Boleh-boleh saja orang berinterpretasi bahwa 'kerak lempung' yang membungkus
atau diantara kolom andesit itu adalah hasil pelapukan tapi harus didukung
oleh analisa yang lebih detil lagi tidak asal kesimpulan saja.  Mungkin Pak
Tikno dan Mas Pujo harus lihat yang masih segar yang ada di bawah permukaan
supaya lebih baik lagi analisisnya, terus dilanjutkan dengan analisa
petrografi dan kimianya atau pake XRD.  
Yang lebih gamblang adalah posisi susunan batu kolom yang sangat rapih (yang
ada semen/kerak lempungnya) di bawah situs yang dianggap sebagai batuan
sumber oleh Arkenas/BALAR.  Posisi kolomnya horisontal padahal lapisan
batuan di bawah situs ini horisontal juga (dari image georadar dan
geolistrik).  Tidak ada intrusi (dyke) vertikal.  Artinya susunan kolom itu
bukan batuan sumber columnar joints alamiah, karena di alam kolom-kolom itu
harus tegak lurus dengan arah perlapisan (permukaan pendinginan).  Kalau
tidak percaya silahkan cek di textbook, atau browsing internet, atau tanya
ke Pa Sutikno atau ke Pak Yatno. 

Perihal karbon dating ini adalah pekerjaan saya sehari-hari, dan saya tahu
persis bukan hal yang mudah.  Kita dating semen karena material itu ada
diantara kolom-kolom andesit yang disusun manusia bukan alamiah.
Homo erectus sudah punah sekitar 150.000-an tahun lalu.  23.000-an tahun mah
sudah tidak ada atuh.  Kalo manusia Neanderthal masih ada sampai 30.000-an.

Semoga dibukakan hati supaya tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa
Mahakarya Gunung Padang adalah mis-interpretasi.


-----Original Message-----
From: iagi-net@iagi.or.id [mailto:iagi-net@iagi.or.id] On Behalf Of
Sujatmiko
Sent: 04 Mei 2013 10:11
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: MGEI
Subject: [iagi-net] SITUS GUNUNG PADANG : BELAJAR DARI ARKEOLOG

Rekan-rekan IAGI yang budiman,

 

Situs Gunung Padang rupanya memiliki misteri dan pancaran energi yang luar
biasa sehingga mengundang perdebatan dan diskusi multi disiplin yang tak
berkesudahan. Ketika mang Okim berkeliaran di kawasan ini tahun 1970-an
dalam rangka penerbitan Peta Geologi Lembar Cianjur ( 1972 ), tak terlintas
di pikiran mang Okim bahwa batu andesit berserakan di Gunung Padang itu
berkaitan dengan bangunan punden berundak. Di peta geologipun tak muncul
karena dianggap unmapable alias tak terpetakan di peta skala 1:100.000,- .
Nah, 40 tahun kemudian, ketika mang Okim sudah menjadi geolog gaek yang over
petung puluh, muncullah kontroversi Gunung Padang. Sebetulnya kalau mau
jujur, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dari hipotesis tentang
tersembunyinya bangunan budaya di perut Gunung Padang tersebut  dan juga di
Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip ada di tangan Yayasan Turangga Seta yang
Direkturnya mengaku jebolan MIT ( Menyan Institute of Technology ) . 

 

Puji syukur kepada Tuhan YMK bahwa berkat ketiga gunung piramida tersebut
maka mang Okim dapat berkenalan dengan beberapa arkeolog yang jam terbangnya
puluhan tahun, di antaranya ada yang  doktor dan bahkan profesor. Berkat
para arkeolog tersebutlah maka mang Okim menjadi tertarik dengan
geo-arkeologi sehingga tergerak untuk mengumpulkan  stone tools alias
artefak . Semangat mang Okim dipacu lagi oleh  Bagawan Atlantis Oppenheimer
yang ketika berkunjung ke Pak SBY tahun lalu atas undangan Stafsus Presiden
Bidang Bantuan Sosial dan Bencana  berpesan : Untuk mengetahui kejayaan
manusia pra-sejarah di Indonesia, telitilah stone tools, jangan  piramida di
perut gunung, karena hal itu tidak mudah ! Believe it or not, koleksi
artefak mang Okim yang umumnya dari periode Paleolitik sudah nyampe puluhan
ribu batu, dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Jenis batunya
beragam, demikian juga tipologinya. Dari hasil buka-buka internet dan
baca-baca buku arkeologi, mang Okim menjadi yakin bahwa manusia prasejarah
Indonesia memang lebih maju dari rekan-rekannya di negara lain.

 

Semen purba berumur 23.000 tahun

 

Ketika Tim Mandiri Gunung Padang mengumumkan ke seantero dunia bahwa mereka
menemukan semen perekat kolom andesit  berumur 13.000 - 23.000 tahun, mang
Okim kebetulan sedang bersama beberapa Arkeolog dan mendengarkan diskusi
mereka. Mereka bilang bahwa penentuan umur yang demikian nothing to do with
archeology or paleo-culture . Lain halnya kalau semen tersebut bertautan
dengan objek arkeologi yang sudah confirmed. Ketika mang Okim berkunjung ke
Gunung Padang 3 hari lalu, semen purba tersebut sempat mang Okim amati
bersama Prof. Sutikno Bronto dan Ir. Pudjo Asmoro, keduanya ahli gunung api
purba. Semen purba tersebut yang tersingkap di tebing undak antara teras 1
dan teras 2 diduga kuat sebagai hasil pelapukan batuan andesit dimana
terlihat  adanya perlapisan semu yang di bagian tengahnya ada lapisan tipis
karbon hitam sub-horizontal . Fenomena semacam ini sangat umum terlihat di
singkapan batuan yang mengalami proces leaching. Nah, kalau contoh semen
purba ini didating, tentu saja bermanfaat, tetapi tidak untuk arkeologi
melainkan untuk geologi - - - ta' iya !!!

 

Dari contoh sederhana di atas apalagi dengan dating yang nyampe 23.000
tahun, seharusnya Dr. Ali Akbar memberikan sinyal kepada Tim Mandiri bahwa
seperti diakui oleh arkeolog di seluruh dunia, umur segitu adalah masanya
manusia homo-erectus yang baru mampu bikin alat batu sederhana. Di Situs Gua
Pawon saja yang tengkoraknya ketemu dan rentang umurnya sekitar 5.000 -
10.000 tahun yang lalu, keahlian manusia prasejarah kita  terbatas pada
membuat stone tools dan perhiasan sederhana dari kulit kerang. Bagaimana
mungkin mereka mampu bikin bangunan maha karya dengan pasir peredam gempa
dan semen perekat kolom andesit, apalagi keahlian di bidang metalurgi - - -
ta' iya !!! Pak Lutfi Yondri , arkeolog peneliti utama yang spesialis dalam
penelitian Situs Gua Pawon dan Situs Gunung Padang berujar : Mang Okim,
seandainya di Situs Gua Pawon yang kita sampling adalah dinding  batu kapur
di sekitar fosil tengkoraknya, umur yang keluar pastilah Oligosen atau lebih
dari 25 juta tahun yang lalu. Kalau yang diambil lapisan tanah yang
mengendap di dalam gua, mungkin hasilnya puluhan atau ratusan ribu tahun.

 

Itulah rekan-rekan  sekedar contoh kecil yang semoga dapat menambah wawasan
kita semua.  Contoh-contoh lainnya , ditambah dengan hasil pengamatan dan
pertimbangan geologis praktis ,  membuat mang Okim yakin bahwa hipotesis
bangunan mahakarya di perut Gunung Padang adalah akibat mis-interpretation
dan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Semoga Allah SWT selalu membuka hati
kita untuk tidak malu belajar dari orang lain dan berani berkata benar
walaupun pahit. Selamat berakhir minggu, mohon maaf kalau ada yang salah.

 

Salam cinta geo-arkeologi

 

Mang Okim

Note : di Petisi G.Padang ditulis sebagai anggota KRCB.

 

 

 

 

 


Kirim email ke