Bullying dan Stress ( Mika- Jepang ) Saya memberanikan diri untuk menulis sedikit tentang kehidupan disini. Pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia yaitu 6-3-3, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun dengan wajib belajar selama 9 tahun. Anak SD bila memasuki SD negeri maka orang tua hanya dibebankan biaya untuk peralatan sekolah yang bisa dibeli sendiri, biaya untuk melakukan penelitian atau biaya untuk piknik serta biaya untuk makan siang yang relatif murah(karena anak sekolah di Jepang sampai sore jadi mereka makan siang di sekolah yang dibuat oleh sekolah dengan mementingkan gizinya walaupun murah, untuk ini ada guru ahli gizinya yang mengawasi dan membuat menunya). Makan siang ini terdiri dari lauk pauk (daging/ikan/tahu dll), nasi/mie/roti,buah-buahan, sayuran dan minumnya pasti susu dan dessert kadang-kadang ada. Ini setiap sekolah berbeda tapi dasarnya sama.
Jadi anak-anak disini walaupun misalnya di rumah kurang gizi (ada sejumlah kasus ekstrim anak yang diabaikan orang tuanya antara lain karena bercerai,terlalu sibuk bekerja,sakit, miskin dll) di sekolah bisa dilengkapi gizinya. Waktu masuk sekolah pertama kali adalah yang paling memakan biaya banyak karena disini ada upacara anak masuk sekolah. Disini orang tua harus berpakaian rapi dan anak juga harus memakai baju rapi(seperti jas, blazer) yang harganya cukup mahal. Kemudian anak juga harus mempunyai randoseru(semacam tas ransel berbentuk agak kotak dipakai selama 6 tahun). Tas ini juga tidak murah, biasanya untuk perempuan berwarna merah, laki-laki hitam. Kemudian membeli peralatan sekolah pianika, alat tulis, baju olah raga, sepatu untuk didalam( karena disini sepatu untuk di dalam sekolah dan di luar sekolah berbeda, kalau orang tua memakai semacam sandal kain(surippa)untuk di dalam rumah, ingat rumah orang Jepang sepatu dilepas di genkan(apa bahasa Indonesianya ya?ambang rumah?)dekat dari pintu rumah, kemudian diganti sandal rumah. Orang Jepang terbiasa apa-apa teratur, seragam, kita lihat saja turisnya berbaris teratur mengikuti seseorang (leader/tourist guide) yang memegang bendera. Begitupun di sekolah. Hampir semua alat-alatnya seragam, baik warna , bentuknya karena kebanyakan dibeli di sekolah. Bila ada anak pindahan dari sekolah lain (tenkousei) ada beberapa alatnya yang berbeda. Dalam masyarakat Jepang kalau berbeda ada kecendrungan tidak disukai, jadi kalau ada sesuatu sedang mewabah atau trend, semua ikut-ikutan sampai menjadi-jadi dan heboh dibahas di media koran, tv, majalah dll . Misalnya waktu itu sedang heboh masalah korean drama, beberapa waktu yang lalu tentang pengemudi yang mabuk, akhir-akhir ini tentang bunuh diri karena ijime (bullying/diejek?). Sekali lagi saya bilang disini sesuatu yang berbeda cenderung tidak disukai. Di sekolah misalnya anak yang berbeda karena misalnya apa-apa lambat, anak yang bodoh, anak yang terlalu pintar, anak pindahan dari sekolah lain, anak indo (di Jepang disebut half) ini setengah Jepang setengah kebangsaan lain, (walaupun berpaspor Jepang tetap dibilang half )ini sangat rentan dengan ijime/bullying tadi. Saya menyimpan kekhawatiran yang sangat besar tentang ini. Karena ijime/bullying ini sudah menjadi borok penyakit yang sangat dalam di Jepang dari dulu. Teman saya yang orang Jepang berpendapat pendidikan Jepang itu gagal. Kenapa angka bunuh diri di kalangan remaja sangat besar?Saya sendiri berpendapat karena mungkin karena orang Jepang tidak mempunyai agama sehingga bila ada masalah tidak tahu harus bagaimana , jadi mengakhiri hidup sendiri. Disini budayanya adalah tidak mau merepotkan orang lain termasuk saudara, teman.Jadi kalau ada kesulitan sesuatu dikeluarkan dari kerjaan, masalah uang, terjerat hutang, mereka biasanya jarang meminta pertolongan saudara atau teman. Jadi walaupun adiknya kaya, bisa saja kakaknya miskin, tidak seperti di Indonesia masih mau menolong / mengurus saudaranya yang miskin. Ijime / bullying di kalangan laki-laki biasanya kelihatan bekasnya misalnya bekas dipukuli, memar-memar berdarah. Di kalangan perempuan lebih mengkhawatirkan. Mereka mengusahakan supaya tidak kelihatan dalam keadaan biasa, misalnya diacuhkan, dikata-katai, sampai ada (menurut majalah) (maaf) dibakar bulu kemaluannya, diambil celana dalamnya untuk dijual ( disini laki-laki Jepang yang brengsek akan bersemangat membeli celana dalam anak gadis yang sudah dipakai, jauh lebih mahal dari yang baru) , news yang paling baru ada anak yang diacuhkan, diejek bau,ditertawakan,dalam sport waktu pass bolanya sengaja tidak diambil, terus waktu pass ke dia diberikan bola yang sulit dan kalau gagal mengambil bolanya akan diejek dan ditertawakan. Anak perempuan kan suka berkelompok.Sehingga waktu keadaan ini terjadi terus menerus membuat dia tidak tahan, akhirnya bunuh diri dengan meninggalkan surat mengucapkan selamat tinggal, kalau tidak ada dia bebannya akan menjadi ringan. Awalnya sekolah tidak mengakui bila dia bunuh diri karena ijime/bully, tetapi setelah beberapa hari setelah dimuat di media secara luas akhirnya mengakui dan meminta maaf kepada keluarga anak tersebut, dan anak-anak yang ijime kepada dia diberi bimbingan khusus, entah seperti apa. Di Jepang bila yang melakukan kejahatan di bawah umur cenderung dilindungi dari media dengan tidak menyebutkan nama, inisial atau menayangkan wajahnya.Sekolah-sekolah lain banyak yang tidak mengakui di dalam sekolahnya ada ijime, banyak yang menutup-nutupi fakta tersebut. Budaya Jepang itu sangat mencekik leher diri sendiri, terlalu rajin (misalnya kalau bekerja tidak ngobrol berbeda jauh dengan Indonesia ,kita lihat banyak pegawai toko yang santai mengobrol tidak memperhatikan customernya) sehingga mereka terlalu stress, tidak tahu bersantai untuk melepaskan ketegangan. Anak-anak Jepang dibebani sejak kecil untuk belajar giat, selepas sekolah mereka pergi ke juku (semacam kursus), naraigo (semacam kursus) belajar sempoa, Shuji (kaligrafi Jepang), berenang, bahasa Inggris,piano dll. Orang tua percaya bila anak sedari kecil belajar macam-macam, anak SD misalnya bisa masuk SMP yang bagus, kemudian SMA nya yang favorit misalnya sehingga bisa lulus ujian masuk universitas favorit (misalnya Tokyo univ.) sehingga nanti bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Hal lain saya setuju dengan pendapat orang Jepang bermuka dua. Karena budaya mereka penuh dengan basa-basi, cara mereka berkomunikasi sepotong-sepotong untuk memberikan waktu bagi lawan bicara untuk menanggapi, dan tidak mengatakan langsung sesuatu dengan jelas karena diharapkan lawan bicara mengerti apa yang dia maksud walaupun tidak diucapkan secara langsung. Ini menyulitkan kita yang tidak terbiasa cara mereka berkomunikasi. Mereka sangat peka terhadap lawan bicaranya dan bila kita tidak terbiasa banyak bahasa-bahasa tubuh serta intonasi-intonasi yang akan mempunyai arti tersendiri. Tapi dimanapun manusia itu sama, orang yang baik juga ada terlepas apa kebangsaannya, yang bermuka dua juga ada di Indonesia. Mungkin karena orang Jepang dulunya terisolasi selama berabad-abad membuat mereka mempunyai prejudice tersendiri terhadap orang asing. Mereka sering bilang orang asia kepada kita (padahal mereka sendiri orang asia) dan sangat memuja orang Amerika mungkin karena pernah dikalahkan pada PD ll.Selama ini saya banyak mengamati dan belajar berinteraksi dengan mereka termasuk tata krama mereka bergaul. Masih banyak hal yang belum saya ketahui dan pelajari. Ini saya lakukan karena saya hidup disini, supaya bisa survive untuk anak-anak dan keluarga saya khususnya.Karena seorang istri di Jepang adalah semacam pintu bagi keluarganya yang mengatur dan menghadapi semuanya. Segala urusan dilakukan melalui seorang istri karena suami bekerja. Saya juga selalu mengajarkan kapada anak-anak supaya kuat karena mereka harus bersaing dengan anak-anak asli Jepang supaya perbedaan yang mereka miliki bukan menjadi nilai yang melemahkan tapi menjadi nilai lebih yang menguatkan supaya bisa survive menjalani kehidupan disini. [Non-text portions of this message have been removed]