bisa dibayangkan apabila Pertamina masuk ke Semai 2, Pertamina bisa kehilangan US$ 200 juta dalam waktu 6 bulan. Dengan hanya memiliki sebagian partisipasi (participating interest) di blok tersebut, Pertamina tidak harus menanggung kerugian sebesar itu," ujar Priyono. Wahyu Daniel : detikFinance detikcom - Jakarta, Dalam dua tahun terakhir, investasi hulu minyak dan gas (migas) di Indonesia 'menguap' sia-sia senilai US$ 1,24 miliar atau Rp 11,16 triliun. Akibat kegiatan pengeboran sumur minyak yang ternyata tak menghasilkan apa-apa atau diistilahkan dry hole. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, hal tersebut menandakan tingginya risiko investasi di sektor hulu migas di Indonesia. Dikatakan Priyono, semua investasi tersebut ditanggung sepenuhnya oleh investor karena cost recovery hanya akan dibayarkan pemerintah apabila lapangan migas sudah berproduksi. Dry hole merupakan istilah yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi yang tidak berhasil menemukan cadangan migas yang cukup ekonomis untuk dikembangkan. "Tingginya resiko saat eksplorasi membuat banyak investor tidak berani, karena apabila tidak berhasil, mereka bisa kehilangan seluruh investasi. Disinilah kita melihat kita masih sangat membutuhkan investasi asing," ujar Priyono dikutip dari situs BP Migas, Kamis (2/2/2012). BP Migas mencatat, di 2010 terdapat kejadian dry hole di 30 sumur dengan kehilangan investasi mencapai US$ 776 juta. Sedangkan di 2011, jumlah sumur dry hole mencapai 12 sumuur dengan total investasi yang hilang mencapai US$ 461 juta. Dicontohkan Priyono, kejadian dry hole di Blok Semai 2 di Papua. Pertamina sempat memprotes saat kontraktor swasta terpilih sebagai operator blok tersebut beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, sekarang terbukti eksplorasi di sana tidak menemukan cadangan yang komersial. "Bisa dibayangkan apabila Pertamina masuk ke Semai 2, Pertamina bisa kehilangan US$ 200 juta dalam waktu 6 bulan. Dengan hanya memiliki sebagian partisipasi (participating interest) di blok tersebut, Pertamina tidak harus menanggung kerugian sebesar itu," ujar Priyono. Powered by Telkomsel BlackBerry® -- "Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"