>Yang diusulkan PP-IAGI sejak lama adalah "mewajibkan" perusahaan yang akan 
>berproduksi (setelah POD disetujui) adalah menjual >sahamnya ke BEJ (stoock 
>Exchenage dalam negeri). Ini yang akan menjadikan perusahaan ini akan diaudit 
>secara terbuka. Menutup 
>(mengurangi) potensi intervensi parlemen maupun partai atau pejabat nekat yang 
>minta upeti. Karena akan ada audit publik. 

saya heran, IAGI kok mau masuk sejauh ini..... listing di bursa saham itu 
urusan perusahaan masing-masing.... kalau mau soal audit, semua operasional KPS 
itu diaudit habis oleh BPMIGAS, BPK, BPKP, independent Audit, internal audit 
dll...
mungkin dibanding industri lain, migas itu termasuk yang paling birokratis dan 
regulated: coba saja dari mulai mau investasi sampai mau produksi semua harus 
ada persetujuan dari otoritas.... bahkan mau nempatin orang pun harus ada 
persetujuan dari 3 otoritas sekarang ini (BPMIGAS, MIGAS, 
DEPNAKER)....bandingkan dengan industri manufaktur atau yang lainnya... mereka 
disediakan kompleks industri, proses ijin satu atap, tidak pernah ada proses 
WP&B, AFE dll.... kalau dikaitkan dengan CR, tentunya ini hanya valid untuk 
blok yang sudah produksi... lha kalau masih eksplorasi.... ?
 
rasanya terlalu menyederhanakan masalah kalau listing di bursa akan 
menyelesaikan itu semua.... :-)
 
 
salam,
 
 

From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
To: iagi-net@iagi.or.id 
Sent: Friday, November 2, 2012 8:19 AM
Subject: Re: [iagi-net-l] Sense of urgency : Mahakam atau Natuna ?





2012/11/1 Ong Han Ling <wim...@singnet.com.sg>

Pak Avi,
> 
>Saya berpikir mengapa teman-teman dari IAGI, tetap berpikir “pokoknya 
>Pertamina”. Mungkin kita berbeda  karena persepsi risiko yang berbeda perihal 
>extension Mahakam? 
> 
>Saya melihanya begini:
>1.       Total telah mengambil risiko besar sekali tahun 1967 dengan ditemukan 
>gas yang pada waktu itu tidak ada harganya di Kalimantan. Badak adalah salah 
>satu dari tiga world Class LNG plant pertama didunia.  Karena memang gas pada 
>waktu itu tidak laku dipasar domestik, DMO tidak ada. Inilah adalah salah satu 
>penyebab utama perusahaan Perncis CFP (Compagnie Francaise du Petrole) yang 
>masuk Indonesia tahun 1967, menjadi perusahaan raksasa Internasional Total. 
>LNG dijual dengan harga tinggi karena dipatok dengan harga minyak. Reward-nya 
>bagi Total juga besar sekali selama 45 tahun tanpa dibebania DMO. Teori high 
>risk – high reward berlaku. Waktu CFP masuk Indonesia tidak ada apa-apanya 
>dibandingkan Pertamina. Sekarang terbalik. Dengan demikian juga dapat 
>dimengerti bahwa keuntungan yang demikian besarnya menjadi orang iri dan 
>sebagai konsekwensi kita katakan pada Total,  “Enoug is enough”, dan Pertamina 
>akan ambil over. 

Kalau pemikiran saya bukan soal enough is enough karena iri. Tetapi "kontrak is 
kontrak". Sudah harus dimulai kesepakatan sesuai kesepakatan. Bahwa dalam 
kontrak tidak dikenal istilah perpanjangan. Sistim BOT (Build Opertae Transfer) 
hasru dijalankan sesuai kesepakatan. Dam saat diserahkan semua asset dan 
cadangan menjadi milik negara. Itu dulu yang harus dijalankan. Setelah itu ya 
mestinya di tenderkan lagi. Dengan eksplorasi masih menjadi menjadi kegiatan 
awal 3+3+2+2 (10 tahun) pertama sebagai masa eksplorasi. 
Jadi tidak dikenal perpanjangan (extension) yang semestinya dilakukan adalah 
pembaharuan kontrak (contract renewal). Term kontrak harus diubah, karena 
kondisinya jelas sudah berubah. Sebelumnya belum ada produksi menjadi ada 
produksi, sebelumnya belum ada fasilitas infra struktur, sekarang sudah ada 
infra struktur. Jadi semangatnya adalah PEMBAHARUAN KONTRAK !
Nah perkara siapa yng menjadi operatornya itu perkara lain. Jadi biarkan saja 
kontrak berakhir sesuai kesepakatan. Karena itulah komitmen yg harus dihargai 
baik kontraktor maupun negara tuan rumah.
 
2.       Mahakam sudah dioperasikan selama 40 tahun hingga subsurface, perilaku 
reservoir, dan production decline curve sudah kita ketahui sifat-sifatnya 
dengan betul.  Jadi dari sudut production, dari sudut cadangan, dari sudut 
operasi dengan memakai orang-orang Indonesia sendiri, dan dari sudut marketing 
ke Taiwan dan Jepang semua sudah confirm sampai selesainya kontrak tahun 2017 
dan tidak akan ada soal. Tingkat keberhasilan tinggi sekali, 90%. 
>3.       Menurut saya teman-teman dari IAGI melihatnya sampai disini saja. 
>Risiko kecil. Keuntungan besar. Kenapa tidak diberikan saja kepada Pertamina. 
 Secara persoan saya menganggap tidak harus pertamina. Tetapi sebagai IAGI (ada 
kata Indonesia) sepakat bahwa diberikan ke Indonesia karena "keuntungan" yg 
diperoleh tidak hanya sekedar keuntungan "ekonomi". Bangsa yang sedang "minder" 
ini perlu diberi tepukan dada dan dorongan serta bantuan untuk kembali ke rasa 
"percaya diri" untuk berani maju mandiri dan berdikari. Yang terpenting 
keekonomiannya dikaji (diawasi) secara benar dan tidak memberikan "blank chek" 
kepada operator nasional nantinya. Aspek sosial politis sudah semestinya 
menjadi pertimbangan selain keekonomian.

4.       Namun saya melihatnya beyond 2017, yaitu setelah selesainya kontrak 
dengan Total dan lapangan minyak dikembalikan kepada ESDM. Dengan selesainya 
kontrak, putuslah kontrak dengan pembeli luar negeri. Harga LNG dilempar ke 
pasar bebas dan harus dirunding lagi. Pembeli lama tidak mau dengan harga lama 
karena kebetulan sekarang pasaran LNG sangat berlainan. Pembeli ingin 
melepaskan terkaitannya dari harga minyak. Hal ini disebabkan karena penemuan 
gas secara besar-bersaran di Western Australia, CBM di Queenland, dan baru-baru 
ini shale gas di USA dan Canada.  Sekarang ini sekeliling Pacific basin sedang 
dibangun 9 LNG Plant dan 14 dalam perencanaan. Harga gas di USA anjlok dari 
$7/mmbtu beberapa tahun yang lalu menjadi $2/mmbtu. Semua receiving LNG 
terminals di US dirubah menjadi LNG plant untuk ekspor. Karena harga gas di US 
anjlok, Quatar akan mengalihkan penjualan LNG ke Asia Pacific yang paling 
lucrative. Demikian juga Alaska yang
 kelebihan gas karena terlalu mahal untuk kirim lewat pipa ke continental US 
dan bahkan Lousiana lewat Panama canal yang telah diperlebar (lih., email 
Bambang Istadi, 25 Oct.). Petronas sedang menungu izin ekspor dari Canada dan 
jika diberikan akan menanam US$5.5 milliar untuk LNG Plant dari shale gas di 
British Columbia dengan tujuan exspor ke Malaysia.  
Ketika penjualan berhenti kita harus melihat ALOKASI menjadi utama ketimbang 
harga komoditi. GAS mesti dilihat sebagai ENERGI, bukan sekedar KOMODITI. 

Saat ini kita lihat perdebatan antara Obama dengan Romney menyangkut energy. 
Mereka sudah mulai memikirkan untuk TIDAK MENGEKSPORT gasnya karena diperlukan 
untuk meghidupi dalam negeri. Saat krisisi beberapa tahun lalu diketahui bahwa 
tindakan memindahkan industrinya ke luar Amerika merupakan salah satu penyebab 
krisis. Tau apaling yidak mengetahui bahwa salah satu untuk mengatasi krisis 
adalah mengambil kembali industri dan pabriknya. Besarnya jumlah pengangguran 
di Amerika akhirnya menuntut dikembalikannya pabrik dan industrinya di luar 
Amerika supaya mengurangi pengangguran di dalam negeri. 
Tentusaja industry-industri yang kembali ke Amerika ini memerlukan energy 
nantinya. Sedangkan kalau saja gas ini terlanjur dijual ke luar Amerika, maka 
Amerika akan kekurangan gas sebagai sumber energinya yg terikat kontrak 
penjualan gas. Dengan demikian mudah dimengerti bahwaalokasi energy untuk 
kebutuhan dalam negeri merupakan sebuah tindakan proteksi penjaminan supply 
energy.Indonesia sudah semestinya mulai memilikirkan jaminan supply dalam 
negerinya dengan memikirkan alokasi produksi untuk kebutuhan domestic. 
Kontrak-kontrak penjualan gas (LNG) ke luar harus ditinjau dan harus mulai 
diperhatikan. Apalagi dengan diketahui bahwa dengan pertumbuhan 6-7% pertahun, 
akan membutuhkan energy (peningkatan kebutuhan) lebih dari 15%/tahun.
5.       Disinilah risiko timbul. Saat ini harga LNG sangat tidak menentu. 
Bagaimana dengan envronmental issue untuk CBM dan shale gas? Bagaimana kalau US 
dan Canada membatasi atau bahkan melarang ekspor LNG mengingat security energy 
dimana mereka tidak ingin ketergantungan dari Middle East oil. Atau Jepang yang 
sekarang akan menutup semua nuclear power plant dalam kurun waktu 20 tahun, 
berubah pikiran setelah masyarakat Jepang disuru membayar harga energy yang 
jauh lebih mahal? Bagaimana kalau Taiwan dan Korea pindah ke Nuclear atau 
energi lainnya seperti angin dan matahari yang sekarang sedang maju-majunya? 
Dll. Karena faktor tidak menentu ini, harga LNG kita berikan probability 
sebesar 50%. Berarti operasi Mahakam untuk mengharapkan  keuntungan seperti 
yang diharapkan sebelum-sebelumnya, “probablility of sukses” berubah menjadi 
90X50% atau hanya 45%. Ini berarti mengelola Mahakam mengandung risiko tinggi, 
tidak lagi seperti sebelumnya yang
 90%. Karena risiko tinggi, maka itu saya cenderung untuk dilakukan tender dan 
Pertamina diberi preference, entah matching, 10% atau berapa saja, tetapi for 
sure not “Pokoknya Pertamina”. Menurut tulisan Pak Luthfi, “rasanya matching 
bagi Pertamina tidak jadi soal”. Menurut saya memberikan preference 10-15% 
adalah fair. Preference diberikan untuk hal-hal yang tidak terukur seperti 
kebanggaan, nasionalism, Indonesian content, dsb. 
Sepakat dengan cara ini. Tender dengan preference, misalnya "first right to 
match". ini kan mendidik Pertamina untuk mengkaji dengan sebaik-baiknya. 
Dari hasil diskusi sewaktu Sumpah Pemuda kemarin, menurut Pak Marwan Batubara, 
keuntungan secara riiil untuk Indonesia akan lebih bagus kalau diusahakan oleh 
BUMN, artinya sudah ada jaminan bahwa modalnya juga dari dalam negeri. 
Kalau diberikan ke swasta nasional yang belum tentu modalnya dari dalam negeri, 
maka keuntungan investasinya juga akan "lari" keluar. 

6.       Inilah yang perlu dipikirkan oleh Pertamina waktu mengambil extension 
Mahakam, tidak hanya dari sudut operasi yang relatip mudah tetapi juga dari 
sudut harga LNG “beyond 2017”. 
Sepakat dengan pemikiran Pak Ong ini. Dan langkah yg harus diambil adalah 
penjaminan pasokan energi (alokasi) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

7.       Dalam extension nantinya akan ada 10% Indonesia participation. 
Biasanya diberikan kepada daerah. Saya pikir kalau lobbying kita kuat, mungkin 
Kanwil IAGI Kaltim bisa minta 10% share untuk dijual kepada anggotanya. Disini 
baru terlihat sokongan kita kepada Pertamina, tidak dengan kata tapi dengan 
perbuatan, yaitu ikut investasi di Mahakam setelah 2017.
Yang diusulkan PP-IAGI sejak lama adalah "mewajibkan" perusahaan yang akan 
berproduksi (setelah POD disetujui) adalah menjual sahamnya ke BEJ (stoock 
Exchenage dalam negeri). Ini yang akan menjadikan perusahaan ini akan diaudit 
secara terbuka. Menutup (mengurangi) potensi intervensi parlemen maupun partai 
atau pejabat nekat yang minta upeti. Karena akan ada audit publik. 

Maaf sekali lagi kalau tidak lagi. 
>HL Ong  

Terimkasih diskusinya Pak Ong sangat menarik.

RDP 

-- 
"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"

Kirim email ke